KLARIFIKASI PEMAHAMAN CADAR

MENGKLARIFIKASI PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG LARANGAN
PEMAKAIAN CADAR/NIQAB YANG MENJADI SALAH SATU ATURAN PERGURUAN TINGGI DI
INDONESIA
Anang_Bustami

Akhir-akhir ini memang banyak sekali timbul berbagai
macam komentar yang timbul di media sosial ataupun di berbagai percakapan
dikalangan masyarakat mengenai adanya peraturan yang dibuat oleh salah satu
lembaga perguruan tinggi di Indonesia mengenai larangan pemakaian cadar/niqab
ketika beraktifitas di lingkungan kampus.
Dan memang benar larangan itu memang ada kita sebutkan
saja salah satunya yaitu Larangan penggunaan cadar di Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang disebut "untuk mencegah radikalisme dan fundamentalisme"
mengundang perdebatan di kalangan warganet. Sebagian mengatakan larangan
tersebut diskriminatif, tapi ada juga yang menyamakannya sebagai aturan
berpakaian biasa yang berlaku di kampus.
Karena terlalu banyaknya komentar mengenai hal itu,
para ustad dan tokoh-tokoh agama juga banyak yang berkomentar. Sebagian
diantara mereka ada yang berkomentar berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka
kuasai dan ada juga berdasarkan pemahaman mereka sendiri mengenai cadar/niqab
itu sendiri.
Oleh karena itu, penulis mengutip beberapa komentar
yang sekiranya perlu di perjelas agar masyarakat dan orang awam dapat memahami
mengapa bisa ada larangan pemakaian cadar/niqab dalam aktifitas kampus, agar
tidak sembarangan menilai atau menjastifikasi bahwa kampus itu membenci syariat
agamanya sendiri atau rektornya perlu di beri siraman rohani tentang syariat
beragama dan lain sebagainya
Pertama. “kalau Rektor Universitas Trisakti yg
melarang Jilbab dan Cadar bagi mahasiswinya, kita bisa maklumi. Nah ini Rektor
Universitas ISLAM Negeri yg bikin larangan mahasiswinya pake cadar dan jilbab” oleh Imam Malik @imamMalik3
Kedua. “apakah menggunakan cadar perbuatan yg
menyimpang? apakah kita akan membenarkan stigma bahwa yang becadar itu
mengikuti aliran radikal, apakah perempuan tidak mempunyai hak untuk hanya
melindungi dirinya sendiri” oleh Winanda Putri Kemala @winandaputri_k
Ketiga, “Di dalam kampus terjadi pembubaran
diskusi, nobar film, bahkan pemberangusan pers mahasiswa. Kini ditambah
larangan memakai cadar. Mengapa kegelapan dimulai dari institusi yang
seharusnya menjadi tempat terakhir nyala cahaya di saat yang lain gulita?” Dandhy Laksono @Dandhy_Laksono
Komentar-komentar diatas merupakan salah satu contoh
yang dapat memicu pemikiran penulis untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
sebab pelarangan menggunakan cadar yang diterapkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sebenarnya penulis disini juga
mengungkapkan alasan utama mengapa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengeuarkan
Stetmen larangan menggunakan cadar/niqab di kampus dan Aktifitas perkuliahan.
Karena setiap keputusan tentu banyak sekali pertimbangannya dan mempunyai
beberapa alasan sehingga lahir sebuah keputusan yang layak untuk disepakati.
Faktor penyebab mengapa Warek III (Wakil Rektor III)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengeluarkan peraturan pelarangan menggunakan
pemakaian Cadar/Niqab dilingkungan Kampus dan Aktifitas Perkuliahan adalah
adanya tiga komponen faktor utama, dengan hal ini penulis menuliskan pernyataan
langsung dari Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
sekaligus beliau adalah Kakak tingkat penulis di Jurusan Ilmu Al-Quran dan
Tafsir IAIN Pontianak. Beliau bernama Wendi Purwanto.
