KAIDAH TAFSIR "PENGULANGAN ISM NAKIRAH DAN MA'RIFAH"
![]() |
QAWAID AT-TAFSIR
KAIDAH MA’RIFAH
“PENGULANGAN ISM NAKIRAH DAN MA’RIFAH”
Anang Bustami (11634002)
![]() |
A. Pendahuluan
Ada satu
pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa
makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin
kebenaran yang bersifat pasti. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada
ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu
ulama-ulama klasik saja.
Persoalannya
adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk
menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta
mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi
umat manusia.
Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama
dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat
digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan
kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun
kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi
benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih
berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat
obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada
dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
B.
Pembahasan
1.
Pengulangan
Ism Nakirah dan Ma’rifah
Sifat dari
Ism (اسم)
Ma’rifah (معرف).
Sifatnya yakni Ma’rifah (معرف)/definite atau nakirah
(نكرة)/indefinite.
Ma’rifah adalah nama yang menunjuk kepada sesuatu yang telah
diketahui/tertentu, seperti kata muhammad (محمد) at-Tilmiz (التلميذ)/murid itu,
sedangkan nakirah adalah lawannya seperti kata Tha’ir (طائر) burung, tilmidz (تلميذ) tanpa alif dan lam/murid.[1]
Lafaz ism Nakirah ialah kata benda yang
menunjukkan sesuatu yang tidak tertentu ; misalnya kata كتب (suatu buku), رجل(seorang
laki-laki). Kata-kata terseut berbeda dengan kata الكتب(buku itu) dan الرجل(laki-laki itu). Dua kata
tersebut belakangan ini disebut isim Ma’rifah yaitu kebalikan dari isim
nakirahyakni kata benda yang menunjukkan sesuatu tertentu.
Isim Nakirah didalam Al-Quran itu ternyata mempunyai kandungan makna
yang bernamacam-macam antara lain : “mengagungkan, merendahkan, jumlah yang
banyak, jumlah yang sedikit, berlaku umum bila terkait nafy-nahy, syarat, dan
lain-lain.
Keanekaragaman makna dan fungsi Nakirah
Isim nakirah
dalam Al-Quran memiliki makna yang beraneka ragam dan fungsi yang
bermacam-macam, antara lain :
1. Menunjkkan makna tunggal (satu) : misalnya QS. AQashash [28] : 20
وَجَاءَ رَجُلٌ
مِّنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ يَسْعَى
“dan datanglah seorang
laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas…”
Untuk menunjukkan arti banyak: misalnya QS.
Al-Baqarah [2] : 96
وَلَتَجِدَنَّهُمْ
اَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَوةٍ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرِكُوْا
“dan sungguh kamu akan
mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan
(lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik......
Yakni, suatu kehidupan untuk mencari bekal
tambahan yang banyak bagi masa depan.
2. Untuk mengagungkan atau mewajibkan misalnya QS. Al-Baqarah [2] : 279
فَاِنْ لَّمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوى بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu….”.
Lafaz Harb berarti peperangan yang
dahsyat atau perang besar.
3. Menunjukkan makna jumlah yang banyak, misalnya QS. 26 : 41
فَلَمَّ
جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوْا لِفِرْعَوْنَ اَئِنَّ لَنَا لَاَجْرً اِنَ كُنَ
نَحْنُ الْغَلِبِيْنَ (41)
“Maka tatkala Ahli-ahli sihir
datang, merekapun bertanya kepada Fir'aun: "Apakah Kami sungguh-sungguh mendapat
upah yang besar jika Kami adalah orang-orang yang menang?" (QS. Asyuara’ [26] : 41)
4. Untuk merendahkan atau menghinakan, misalnya QS. Abasa [80] : 18-19
مِنْ اَيِّ
شَيْءٍ خَلَقَهُ (18) مِنْ نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ (19)
“dari Apakah
Allah menciptakannya.? dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu
menentukannya”[1557]. (QS. Abasa [80] : 18-19)
[1557] Yang dimaksud dengan menentukannya
ialah menentukan fase-fase kejadiannya, umurnya, rezkinya, dan nasibnya.
