ADAB DAN SYARAT MUFASSIR
MABAHISH
FII ULUMIL QUR’AN
“ADAB
DAN SYARAT MUFASSIR”
Anang Bustami
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir merupakan salah satu jalan
untuk memahami kitab suci Al-Quran yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai pedoman hidup manusia agar selamat baik ketika di dunia
sampai di akhirat kelak. Sangat mustahil seseorang akan paham l-Quran secara
kamil atau sempurna kalau tidak tahu tentang tafsirnya. Serangan terhadap
Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para orientalis barat. Mereka
berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kesakralan Al-Quran
dengan berbagai ragam cara. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang
melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi
dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu
juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim, bahkan tak
jarang hal ini berkembang.
Ajakan untuk melakukan penafsiran
ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran
ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi
relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut
agama lain. Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk
menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan
Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk
menjelaskannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Mufasir ?
2.
Apa
saja syarat-syarat yang harus dimiliki mufasir ?
3.
Apa
saja adab-adab yang harus dimiliki mufasir ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dari kata Mufassir.
2.
Untuk
mengetahui Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang Mufassir.
3.
Untuk
mengetahui adab-adab yang harus dijaga dari eorang mufassir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mufasir
1.
Pengertian Mufasir
Secara bahasa Mufassir adalah bentuk
isim fa’il dari kata Fassara (فَسَّرَ) yang artinya menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian di ikutkan
wazan isim fa’il Mufa’ilun menjadi Mufassirun (مُفَسِّرُوْنَ) yang artinya orang yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi.
Sedangkan menurut istilah, Mufassir
adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui
maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih
dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai
tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan
mengajarkannya atau menuliskannya.
Abu Muhammad FH, menjelaskan dalam
Kamus Istilah Agama Islam, Mufassir adalah orang yang menerangkan makna
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur an.
2.
Pengertian Syarat Mufassir
Syarat adalah sesuatu yang harus
dikerjakan agar sesuatu yang dikerjakan menjadi sah hukumnya.
Sedangkan Pengertian syarat mufassir
adalah jalur serta rel sahnya seseorang menafsirkan Al-Qur’an. syarat amat
sangat penting bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apalagi
menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan
membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif.
Peran syarat dalam suatu hal
sangatlah penting karena al-Qur an merupakan Kitab pedoman umat Islam dengan
menyandang kata “suci” tidak boleh sembarang orang menafsirkan jika tidak
memenuhi persyaratanya karena dampaknya akan sangat fatal jika terjadi
kesalahan mengingat esensi Al-Qur An adalah sebagai pedoman hidup umat Islam
agar selamat didunia dan akhirat.
Seorang mufassir Al-Quran perlu
memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu pengetahuan
secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki
kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan tentang
syarat-syarat dasar yang diperlukan bagi seorang mufassir.
Orang yang dapat menafsirkan Al-Quran
hanya orang yang memiliki keahlian dan menguasai Ilmu Tafsir (Ilmu Pengetahuan
Tentang Al-Quran), sedangkan orang yang belum banyak mengerti tentang ayat dan
tata cara menafsirkan Al-Quran dan tidak menguasai ilmu Tafsir tidak
diperbolehkan menfsirkan Al-Quran, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kitab
suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nafsu keinginan mufassir, sehingga
tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya.
Larangan menafsirkan al-Quran tanpa dasar Ilmu Pengetahuan tentang
Al-Quran berdasarkan surat Al-A’raf : 33
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.Îô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ã ¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ
“Katakanlah, Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang Nampak atau yang sembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar dan
(mengharamkan) karena mempersekutuan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap
Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf [7] : 33)
Penjelasan larangan menafsirkan Al-Quran
tanpa ilmu pengetahuan adalah terletak pada kata “dan (mengharamkan) kamu
mengada-adakan” yang di athof kan kepada hal-hal yang diharamkan sebelum
lafadz ini. Oleh sebab itu mengatakan sesuatu mengenai kitab Allah tanpa dasar
pengetahuan termasuk sesuatu yang diharamkan.