Dari informasi yang penulis dapatkan dari saudara
Wendi Purwanto ialah beliau mengatakan “Bahwa sanya ada mahasiswa yang
melakukan penelitian dalam skripsinya tentang Cadar/Niqab yang ada di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, kemudian mahasiswa itu mendapatkan tiga kesimpulan besar
terkait penelitiannya. Pertama, orang yang menggunakan Cadar/Niqab itu tidak
meminta izin kepada Orang tuanya, bahwa dia menggunakan Cadar/Niqab. Kedua,
orang yang menggunakan Cadar/Niqab cendrung menyendiri dan tidak mudah bergaul
dan susah berkomunikasi. Yang ketiga, bahwasanya pernah kejadian ada Mahasiswi
yang menggunakan Cadar/Niqab itu pernah hilang dan pihak keluarga menuntut ke
Lembaga Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kertiga hasil yang didapat itulah
yang membuat Warek III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengeluarkan stetmen
(Peraturan) agar tidak menggunakan Cadar/Niqab di kampus dan Aktifitas
perkuliahan. Jika dikaji dalam Ilmu Fiqh keputusan itu dinilai sebagai Suthuz
Zariah, yang mana makna dari Suthuz Zariah itu adalah menutup segala
kemungkinan kemungkinan yang tidak baik.”
Dalam menjawab permasalahan
tersebut, penulis juga mengutip tulisan Dosen penulis sendiri yaitu Dr. H.
Wajidi Sayadi, M.Ag beliau dalah dosen pakar Ilmu Hadis yang dimiliki oleh IAIN
Pontianak dan juga sekaligus ketua MUI Kal-Bar. beliau menyatakan bahwa
Cadar/Niqab itu tidak wajib untuk wanita muslimah dengan rujukan beberapa dalil
Al-Qur’an dan Hadits. Berikut kutipan yang saya ambil dari tulisan beliau :
“Kuliah Studi Hadis dalam
diskusi mahasiswa Pasacasarjana IAIN Pontianak, kali ini temanya "Hubungan
Hadis dengan Al-Qur'an". Pemahaman terhadap
isi kandungan al-Qur'an memerlukan Kaedah Tafsir. Salah satu kaedahnya
menggunakan hadis. Misalnya cara memahami ayat 59 surat al-Ahzab:
يَاَيُّهَاالنَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ
وَبَنَتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَا
بِيْبِهِنَّ
"Wahai
Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Dalam ayat ini ada kalimat "hendaklah
mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Ayat inilah yang biasa
dijadikan dalil bahwa perempuan harus menutup seluruh tubuhnya termasuk
wajahnya dengan memakai cadar.
Padahal ayat ini masih ada penjelasan atau
tafsirnya dalam surat an-Nur ayat 31, yaitu :
وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
"Dan janganlah menampakkan perhiasannya
(auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dadanya (dan leher).
Apa yang dimaksud " مَا ظَهَرَ مِنْهَا” yang biasa tampak terlihat?
Ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam
hadis. Beliau bersabda :
يا اسماء ان المرءۃ اذا بلغت المحيض لم تصلح ان يری منها الا هذا وهذا
واشار الی وجهه وكفيه.
Wahai Asma'! Sesungguhnya perempuan itu,
apabila telah haidh, maka tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan
ini, Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud).
Hadis ini disebut Bayan at-Tafsir,
yakni hadis menafsirkan al-Qur'an. Hadis inilah yang kemudian banyak dikutip
oleh para ahli tafsir dalam kitab tafsirnya.
Dalam kitab Tafsir
ath-Thabari, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Alusi dan Fath al-Qadir bahwa yang
dimaksud " مَا ظَهَرَ مِنْهَا "
yang
biasa tampak terlihat adalah wajah dan telapak tangan. Ini menurut Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar. Demikian juga adh-Dhahhak, 'Atha', 'Ikrimah, Said bin Jubair,
al-Auza'i dan Ibrahim an-Nakha'i berdasarkan hadis di atas.
