TRADISI BUANG ABU BUDAYA SAMBAS

TRADISI
SUNATAN DAN BUANG ABU
MASYARAKAT
MELAYU SAMBAS
Anang Bustami
![]() |
ABSTRAK
Sambas terletak di pulau Kalimantan yang lebih dikenal
sebagai Borneo. Sambas memiliki beraneka ragam tradisi dan kebudayaan lokal,
merupakan kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Selain itu nilai-nilai
keislaman tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di Sambas. Salah satu
kebudayaan yang ada di kabupaten Sambas adalah Tradisi Buang Abu. Tradisi ini
dilakukan setelah tiga hari pengkhitanan atau Besunnat anak laki-laki.
Islam memang mensyariatkan agar setiap muslim laki-laki wajib untuk berkhitan
untuk menjaga kebersiahan dan kesucian diri setiap muslim. Tradisi Buang Abu
ini merupakan rangkaian acara tasyakuran dari pelaksanaan khitanan bertujuan
untuk memberitahukan bahwa sang anak sudah dikhitankan. Tradisi ini memang
sudah lama berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat melayu Sambas sejak
zaman dimana belum ada perlengkapan medis (Tradisional) sampai sudah zaman
peralatan medis lengkap saat ini (Modern). Dalam tradisi Buang Abu kita akan
mengenal istilah-istilah yang unik seperti : Nyarrok, Bepappas, Melempar
Abu, Besaprah, dan Bace Doa Tullak
Balla. Dalam tradisi ini juga banyak sekali nilai-nilai keislaman yang
dapat di peroleh diantaranya menyambung tali silaturahmim antar sesama,
mengagungkan syariat islam dalam hal bersuci, menumbuhkan semagat kebersamaan,
mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam segala urusan.
Kata Kunci : Tradisi,
Khitan, Buang Abu, Melayu
A. Pendahuluan
Pada awal permulaan datangnya agama Islam yang
dibawa Rasulullah Saw pada
dasarnya bertujuan untuk meluruskan akidah masyarakat Arab yang masih menjadi
penganut animisme dan dinamisme. Sehingga perlu diluruskan akidahnya hanya
kepada Allah Swt sebagai
zat yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Begitu pula ketika kedatangan
Islam ke Nusantara, yang mana pada masa awal kedatangannya sebagian masyarakat
Indonesia merupakan pemeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal itulah yang
menyulitkan Islam untuk dapat diterima sebagai agama oleh sebagian masyarakat
Indonesia. Apalagi Islam membawa risalah yang tidak hanya mengurusi kehidupan
agama pemeluknya, bahkan Islam mengatur segala urusan kehidupan dari hal yang
terkecil hingga yang terbesar, termasuk di dalamnya memeberikan batasan mengenai
‘urf atau adat istiadat yang ada.
Menurut Denys Lombard kaum muslimin sebagai suatu
kebulatan ada-lah sesuatu yang mustahil.9 Islam di Indonesia memang tampak
berbeda dengan Islam di berbagai belahan dunia lain, terutama dengan tata cara
yang dilakukan di jazirah Arab. Persentuhan
antara tiga hubungan kepercayaan pra Islam (animisme, Hindu dan Budha) tetap
hidup mewarnai Islam dalam pe-ngajaran dan aktivitas ritual pemeluk-nya. Karena
itu menurut Martin Van Bruinessen10, Islam khususnya di Jawa, sebenarnya tidak
lebih dari lapisan tipis yang secara esensial berbeda dengan transendentalisme
orientasi hukum Islam di wilayah Timur Tengah. Hal ini disebabkan kerena
praktek keagamaan orang-orang Indonesia banyak dipenga-ruhi oleh agama India
(Hindu dan Budha) yang telah lama hidup di kepulauan Nusantara, bahkan lebih
dari itu dipengaruhi agama-agama penduduk
asli yang memuja nenek moyang dan dewa-dewa serta roh-roh halus.