اَلتَنْكِيْرُ
فِيْ الْقُرْاَنِ لِاَسْبَابٍ مُتَعَدِّدَةٍ
“Nakirah dinyatakan dalam
Al-Quran karena berbagai alasan” (Ahmad Thib Raya)[2]
Satu nama dinilai berbentuk ma’rifat
apabila ia merupakan salah satu dari hal-hal berikut:
1) Dhama’ir (الضمائر)/noun/pengganti
nama, seperti huwa (هو)/dia
(maskulin) atau Hiya (هي)/dia
(feminism)
2) ‘Alam (علم)/tanda
yakni kata yang telah dikenalluas bagi sesuatu, seperti nama kota yang
terkenal, jalarta, makkah.
3) Ism Al-Isyarah (اسم الاشارة)
yakni lafaz yang mengandung makna isyarat, seperti Hadza (هذا)/ini, atau Dzalika (ذلك)/itu.
4) Ism Maushul (اسم موصول)
misalnya al-Ladzina (الذين) atau al-Ladzi
(الذي)/yang.
5) Al-Muhalla bi’al (المحلى بال)
yakni yang diawal lafaznya diawali dengan al (ال) seperti kata ar-Rajul
(الرجل)
6) Al-Mudhaf ila al-Ma’rifah (المضاف الى المعرفة) yakni kata yang disandarkan
pada sesuatu yang bersifat ma’rifat, seperti kitab musa (كتاب موسى)/kitabnya nabi Musa.
2. Kaidah Pengulangan Ma’rifah dan Nakirah
Dalam konteks ma’rifah dan nakirah
para pakar mengemukakan kaidah yang dapat diterapkan pada umumnya ayat-ayat
Al-Quran, yaitu :
“pengulangan kata yang sama dalam satu rangkaian kalimat yang keduanya
dalam bentuk ma’rifah, maka itu secara umum mengandung makna bahwa yang kedua
sama dengan yang pertama, serta pengulangan nakirah menunjukkan bahwa yang
pertama bukan yang kedua.”
Salah
satu firman-Nya dalam QS.Asy-Syarh [94] : 5-6
فَاِنَّ مَعَ
الْعُسْرِ يُسْرًا (5) أِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
“karena sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS.Asy-Syarh [94] : 5-6)
Ayat diatas
menggunakan bentuk ma’rifat/definite untuk kata al-Usr (العسر)/kesulitan, sedang kata Yusr
(يسر)
berbentuk nakirah/indefinite. Ini berarti kesulitan yang disebut
pada ayat 6 sama dengan kesulitan yang disebut pada ayat 5, sehingga ini
berarti bahwa setiap ada satu kesulitan, maka dicelahnya/bersamanya ada dua
kemudahan.
“sedang bila yang pertama nakirah dan yang
kedua Ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama”.
Seperti firman Allah swt :
كَمَا
اَرْسَلْنَا أِلَى فِرْعَوْنَ رَسُوْلًا. فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْل.
“… sebagaimana kami mengutus
kepada Fir’aunrasul, lalu Firaun mendurhakairasul (itu)” (QS. Al-Muzammil [73] : 15-16)
“bila sebaliknya, yang pertama Ma’rifah dan
yang keduanya nakirah, maka ini memerlukan pengamatan indicator untuk
merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maksudny”a.
Seperti kata sa’ah yang terulan
dalam firman-Nya :
وَيَوْمَ
تَقُوْلُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ المُجْرِمُوْنَ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ
“pada hari datangnya
as-Sa’ah (kiamat) para pendurhaka bersumpah; mereka tidak tinggal didunia
kecuali sesaat (waktu yang singkat)"(QS. Ar-Rum [35] : 55)
Memang kaidah ii tidak selalu demikian,
namun paling tidak ia dapat menjadi patokan pemahaman.
Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum,
tetapi kebanyakan demikian itu halnya, salah satu bukti bahwa kaidah diatas
tidak selalu demikian adalah firman Allah dalam QS. Az-Zukhuf [43] : 84 ;
وَهُوَاالَّذِى
فِى السَّمَاءِ أِلَهٌ وَفِى الْاَرْضِ اِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيْمُ
الْعَلِيْمُ
Pada ayat diatas kata Ilah (اله) berulang dua kali, sekali
dalam kaitannya dengan as-sama’ (السماء)/langit dan dikali
kedua dalam kaitannya dengan al-Ardh (الارض)/bumi. Jika kaidah
diatas diterapkan, maka itu dapat berarti bahwa tuhan di langit berbeda dengan
tuhan yan di bumi. Karena itu, salah satu jalan keluar yang diberikan oleh para
pakar adalah memahami kata ilah (اله) dalam arti "ketuhanan" bukan “tuhan” sehingga ayat
tersebut bermakna :
“Dia (Allah) yang ketuhanannya terbentang
di langit dan terbentang juga di bumi ”
Disini bisa
saja kedua bentuk tersebut berbeda antara lain, bahwa dilangit ketuhanan-Nya
sangat jelas, tidak ada atau hampi tidak ada satu makhluk pun yang membangkang.
Sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas itu, karena di sini sekian banyak
makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui wujud-Nya. Lebih jauh
kaidah umum itu menyatakan bahwa :
“kalau ma’rifah diulang ma’rifah, atau
Nakirah disususn Ma’rifah maka keduanya mengandung makna yang sama.”
Namun sekali lagi, ini tudak selalu
bersifat demikian, perhatikanlah firman Allah Swt.
هَلْ جَزَاءُ
الْاِحْسَنِ اِلَّا الْاِحْسَنُ
“bukankan balasan kebajikan
tidak lain kecuali kebajikan pula”(QS. Ar-Rahman [55] : 60)
Di sini kata al-Ihsan (الاحسن) terulang dua kali, keduanya
dalam bentuk Ma’rifah. Tetapi kata al-Ihsan yang pertama ihsan
duniawi, sedangkan yang kedua merupakan balasannya adalah kenikmatan
ukhrawi. Tentu yang duniawi bebeda dengan yang ukhrawi. Namun demikian,
sebagai Patokan umum kaidah itu dapat digunakan.[4]
C. Penutup
Merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat
untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif
serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi
umat manusia adalah sebuah keharusan. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama
dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat
digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan
kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya kaidah
Ism Ma’rifah dan Nakirah. Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini
tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran
al-Qur’an.
Dalam konteks ma’rifah
dan nakirah para pakar mengemukakan kaidah yang dapat diterapkan pada
umumnya ayat-ayat Al-Quran, yaitu : “Pengulangan kata yang sama dalam satu
rangkaian kalimat yang keduanya dalam bentuk ma’rifah, maka itu secara umum
mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, serta pengulangan
nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua”.
Memang kaidah ii tidak selalu demikian,
namun paling tidak ia dapat menjadi patokan pemahaman. Sekali lagi, kaidah ini
tidak berlaku umum, tetapi kebanyakan demikian itu halnya. Wallahu ‘Alam
D. Daftar Pustaka
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir.
(Tangerang: Litera Hati, 2013)
Prof. Dr. Salman Harun, dkk.
Kaidah-kaidahTafsir. (Jakarta: QAF, 2017) cet. 1
[1] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir.
(Tangerang: Litera Hati, 2013) hlm. 48
[2] Prof. Dr. Salman Harun, dkk.
Kaidah-kaidahTafsir. (Jakarta: QAF, 2017) cet. 1 hlm. 266
[3] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir.
(Tangerang: Litera Hati, 2013) hlm. 48-49
[4] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir.
(Tangerang: Litera Hati, 2013) hlm.
Komentar
Posting Komentar