Pemahaman terhadap ayat 59
surat al-Ahzab harus dihubungkan dengan ayat 31 surat an-Nur, dan harus
dihubungkan dengan hadis kasus Asma' putri Abu Bakar di atas sehingga
kesimpulannya ialah perempuan diperintahkan menutup seluruh tubuhnya dengan
jilbabnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Makanya dalam kitab-kitab
Fikih, boleh dikatakan semua madzhab berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan
bukanlah aurat perempuan. Oleh karena itu, tidak perlu ditutup dengan cadar. Tegasnya, bagi perempuan muslimah
tidak wajib menutup wajahnya dengan cadar.
Ketika di tempat lain, ada
perempuan memakai cadar, boleh jadi karena pertimbangan budaya dan sosial yang
kemungkinannya bisa memunculkan fitnah bagi yang bersangkutan, bukan karena
kewajiban sebagaimana wajibnya menutup aurat.
Sebenarnya Allah hanya
menegaskan :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
"Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya".
Dalam ayat ini hanya disebut “ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ " yakni menutup dadanya, dan tidak ada kalimat "علی وجوههن" dan menutup wajahnya. والله اعلم بالصواب” (rabu, 07 Maret 2018. IAIN Pontianak)
Dalam ayat ini hanya disebut “ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ " yakni menutup dadanya, dan tidak ada kalimat "علی وجوههن" dan menutup wajahnya. والله اعلم بالصواب” (rabu, 07 Maret 2018. IAIN Pontianak)
Dari uraian diatas maka sudah
tampak jelas sekali bahwa sanya Larangan
penggunaan cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta
tidak menyalahi syariat Islam apalagi sampai membenci Syariat agamanya sendiri.
Didalam bentuk pelarangannya juga bukan bersifat personal akan tetapi ditujukan
untuk seluruh yang ada didalam lembaga tersebut. Jika sudah diluar lembaga maka
tidak ada lagi larangan untuk memakai cadar/niqab. Ini semua demi ketertiban
dalam menggunakan pakaian pada saat jam perkuliahan dan dosen dapat dengan
mudah mengenali identitas mahasiswanya sendiri.
Bagaimana juga sekolah-sekolah negri atau
madrasah-madrasah yang ada di Indonesia, bukankah demi untuk ketertiban para
siswa pakaian mereka diatur dan disesuaikan dengan harinya juga. Jika dalam
pandangan akal normal kita maka tidak salah jika para murid untuk menggunakan
cadar/niqob pada saat jam belajar atau di sekolah. Sama halnya juga dengan Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, karena itu merupakan sebuah
lembaga dan pastinya disetiap lembaga mempunyai aturannya sendiri.
Sekali lagi disini hanya ditegaskan bahwa sanya
pelarangan itu untuk tidak menggunakan cadar/niqab pada saat aktifitas kampus, bukan
melarang menggunakan Jilbab pada saat beraktifitas di kampus.
Disisi lain penulis juga mengambil hasil wawancara
yang dilakukan dengan salah satu dosen IAIN Pontianak yang merupakan dosen
jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang sudah dinilai pakar didalam ilmu Tafsir
yaitu Dr. H. Saifuddin Herlambang, M.Ag.
Menurut pandangan beliau, “Kita harus melihat secara objektif bahwa apa yang
dilakukan kampus adalah sebagai lembaga pendidikan, lembaga riset. Berbeda
pandangan apabila jilbab atau cadar itu dipandang seperti pandangan orang tua
kepada anaknya untuk sebagai muslimah pada dirinya ditengah-tengah masyarakat.
Jadi apa yang dilakukan oleh lembaga itu, seperti
UIN Yogyakarta adalah tidak atau belum tentu karena keinginan pribadi dari
pimpinannya, tapi merupakan buah realisasi dari perundang-undangan atau KepMen
(keputusan pemerintah) yang diputuskan oleh pemerintah kita. Dan itu tentunya
kita bisa melihat mazhab Maliki yang menentukan sebuah Kaidah yang berbunyi “seorang
pimpinan atau kepala Negara adalah seorang Mukti”, jadi hal-hal yang bersifat
Khilafiyah pemerintah boleh mengambil sebuah keputusan hukum.