Selain itu terdapat Hadits Nabi Saw
yang juga melarang menafsirkan al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan
(terkait dengan Al-Quran) dengan pemberian ancaman masuk neraka.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار,
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:
“Dari Said Bin Jubair, dari Ibnu
Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa yang mengatakan tentang
al-Quran tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka tempat yang paling layak baginya
adalah neraka’ (HR.At-Tirmidzi)
Asbabul wurud dari Hadits ini
terjadi ketika pada zaman Nabi banyak para sahabat yang melakukan penafsiran
tanpa ada dasar-dasar ilmu pengetahuan. Maksud dari hadits ini adalah bahwa
bagi yang menafsirkan Al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan akan memberikan
peluang bagi orang bodoh dan orang-orang yang mempunyai niat tidak baik untuk
melakukan penyelewengan terhadap Al-Quran. Hal ini disebabkan mereka akan
menafsirkan Al-Quran dengan dasar nafsu yang pada gilirannya bertujuan membela
pendapatnya atau bahkan sekedar membela kelompok atau madzhabnya.[1]
B.
Syarat-syarat bagi Mufasir.
Seorang mufassir Al-Quran perlu
memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu pengetahuan
secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki kemampuan
dalam segala bidang.
Adapun persyaratan bagi seorang
mufassir adalah sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ulama adalah sebagai
berikut:
Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazhabi: Syarat bagi seorang mufassir adalah menguasai ilmu Nahwu, Ilmu
sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu
Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu
Hadits dan Ilmu Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah).
Syekh Manna’ al-Qaththan: Syarat seorang mufassir dan tata cara menafsirkan adalah bebas
dari hawa nafsu, memulai menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, mencari tafsir
dari al-Sunnah, prndapat dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua
cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran,
dan memiliki ketajaman berpikir.
Khalid al-Sabt: Syarat bagi seorang mufassir (yang hampir semuanya mengenai
bahasa Arab) yaitu harus mengetahui Fiqh al-Lughah, Hukum Kalimah, Ilmu Bayan,
Ma’ani dan Badi’ Mubham dan Mufasshal, ‘Am dan Khas, Ilmu Kalam, dan Ilmu
Qiraat.[2]
Menurut
para Ulama’ syarat-syarat yang harus dimiliki oleh mufasir yaitu;
1. Akidah
yang benar.
Akidah sangat berpengaruh terhadap
jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan
berkhiyanat untuk menyampaikan berita.
2. Bersih
dari hawa nafsu
Hawa nafsu akan mendorong pemiliknya
untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata
halus dan keterangan menarik.
3.Menafsirkan
Qu’ran dengan Qur’an lebih dahulu.
Karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci
ditempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah
diuraikan ditempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari sunah.
Sunah berfungsi sebagai pensyarah
Quran dan penjelasnya. Allah menyebutkan bahwa sunah merupakan penjelas bagi
kitab.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“Dan kami turunkan kepadamu az-Zikr
(Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
(an-Nahl [16]: 44).
Oleh
karena itu Rosulullah mengatakan:
“ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamannya
pula sesuatu yang serupa dengannya”, yakni sunah.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunah, hendaklah
meninju pendapat para sahabat karena mereka lebih mengeahui tentang tafsir
Qur’an.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunah
maupun dalam pendapat para sahabat maka sebagian besar ulama dalam hal ini,
memeriksa pendapat tabi’in.
7. Pengetahuan bahasa Arab dalam segala cabangnya, karena Qur’an di
turunkan dalam bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada
penguraian mufrodat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang
ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tentang syarat
ini mujahid berkata “tidak di perkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk bicara tentang kitabullah apabila ia tidak mengetahui
berbagai dialek bahasa Arab”.
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan
Qur’an, seperti ilmu qir’ah, ilmu tauhid dan ilmu ushul, terutama usulut tafsir
dengan mendalami masalah-masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas suatu
makna dan meluruskan maksud-maksud Qur’an.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu
makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas
syariat.
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa syarat bagi seorang mufassir adalah:
Mengetahui bahasa Arab dan
kaidah-kaidah bahasa (Ilmu Tata Bahasa, Sintaksis, Etimologi, Dan Morfologi),
ilmu retorika (Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, Dan Ilmu Badi’), ilmu ushul fiqh (Khas,
‘Am, Mujmal, dan Mufasshal). Tanpa memahami secara mendalam tentang bahasa
al-Quran, maka besar kemungkinan bagi seorang mufassir akan melakukan
penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi. Jika seseorang tidak dapat
memahami makna ayat, kosa kata dan idiom secara literal maka ia akan terjerumus
kepada kesalahan dan menyebabkan terjadinya penafsiran yang kontroversial.
C.
