LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI
ILMU MANTIQ
“Ta’rif (Definisi)”
Anang Bustami
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga
kesalahan dalam berpikir. Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang
membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang
menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk
yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia
seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya
sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif.
Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang
benar, tidak keliru. Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya
kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir". Berpikir adalah
proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan
mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn)
sehingga yang majhul itu menjadi ma'lum (diketahui). Dengan demikian ta’rif
adalah suatu cara atau alat untuk mengenal dan memahami tentang pengertian
Lafadz dan untuk mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya terhadap Lafadz itu.
Agar tidak terlalu sulit memahami tentang Ta’rif dalam ilmu Mantiq
maka makalah ini akan mencoba untuk menjelaskan dengan ringkas dan sistematis
mengenai Ta’rif dalam ilmu Mantiq.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Ta’rif ( Definisi )?
2.
Ada
berapa macam atau bagian dari Ta’rif ?
3.
Apa
Syarat-syarat Ta’rif?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TA’RIF (DEFINISI)
Takrif (al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan
sesuatu. Takrif disebut juga Al Qaul Al-Syarih (ungkapan yang
menjelaskan).
قَوْلٌ
دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”
Sedangkan menurut ahli mantiq ta’rif adalah teknik menjelaskan
sesuatu yang dijelaskan untuk diperoleh sesuatu pemahaman secara jelas dan terang
dengan menggunakan tulisan maupun lisan. Dengan demikian, takrif menyangkut
adanya sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara
menjelaskannya
Adapun pengertian yang lain juga menerangkan bahwa Ta’rif secara lughawi,
adalah memperkenalkan, memberitahukan sampai jelas dan terang mengenai sesuatu.
Secara mantiki, ta’rif adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun
lisan, yang dengannya diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu yang
diterangkan atau diperkenalkan.[1]
Selain itu menurut Basiq
Djalil, lafadz ta’rif berasal dari bahasa Arab yang bearti memberi tahu,
memperkenalkan. Maksudnya adalah dengan ta’rif, kita dapat sesuatu dengan
lengkap dan sempurna. Itulah sebabnya ta’rif, dapat disamakan pengertiannya
dengan rumusan, pengertian, atau definisi dalam bahasa Indonesia.[2]
Dalam ilmu mantik, ta’rif berperan amat mendasar, kerena istidlal
(penarikan kesimpulan) yang merupakan tinjauannya yang paling fondamental,
tergantung amat eratkepada jelasnya ta’rif lafazhyang dipakai untuk menyusun
qadhiyah-qadhiyah (kalimat-kalimat) yang darinya ditarik natijah (kesimpulan).
Jika ta’rif lafazh tidak jelas, maka kesimpulan yang dihasilkan mungkin sekali
keliru atau salah.
Yang di Ta’rif bisa berupa dzat dan yang bukan dzat. Dzat adalah lafadz
yang bermakna dzat atau benda. Dalam ilmu mantik bearti: lafadz kulli yang
menunjukkan hakikat (makiyah) secara penuh. Sedangkan lafadz abstrak yang
menyifati benda itu seperti besar, panjang, jelek, biasa disebut lawan dari
zat.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan, ta’rif adalah
memperkenalkan, memberitahukan sampai jelas dan terang mengenai sesuatu dengan
lengkap dan sempurna.
B.
PEMBAGIAN TA’RIF
Menurut Baihaqi A. K, dalam bukunya yang berjudul ilmu
mantik (teknik dasar berfikir logik) ta’rif terbagi kepada empat:
1) Ta’rif Had
Ta’rif had adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafadz Kulli
Jins dan Fashl. Contoh: Manusia adalah hewan yang berfikir. Hewan
adalah jins dan berfikir adalah fashl bagi manusia.
Ta’rif had ada 2, yaitu Ta’rif Had Tam dan Ta’rif Had
Naqish
a)
Ta’rif Had Tam
Ta’rif yang menggunakan rangkaian jenis qorib dan fashl
Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat berfikir (Al-Insan
Hayawan Al-Nathiq)
Hewan adalah jins qarib kepada manusia karena tidak ada lagi jins
di bawahnya. Sedangkan dapat berfikir adalah fashal qarib baginya.
b)
Ta’rif Had Naqish
Ta’rif yang menggunakan rangkaian jenis ba’id dan fashl atau fashl
saja.
Contoh: Manusia adalah tubuh yang dapat berfikir (Al-Insan Jism
Al-Nathiq). tubuh adalah jins ba’id bagi manusia dan dapat berfikir adalah
fashl baginya.
Contoh: Manusia adalah yang dapat berfikir (hanya fashl saja).
2) Ta’rif Rasm
Ta’rif rasm adalah ta’rif yang menggunakan kulliy jins dan ‘irdhi
khash.