Kenapa demikian, karena pemerintah itu biasanya
memutuskan sesuatu itu secara hukum positif itu bukan untuk kemaslahatan
sekelompok orang tetapi itu untuk kemaslahatan banyak orang. Dan biasanya itu
dilakukan untuk hal-hal yang bersifat khilafiah.
Cadar adalah sesuatu yang khilafiyah didalam Islam,
karena tidak semua ulama juga memandang bahwa cadar itu wajib ada ulama yang
bernama Abdul Aziz as-Sa’labi yang hidup pada tahun sekitar 1860-an beliau
adalah ulama Arobul Maghrib ia
berkata bahwa cadar itu diwajibkan oleh agama kepada Istri-istri nabi saja dari
pemahamannya tentang redaksi ayat Al-Quran يَاَيُّهَاالنَّبِيُّ قُلْ
لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنَتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ ia menganggap bahwa kalimat wa itu diawali awalnya
adalah istri-istri nabi pada saat itu pada malah hari menurut sebagian ulama
termasuk as-Sa’labi ketika wanita keluar itu sering dicelakai dan dilempari
oeleh laki-laki orang Yahudi lalu kemudian nabi menyuruh atas dasar ayat ini
(QS. Al-Ahzab : 59) menyuruh istri-istrinya untuk memberi tanda bahwa mereka
bukan wanita-wanita Arab biasa atau budak/hamba sahaya akan tetapi mereka adalah
istri-istri nabi maka tanda yag diberikan itu adalah Cadar.
Ketika mereka keluar dengan menggunakan cadar
mereka tidak lagi dicelakai atau diganggu lagi karena memang pada saat itu nabi
tidak hanya dimuliakan oleh pengikutnya tapi bahkan oran-orang yang tidak
mengikuti nabi secara idiologipun itu menghargai Nabi saw.
Akan tetapi Ulama yang menyatakan bahwa cadar
menjadi kewajiban untuk para wanita-wanita secara umum karena melihat kalimat
itu dilanjutkan dengan وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ . tapi
kesimpulannya adalah bahwa ulama kita ternyata berbeda pendapat dalam menyikapi
cadar itu.
Nah
karena ini menjadi problem yang khilafiyah ada perbedaan pendapat diantara
kalangan ulama islam sendiri maka menurut beberapa mazhab termasuk mazhab
Maliki itu mengatakan bahwa pemerintah harus hadir menentukan atau membentuk
kepastian hukum tentang sesuatu yang bersifat khilafiyah. Karena Pemerintah
adalah merangkap sebagai Qadi dan Mukti sebagai hakim untuk hal-hal yang
bersifat khilafiyah, pemerintah harus hadir untuk menentukannya.
Saya
melihat kebijakan yang ada di UIN Yogyakarta itu tidak berdiri sendiri bukan
kebijakan institusi tetapi ini merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah
yang pada saat ini memandang bahwa cadar/niqab itu harus dlarang dikampus
dengan alasan alasan yang memang sangat rasional dalam konstitusi itu.
Menerut
pandangan saya jika tujuan dari pelarangan itu tidak bersifat Subjektif tidak
bersifat Pritensi terhadap memaknai cadar atau memandang negativ bercadar tapi
untuk memproteksi maka kita bisa mengambil ijtihad itu (mensetujui) karena
Ijtihad ketika kita tentukan mengambil salah satu itu bukan kesalahan.
Misalnya
apakah membasuh tangan tiga kali itu merupakan sebuah rukun dalam wudhu atau
cukup satu kali saja? Ulamakan berselisih paham. Ketika anda menentukan saya
mau menyakini satu pendapat itu bukan suatu kesalahan. Artinya krtika ada orang
yang mengambil sikap untuk bercadar itu juga bukan sebuah kesalahan tapi kalau
aa juga orang yang tidak memakai cadar juga merupakan sebuah kesalahan itu
kalau bersifat Personal (pribadi).
Tapi pandangan
yang ada di UIN Yogyakarta itu bukan pandangan personal (pribadi) itu adalah
pandangan yang bersifat Institusi sebagai konsekuensi dari sebuah Negara. Sama
juga dengan semisalnya undang-undang pernikahan dan perkawinan, didalam
perkawinan itukan ada namanya hukum Gonogini, diputuskan bagaimana seorang
wanita dia tidak bisa diceraikan kecuali hakim yang menceraikannya. Itu sudah
menjadi hukum Negara yang sekaligus mengakui hukum Agama.