Adab-adab Mufassir
Adapun
adab seorang mufassir dalam meanfsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Berniat baik dan bertujuan benar,
sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat. Orang yang berkecimpung dalam
ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kemashlahatan
umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan
duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan menjadikan ilmunya bermanfaat
sebagai buah keikhlasannya.
2. Berakhlak mulia, karena
mufassir bagai seorang pendidik.
Pendidikannya yang diberikan itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa, jika ia
tidak menjadi panutan dengan akhlaq dan perbuatan mulia, memetik manfaat dari
apa yang didengar dan dibacanya, bahkan terkadang dapat mematahkan jalan
pikirannya.
3. Taat dan amal. Ilmu akan lebih
dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya daripada yang hanya hebat
dalam teori dan konsep. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufassir sebagai
panutan yang baik bagi pengalaman masalah-masalah agama yang ditetapkannya.
Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuannya
hanya karena orag tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan ilmunya.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan.
Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang
diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan.
5. Tawadhu’ dan lemah lembut, karena
kesombongan ilmiah merupakan satu dinding kokoh yang dapat menghalangi antara
seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia. Seharusnyalah
seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta, tidak menjadi
penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagai peminta-minta yang buta.
7.
Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa lalim.
8.
Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan
terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri
dan berja;an, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
9. Bersikap tenang dan mantap.
Mufassir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak terburu-buru, mantap dan
jelas, kata demi kata.
10. Mendahulukan orang yang lebih
utama dari dirinya. Seorang mufassir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan
dihadapan orang orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak
pula merendahkan mereka sesudah wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar
dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
11. Siap dan metadologis dalam
membuat langkah-langkah penafsiran, seperti memulai dengan menyebutkan asbabun
nuzul, arti kosa kata, menerangkan struktur kalimat, menjelaskan segi-segi
balaghah dan i’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan
makna umum dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan umum yang sedang
dialami, kemudian mengambil kesimpulan dan penetapan hukum.[3]
Adapun mengemukakan korelasi dan
pertautan diantara ayat-ayat, bergantung
pada struktur kalimat dan konteks. Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah
adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
a)
Akidah
yang lurus,
b)
Terbebas
dari hawa nafsu,
c)
Niat
yang baik,
d)
Akhlak
yang baik,
e)
Tawadhu‘
dan lemah lembu,
f)
Bersikap
zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah
ta‘ala,
g)
Memperlihatkan
taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang,
h)
Tidak
bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan,
i)
Bisa
dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh
sebagai pemimpin yang diikuti.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dalam
makalah ini dapat kami ambil kesimpulan diantaranya :
Pengertian Syarat mufassir adalah
jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur’an, syarat amat sangat urgen
bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apata lagi menafsirkan
Al-Qur’an secara keseluruhan.
Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang
mufassir antara lain adalah meliputi ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu
Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu
Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadits dan Ilmu Mauhibah,
ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu humaniora
Syarat – syarat Mufassir diantaranya
adalah : Berakidah yang benar, Mampu mengekang hawa nafsu, menafsirkan ayat
dengan ayat terlebih dahulu, merujuk pendapat sahabat, merujuk pendapat tabi’in,
menguasai bahasa Arab, dan lain-lain.
Adab-adab Mufassir diantaranya
adalah: Niatnya harus bagus, Berakhlak mulia, Mengamalkan ilmunya, Hati-hati
dalam menukil sesuatu, Berani dalam menyuarakan kebenaran, tidak tergesa-gesa
terhadap sesuatu,
B.
Saran
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih banyak memerlukan
pembenahan. Oleh karena itu kami mengharap kepada segenap pembaca yang budiman
untuk memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran, baik secara lisan
mapun secara tertulis. Kami akan dengan senang hati menerimanya. Harapan kami
semoga makalah ini menjadi manfaat. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Haidar, Hazim Sa’id Baina. “Al-Itqan
Wa Al Burhan” (Madinah, Dar az-Zaman, 2000)
Amrullah, Fahmi. “Ilmu Al Qur’an
Untuk Pemula” (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008)
Khalil, Manna’. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Surabaya: Ramsa
Putra. 2002)
Al-Dzahabi, Muhammad Hussein “At-Tafsir
Wa Al-Mufassirun” (Beirut, Maktabah al-wahbah, 2000.)
Al-Qattan, Manna’ “Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an” terj. Drs.Mudzakir AS, (Bogor : Pustaka Litera Antar
Nusa, 2009)
Komentar
Posting Komentar