Contoh: Manusia adalah hewan yang dapat tertawa.
Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘Irdhi Khash (sifat
khusus) manusia.
Ta’rif rasm ada 2, yaitu Ta’rif Rasm Tam dan Ta’rif Rasm
Naqish
a)
Ta’rif Rasm Tam
Ta’rif yang menggunakan rangkaian jenis qorib dan khash
Contoh: Manusia adalah hewan yang mampu belajar kitab.
Hewan adalah jins qarib bagi manusia, sedangkan mampu
belajar kitab adalah khash baginya.
b)
Ta’rif Rasm Naqish
Ta’rif yang menggunakan rangkaian jenis ba’id dan khash atau khash
saja.
Contoh: Manusia adalah jism (tubuh) yang bisa ketawa.
Jism adalah jins
ba’id bagi manusia dan bisa tertawa adalah khashah baginya.
Contoh: Manusia adalah yang tertawa.(dengan khashah saja)
3) Ta’rif Lafadzi
Ta’rif lafdzi adalah mendefinisikan sebuah lafadz menggunakan
lafadz lain yang semakna dan menurut pendengar dianggap lebih masyhur.
Contoh: Bahtera adalah lautan. Tepung adalah terigu, itik adalah
bebek, lembu adalah sapi.
Kata Lautan lebih dikenal oleh pendengar daripada kata Bahtera.
4) Ta’rif mitsal adalah ta’rif dengan memberikan contoh (mitsal).
Contoh: Lafazh kulli adalah seperti insan, Lafazh juz’i adalah
seperti muhammad, Kalimat bahasa Indonesia adalah seperti guru datang, dll.[3]
Ø Selain itu menurut M. Taib Thahir, ta’rif juga terbagi
menjadi Empat yaitu:
1.
Ta’rif lafdhi
Ta’rif lafdhi adalah ta’rif sutau lafadh dengan lafadh yang laindan
lebih jelas bagi pendengarmengenai lafadh itu.
2.
Ta’rif tanbihi
Ta‘rif tanbihi adalah ta’rif yang mengadirkan gambaran yang sudah
tersimpan dalam khayalan pendengar yang pada waktu itu terlupa padahal pernah
dikenalnya.
3.
Ta’rif ismi dan
4.
ta’rif haqiqi
sebenarnya hampir sama, kerena kedua-duanya merupakan gambaran atau
susunan kata. Jika telah jelas susunan pengertian itu jelas pulalah pengertian
suatu yang di ta’rifkan.[4]
C.
SYARAT-SYARAT TA’RIF
Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya
terpenuhi, antara lain:
1)
Ta’rif harus jami’ mani’ (muththarid mun’akis)
Secara lughawi, jami’ berarti mengumpulkan dan mani’ adalah
melarang. Dalam ilmu mantik, jami’ berarti mengumpulkan semua satuan yang
dita’rifkan ke dalam ta’rif. Sedangkan mani’ berarti melarang masuk segala
satuan hakekat lain dari yang dita’rifkan ke dalam ta’rif tersebut. Oleh Karena
itu, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan.
Contoh: Manusia adalah hewan yang berakal.
2)
Ta’rif Harus Lebih Jelas Tidak Boleh Lebih Samar
Artinya Ta’rif harus mudah difahami oleh pendengar (dhahir) dan
bukan sesuatu yang maksudnya lebih samar dibandingkan perkara yang di ta’rifi.
Contoh: Api adalah materi yang menyerupai ruh.
Ta’rif ini tidak memenuhi syarat, karena ruh dinilai lebih samar dibandingkan
api, karena ruh banyak di perdebatkan. Sehingga yang terjadi, ta’rif bukan
memberikan penjelasan, namun justru menambah ketidakjelasan bagi pendengar.
3)
Ta’rif Tidak Boleh Musawi (Setingkat
Kesamarannya)
Artinya Ta’rif tidak boleh menggunakan sesuatu yang tingkat
kesamarannya sama dengan perkara yang di ta’rifi.
Contoh: Benda bergerak adalah benda yang tidak diam.
Ta’rif ini tidak memenuhi syarat, dan tidak bisa diterima karena
tidak adanya pemahaman tambahan melebihi dari sesuatu yang di ta’rifi.
4)
Ta’rif Tidak Boleh Berputar-Putar
Maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh yang
dita’rifi.
Contoh: Manusia adalah orang, orang adalah manusia.
5)
Ta’rif Tidak Boleh Berbentuk Majaz
Artinya ta’rif tidak di perbolehkan menggunakan lafad yang berbentuk
majaz tanpa disertai qarinah (bukti indikator) yang memalingkan makna asal.
Bisa juga dikatakan Tidak boleh menyalahi aturan bahasa.
Contoh: para kiyai adalah bulan purnama yang menyinari kegelapan
malam.