Hal ini dapat dipahami karena setiap agama tak
terkecuali Islam, tidak lepas dari realitas dimana ia berada. Islam bukanlah
agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Antara Islam dan realitas,
meniscayakan adanya dialog yang terus berlangsug secara di-namis.11 Ketika
Islam menyebar ke Indonesia, Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang
sudah ada dalam masyarakat. Antara keduanya menisca-yakan adanya dialog yang
kreatif dan dinamis, hingga akhirnya Islam dapat diterima sebagai agama baru
tanpa harus menggusur budaya lokal yang sudah ada. Dalam hal ini budaya lokal
yang berwujud dalam tradisi dan adat masyarakat setempat, tetap dapat
dila-kukan tanpa melukai ajaran Islam, sebaliknya Islam tetap dapat diajarkan
tanpa mengganggu harmoni tradisi masyarakat.[1]
Islam datang bukan untuk menghapus kebudayaan
yang telah melekat pada diri masyarakat, melainkan hanya memberikan
batasan-batasan yang dikehendaki dalam hukum agama Islam.
Di sini penulis ingin memaparkan salah satu ‘Urf yakni adat kebudayaan melayu yang memang
berciri khas melayu Sambas mengenai masalah Khitan dengan sebutan Besunnat yang mana penulis memberi judul tulisan ini
dengan “TRADISI SUNATAN DAN BUANG ABU MASYARAKAT MELAYU SAMBAS” dimana perlu
ditekankan bahwa penulis bukan ingin memberikan peniliai atau judgment
terhadap kebudayaan atau adat istiada suku tertentu, melainkan hanya ingin
memberikan masukan bahwa Islam ialah agama yang sangat mencintai keindahan,
keberagaman suku dan budaya sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an
surah Al-Hujurat [49] ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن
ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat [49] ayat
13)[2]
Telah jelas disebutkan di atas bahwa Allah yang
menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan dari suku-suku itu
terciptalah kebudayaan, dan adat istiadat. Oleh karena itu, sebagai umat Islam
kita harus membalikkan kebudayaan itu kepada Allah, maksudnya ialah kebudayaan
yang telah dibentuk oleh nenek moyang hendaknya ditransformasikan kepada
aturan-aturan Allah Swt. Dengan begitu, antara agama dan kebudayaan dapat
berjalan beriringan bersama.
B.
Pembahasan
1. Tradisi Sunatan Masyarakat Melayu
Sambas
a.
Syariat Berkhitan (Besunnat)
Khitan sudah dilakukan orang sejak ribuan tahun yang
lalu. Dan riwayat yang paling kuat menunjukkan bahwa khitan itu pertama kali
dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, sebagaimana riwayat yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw bersabda :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ:
اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً
وَاخْتَتَنَ
بِالْقَدُوْمِ. )البخارى
7: 143(
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
"Nabi Ibrahim AS berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau
khitan dengan menggunakan kampak”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 143][3]
Kemudian ajaran berkhitan ini dilanjutkan oleh
nabi selanjutnya, Nabi Isa As dan
umatnya, hingga kepada Nabi Muhammad Saw dan
umatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari ‘Utsaim bin Kulaib, dari
ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Aku telah masuk Islam,” Nabi bersabda,
“Buanglah dari rambut kekufuran dan
berkhitanlah”.[4]
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ
اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ.) النحل:123(
Artinya :
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl [16]: 123][5]
Dari perintah Allah tersebut maka banyak kita ketahui
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw untuk ummatnya (ummat Islam), seperti
ibadah hajji, qurban dan termasuk khitan, meneruskan apa yang telah
disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim AS.
b. Sunatan Masyarakat Melayu
Sambas (Besunnat)
Masyarakat melayu
sambas merupakan masyarakat yang mayoritasnya memeluk agama Islam. Oleh sebab
itu sangat mustahil masyarakat melayu sambas tidak mengenal syariat Khitan.
Mereka sangat mengenal syariat khitan itu, yang mana sering sekali dinyatakan
dengan istilah Besunnat ada juga yang menyebutnya dengan istilah Potong
Lancau namun istilah ini diadopsi dari sebutan orang China sambas yang
kebetulan memeluk agama islam.
Sebelum bersunat biasanya pasien atau anak yang
akan disunat diharuskan berendam dalam air, baik di dalam bak air, telaga, kali, sumur, maupun
didalam sungai atau parit sampai
beberapa jam sambil membawa dua biji buah kelapa sebagai pelampung. Biasanya berendam didalam air dimulai setelah Sholat
Subuh hingga menjelang terbitnya matahari (Tarrang Tanah). Karena pada
zaman dahulu proses Besunnat dimulai pada pagi hari. Setelah
berendam dengan waktu yang cukup lama barulah anak yang ingin di sunat/khitan
disunat satu persatu, setelah disunat lalu masing-masing mengambil tempat untuk
istirahat sambil mengenakan alat (sengkang)[6] yang
dipakai pada antara kedua paha sebagai pemisah agar kain tidak menyentuh
kemaluan.