Maka
jika kita melihat dari hukum tata Negara seorang muslim yang baik harus
mengikuti hukum tata Negara, kecuali jika hukum Tata Negara itu menantang hukum
Syariat. sedangkan ini tidak menantang sama sekali.
Larangan
menggunakan cadar/niqab itu tidak menantang hukum Syariat karena pelarangan
cadar itu terkait dengan sesuatu yang bersifat khilafiyah. Kecuali hal itu
bukan bersifat Khilafiyah lalu pemerintah melarang maka tidak harus dipatuhi. ”(Rabu,
07 Maret 2018. IAIN Pontianak).
Dari beberapa uraian diatas
yang memang sudah sangat baik sekali analisis keilmuannya tentang permasalahan
Cada/Niqab maka penulis menarik kesimpulan yang sekiranya memang perlu untuk di
tuliskan agar tulisan ini memberikan gambaran pemahaman bagi yang membaca dan
agar tidak gampang menjastifikasi sebuah permasalahan.
Adapun kesimpulannya ialah :
1. Cadar
tidak wajib bagi wanita Muslimah, akan tetapi jika ingin memakainya
diperbolehkan.
2. Melepas
dan memasang cadar dalam berpakaian tidaklah dinilai mempermainkan syariat dan
tidak ada dosa membuka aurat di situ, karena wajah dan telapak tangan bukanlah
termasuk aurat dari seorang wanita dan cadar tidak merupakan sesuatu yang
wajib.
3. Aturan
yang dibuat oleh sebuah lembaga selagi tidak menantang syariat agama wajib
untuk diikuti oleh orang-orang yang ada di lembaga tersebut.
4. Kedudukan
pemerintah didalam sebuah Negara itu dinilai sama derajatnya dengan seorang
Qadi dan Mukti, jadi pemerintah berhak untuk memutuskan sebuah hukum apabila
terdapak perbedaab pendapat didalamnya (sesuatu yang Khilafiyah)
5.
Seorang Muslim dan Muslimah yang baik harus mengikuti
hukum tata Negara, yang memang didalam hukum tersebut tidak menantang hukum
syariat Agama.
6.
Apabila
Lembaga Perguruan tinggi di Indonesia menerapkan aturan Larangan menggunakan Cadar/Niqab
bagi mahasiswinya pada saat aktifitas kampus dan perkuliahan maka itu tidaklah
melanggar syariat. Karena sebuah lembaga berhak untuk menetapkan sebuah hukum
yang bersifat Khilafiah. Oleh karena Cadar/Niqab itu status hukumnya Khilafiyah
maka pihak Lembaga tidak salah memilih agar mahasiswinya tidak menggunakan
Cadar/Niqab pada saat aktfitas kampus dan perkuliahan.
Demikianlah
beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis dan juga bagi pembaca pada khususnya. Mari kita
bersama-sama menggali seluas-luasnya khazanah keilmuan sehingga kita dapat
mencerna sebuah permasalahan dengan bijak tanpa menggunakan hawa nafsu dan
pemikiran yang dangkal.
Ali bin
Abi Thalib berkata “Perumpamaan orang yang cerdas ialah seperti seseorang
mencelupkan tangannya kedalam bejana yang dalam, maka tangannya akan lama
sampai kedasarnya. Sedangkan perumpamaan orang yang bodoh ialah seperti
seseorang yang mencelupkan tangannya kedalam bejana yang dangkal, maka sangat
cepat sampainya”
Diharapkan
ketika sudah membaca tulisan ini maka tidak ada lagi perdebatan tentang mengapa
Perguruan tinggi atau beberapa lembaga melarang orang-orang didalamnya
menggunakan cadar/niqab, karena jawabannya sudah diuraikan secara panjang lebar
diatas.
Semoga
tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Amiin
والله اعلم بالصواب
Komentar
Posting Komentar