Kata bulan purnama dalam
definisi ini adalah kiasan dari seorang ulama yang mengayomi semua masayarakat.
6)
Ta’rif Tidak Boleh Menggunakan Lafadz Musytarak (Persekutuan)
Artinya ta’rif tidak boleh menggunakan kata yang memiliki makna
lebih dari satu, kecuali disertai qarinah yang menjelaskan makna yang di
kehendaki.
Contoh: Matahari adalah ‘ain.
Kata ‘ain memiliki banyak arti seperti mata, sumber air,
matahari dan emas. Hal ini tidak diperbolehkan, kecuali dibarengi dengan qarinah
yang mengarahkan pada salah satu makna diantara beberapa makna tersebut.
7)
Ta’rif Berbentuk Rasm Tidak Boleh Menyertakan Suatu Hukum
Artinya dalam rangkaian ta’rif berbentuk rasm tidak diperbolehkan
mencantumkan hukum. Karena penghukuman atas sebuah perkara merupakan pembagian
dari Pentasawuran perkara tersebut.
Contoh: Fa’il adalah isim yang dibaca rafa’.
Hal ini tidak diperbolehkan manakala hukum dijadikan salah satu juz
penyusun rasm.
8)
Ta’rif tidak boleh memasukkan lafadz “aw” dalam ta’rif had dan
boleh dalam ta’rif rasm
Artinya lafadz “aw” yang memiliki makna taqsim (membagi) dan
tahyir (membuat pilihan) kedalam bagian dari ta’rif had tidak
diperbolehkan. Namun hal ini diperbolehkan dalam ta’rif rasm.
Contoh dalam ta’rif had: Manusia adalah hewan yang berakal atau
berfikir.
Contoh dalam ta’rif rasm: Manusia adalah hewan yang bisa tertawa
atau menangis.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Takrif
(al-ta’rif) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Takrif
disebut juga al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan) atau al-had, yaitu
قَوْلٌ
دَالٌ عَلَى مَا هِيَةِ الشَّيْئِ
“Kalimat yang menunjukkan hakikat sesuatu.”
Sedangkan ta’rif secara
mantiki adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang
dengannya diperoleh yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan /
diperkenalkan.
2.
Ta’rif
dibagi menjadi 3 macam, yaitu: ta’rif had (tam dan naqish), ta’rif rasm (tam
dan naqish), dan ta’rif lafadzi.
3.
Syarat-syarat
ta’rif, yaitu harus jami’ mani’, harus lebih jelas tidak boleh lebih samar,
tidak boleh musawi (setingkat kesamarannya), tidak boleh berputar-putar, tidak
boleh berbentuk majaz, tidak boleh menggunakan lafadz musytarak (persekutuan),
Ta’rif berbentuk rasm tidak boleh menyertakan suatu hukum, Tidak boleh
memasukkan lafadz “aw” dalam ta’rif had dan boleh dalam ta’rif rasm.
B, Saran
Makalah ini kami buat memang sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan
saran pada semua pembaca agar nantinya makalah ini bisa
diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi bahan kajian atau bahkan bisa
dijadikan bahan untuk dikoreksi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasyimy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008. Zubdatul Mantiqiyah (teori
Berfikir Logis), Jombang: Darul Hikmah.
Azka, Darul. 2012. sulam
al-munawraq kanjian dan penjelasan ilmu manti, Lirboyo: Santri salaf press.
Al-akhdhoriy, Syekh Abdur Rohman. . Nadzhom Sullamul Munawroq Fi
Mantiq, (Jombang: Pustaka Muhibbin. 2014)
Baihaqi.. Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir Logik. (Jakarta
: Darul Ulum Press. 2007)
Djalil, B., 2010, Logika (Ilmu Mantik), (Jakarta : Kencana
Predana Media Group. 2010)
http://bambangindrayana.blogspot.co.id/2013/01/makalah-ilmu-mantiq-tentang-tarif.html
[1]
Prof. Dr. H. Baihaqi A.K, Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir
Logik, (Jakarta : Darul Ulum Press, 2007), h. 47
[2]
Drs. H. A. Basiq Djalil, S. H. M. A, Logika
(Ilmu Mantik), (Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2010), Cet. Ke-1, h. 18
[3]Prof.
Dr. H. Baihaqi A.K, Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta :
Darul Ulum Press, 2007), h. 48-51
[4] Prof. KH.
M. Taib Thahir, Ilmu Mantiq, (Yogyakarta : Widjaya, 1964), h. 58
[5]
Al-akhdhoriy, Syekh Abdur Rohman. . Nadzhom
Sullamul Munawroq Fi Mantiq, (Jombang: Pustaka Muhibbin. 2014)
ماشاءالله
BalasHapusSangat bermanfaat bang
Silahkan kunjungi juga link saya
www.jejakmufassir.my.id