Proses sunatan itu
biasanya dilaksanakan di rumah salah satu anak yang memang hendak di sunat.
Apabila yang hendak disunat dua orang atau lebih maka salah satu keluarga harus
menginapkan anaknya beberapa malam di tempat anaknya bersunat tersebut.
Orang yang menyunat
disebut sebagai Tukang Sunat, kemudian alat yang digunakan untuk
memotong ujung kemaluan itu terbuat dari kulit bambu yang sering disebut
sebagai Sembilu (Sembilok).
Pada zaman dahulu sebelum ada dokter
sunat/dokter khitan di masyarakat Sambas terutama di
daerah Paloh dan
sekitarnya memiliki sebuah budaya tradisional
yang bernama Buang Abu. Lalu apa yang dimaksud dengan buang abu itu dan
bagaimana tata caranya, berikut
ini penulis akan memaparkannya.
2. Tradisi Buang Abu
Masyarakat Melayu Sambas
a. Sejarah Tradisi Buang
Abu Masyarakat Melayu Sambas
Pada jaman dahulu masyarakat Paloh itu ketika setelah tiga
hari sunatan/khitanan pasti mengadakan sebuah acara yang sangat unik dan aneh.
Mereka setiap selesai melakukan penyunatan, orang yang disunat harus
mendekatkan kemaluannya itu kepada tempat yang berisikan abu dapur untuk
menampung darah bekas sunat/khitan tersebut, karena dahulu orang sunatan tidak
memiliki alat seperti yang ada pada zaman sekarang ini, dan apabila kemaluan
orang yang disunat itu berdarah maka darah itu harus di masukan ke dalam
tempat yang berisi abu tersebut, karena abu dapat menghilangkan aroma bau
darah.
Karena pada zaman dahulu orang-orang sangat
mempercayai hal-hal yang mistik, seperti apa bila darah
diletakkan ke tempat yang sembarangan maka aroma sedap dari bau
darah tersebut akan menyebar kemana mana dan hantu-hantu yang suka makan
darah, akan mendatanginya dan memakan
darah tersebut. Jadi, pada saat darah itu berhenti maka abu tersebut
akan di buang. Jadi, begitulah asal muasal penamaan tradisi Buang Abu.[7]
b.
Tahapan-Tahapan
Tradisi Buang Abu
1.
Nyarrok
merupakan sebuah istilah dalam masyarakat Sambas sebagai surat undangan yang
disampaikan melalui mulut ke mulut ketika hendak mengundang kerabat atau
tetangga. Biasanya orang yang
ditugaskan untuk menjadi penyampai undangan melalui lisan ini dari kalangan
keluarga dekat dan memang sudah biasa dalam hal berkomunikasi. Jika tidak ada
yang bisa dari pihak keluarga, maka disuruhlah orang lain yang biasa ditugaskan
untuk nyarrok tetangga. Adapun orang yang disuruh untuk menyampaikan
undangan lisan itu disebut sebagai Tukang Sarrok.
2.
Bepapas,
yaitu sesuatu yang berisikan beras yang telah dihaluskan, dicampur
dengan kunyit, kemudian diberi air yang telah dibacakan doa penolak bala.
Terdapat juga alat untuk memercikkan beras yang telah dihaluskan, dicampur
dengan kunyit, kemudian diberi air yang telah dibacakan doa penolak bala itu
dengan dedaunan seperti daun ribu, daun salam, daun juang, daun Pandan wangi
dan sebagainya, lalu di percikkan ke tubuh orang yang disunat tersebut dimulai
dari kepala terlebih dahulu, kemudian pundak terus menuju tangan sampai ujung
jari, kemudian dilanjutkan ke punggung, lalu menuju paha sampai lutut hingga
ujung kaki. Kemudian apabila
ada orang yang ingin juga ikut maka akan di persilahkan untuk bersama-sama Bepappas untuk menolak bala
yang akan terjadi pada dirinya. Pada saat selesai Bepappas
inilah tradisi Buang Abu dilaksanakan.
Tradisi buang abu ini mempunyai keunikan
tersendiri, dimana tempurung kelapa yang di isi dengan abu dapur yang kemudian
menjadi tempat darah ketika selesai besunnat/khitan itu disimpan, kemudian
setelah tiga hari dan diadakan acara buang abu maka biasanya sang anak ketika
selesai Bepappas diminta untuk keluar rumah sambil membawa tempurung
yang berisikan abu dapur yang dimilikinya. Kemudian menuju ke sisi rumah sebelah kiri, lalu
setelah itu mereka disuruh untuk melempar tempurung Abunya melewati atap rumah
(Bumbongan). Dalam proses ini bahwa sanya kepercayaan masyarakat Sambas
jika Tempurung Abu tersebut jatuh ke tanah dan posisinya tertungkup ke bawah (Titungkup)
maka dikatakan anak tersebut lama menikah atau lama baru dapat pasangan hidup.
Dan begitu juga sebaliknya, jika sang anak melempar tempurung kemudian
tempurung yang ia lempar jatuh ketanah dalam posisi terbuka (Tilantang)
maka kepercayaan masyarakat anak tersebut dikatakan cepat menikah atau dapat
pasangan hidup.
Dari tradisi di atas
nampaklah bahwa sanya tradisi buang abu ini memang agak sedikit aneh namun
sangat unik. Karena hanya ada di masyarakat Melayu Sambas. Oleh sebab itu
sangat disayangkan sekali jika kekayaan budaya local masyarakat melayu sambas
ini lenyap dan pupus ditelan oleh perkembangan Zaman.
3.
Besaprah ini
merupakan tradisi menikmati jamuan atau
hidangan makanan dengan cara bersama-sama dengan membentuk kelompok makan. Pada
masyarakat melayu sambas satu saprah itu terdiri dari enam orang dan tidak
boleh lebih, karena piring yang disediakan hanya enam. Adapun tradisi menyantap
hidangannya menggunakan lima jari artinya ketika memasukan makanan kedalam
mulut tidak menggunakan sendok dan garpu, di acara Makan Besaprah ini lah
kebersamaan benar - benar terasa. Sementara untuk membentuk kelompok ini
biasanya kita bisa mengajak teman dekat atau ada juga bersama orang - orang
yang kita tidak akrab sebelum nya. Untuk hidangan Makan Besaprah ini sudah
tersaji lengkap bersama air minum nya, piring serta air untuk basuh tangan
serta lap tangan. Untuk Makan Besaprah ini setelah menikmati hidangan biasanya
bisa lansung meninggalkan tempat karena untuk hidangan yang sudah di santap
sudah ada yang menangani nya untuk membersihkan nya. Karena "Tamu adalah
Raja" maka tamu yang hadir benar - benar di layani seperti raja.
Tetapi
pada saat buang abu, saprahannya agak sedikit berbeda dari yang lainnya. Di
dalam saprahan tersebut bukannya nasi lengkap dengan lauk-pauknya, tetapi hanya
ketupat dan biasanya diberi lauk ayam yang berisikan kuahnya dan juga biasa ditambah
dengan parutan kelapa.
4.
Berdoa
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pemuka agama di kampung (Pak
Labbai) setelah makan-makan bersama-sama tersebut. Biasanya doa yang dibacakan memang doa yang berisi
permohonana agar terhindar dari bala dan bahaya yang mana sering dikenal dengan
istilah Doa Tulak Balla.
5.
Setelah
memakan kutupat dan juga selesai membacakan doa tersebut, maka kulit tersebut harus di
buang ke jalan. Pada acara membuang bala orang yang tadi bersunat itu dan juga
kulit itu harus di buang oleh tuan rumahnya atau orang tua yang disunat itu.
Di dalam acara buang abu banyak yang
membuktikan bahwa buang abu itu ada kaitannya dengan keislamannya, membacakan
doa-doa penolak bala, seperti mempererat silaturahmi dan juga bermusyawarah.
Karena sebelum mengadakan acara tersebut masyarakat pasti akan mengadakan
musyawarah terlebih dahulu untuk menentukan siapa-siapa yang akan diberi tugas
dalam acara tersebut, seperti yang memasak nasi, membuat mumbu, membuat
lauk-pauknya dan juga mengatur/menyusun saprahan/makanan yang akan disajikan.
Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ
فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau
bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan
berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena
itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan
tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran [3] : 159)[8]
Dan juga
Hadis Rasulullah SAW bersabda :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ
مَشُوْرَةٍ لِاَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه و سلم
“Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling
banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah Saw” (HR. Tirmidzi)
Dan juga yang membuktikan bahwa silaturahmi
terdapat pada buang abu adalah pada saat masyarakat dikumpulkan di dalam satu
rumah dan makan-makan bersama.
Rasulullah
Saw. bersabda yang artinya: “Dari Abu Hurairoh r.a: Rasullullah Saw bersabda :
" مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "
“Barang
siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan di panjangkan umurnya, hendaklah dia
menyambungkan silaturahmi.” (H.R. Bukhori)
C. Penutup
Mengenal dari dalam
merupakan proses penghayatan, pemasukan
dan penanaman pemikiran kepada individu maupun suatu kelompok masyarakat
tertentu. Kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan Islam ialah penanaman
nilai-nilai yang sesuai dengan ketentuan syariat agama Islam sebagaimana yang
tertulis di dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nab Saw.
Proses mengenal Budaya Lokal dari sisi dalamnya
dengan pendekatan komunikasi tentu merupakan suatu cara yang tepat untuk
mendapatkan hati masyarakat Sambas yang pada dasarnya lebih terbiasa pada
komunikasi bentuk kelompok dibanding dengan menggunakan komunikasi media massa.
Mereka sudah terbiasa belajar atau menerima informasi dari guru di dalam
suasana musyawarah, duduk di suatu tempat dan berkumpul bersama yang lain.
Lahirnya tradisi Sunatan masyaraat melayu Sambas merupakan
suatu keberhasilan dari dakwah atau internalisasi nilai-nilai ke-Islaman yang
dilakukan oleh para ulama Sambas kepada masyarakat Sambas. Sebagaimana yang
telah disyariatkan dalam Islam bahwa khitan atau bersunat hukumnya wajib bagi
muslim laki-laki, namun dalam tradisi sunatan tersebut dibungkus dengan budaya
yang tak hanya sekadar menjalan syariat namun juga sebagai pelestarian budaya
yang telah turun temurun dilakukan masyarkat Sambas. Wallahu A’lam.
D. Daftar Pustaka
Al-Qurán
Al-Kalimah The Wisdom
Aw, Suranto, Komunikasi
Sosial Budaya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
E-Jurnal Kajian Budaya, 2015;10(20) Nurhuda Widiana
PERGUMULAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Studi Kasus Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro Jurusan
Ushuluddin dan Dakwah STAIN Pekalongan.
http://nandayantronika15.blogspot.co.id/2015/04/adat-istiadat-budaya-sambas-buang abu.html ; Diakses tanggal 26 April 2018.
http://www.misterpangalayo.com/2016/09/tradisi-buang-abu-pada masyarakat-suku-melayu-sambas.html ;
Diakses tanggal 27 April 2018.
https://almanhaj.or.id/2735-hukum-khitan.html ; Diakses tanggal 26 April 2018.
Kementrian Agama RI. Al-Quran
dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan). Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
[1] E-Jurnal
Kajian Budaya, 2015;10(20) Nurhuda Widiana PERGUMULAN ISLAM DENGAN BUDAYA
LOKAL Studi Kasus Masyarakat Samin di
Dusun Jepang Bojonegoro Jurusan Ushuluddin dan Dakwah STAIN Pekalongan
[3]
https://salampathokan.blogspot.co.id/2012/11/hadits-tentang-khitan.html
[4] https://almanhaj.or.id/2735-hukum-khitan.html
[6] Alat yang
dibuat dari akar Rotan, kemudian dibentuk seperti angka delapan. Yang berfungsi
untuk memberi batas paha anak yang baru disunat agar tidak mengenai kemaluannya
yang baru saja disunat baik ketika ia sedang tidak tidur, maupun saat tidur.
[7] http://www.misterpangalayo.com/2016/09/tradisi-buang-abu-pada-masyarakat-suku-melayu-sambas.html
Komentar
Posting Komentar