TRADISI BUANG ABU BUDAYA SAMBAS


                                                                                     
TRADISI SUNATAN DAN BUANG ABU
MASYARAKAT MELAYU SAMBAS
Anang Bustami


 
ABSTRAK
Sambas terletak di pulau Kalimantan yang lebih dikenal sebagai Borneo. Sambas memiliki beraneka ragam tradisi dan kebudayaan lokal, merupakan kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Selain itu nilai-nilai keislaman tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di Sambas. Salah satu kebudayaan yang ada di kabupaten Sambas adalah Tradisi Buang Abu. Tradisi ini dilakukan setelah tiga hari pengkhitanan atau Besunnat anak laki-laki. Islam memang mensyariatkan agar setiap muslim laki-laki wajib untuk berkhitan untuk menjaga kebersiahan dan kesucian diri setiap muslim. Tradisi Buang Abu ini merupakan rangkaian acara tasyakuran dari pelaksanaan khitanan bertujuan untuk memberitahukan bahwa sang anak sudah dikhitankan. Tradisi ini memang sudah lama berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat melayu Sambas sejak zaman dimana belum ada perlengkapan medis (Tradisional) sampai sudah zaman peralatan medis lengkap saat ini (Modern). Dalam tradisi Buang Abu kita akan mengenal istilah-istilah yang unik seperti : Nyarrok, Bepappas, Melempar Abu, Besaprah, dan  Bace Doa Tullak Balla. Dalam tradisi ini juga banyak sekali nilai-nilai keislaman yang dapat di peroleh diantaranya menyambung tali silaturahmim antar sesama, mengagungkan syariat islam dalam hal bersuci, menumbuhkan semagat kebersamaan, mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam segala urusan.
Kata Kunci : Tradisi, Khitan, Buang Abu, Melayu
A.   Pendahuluan
Pada awal permulaan datangnya agama Islam yang dibawa Rasulullah Saw pada dasarnya bertujuan untuk meluruskan akidah masyarakat Arab yang masih menjadi penganut animisme dan dinamisme. Sehingga perlu diluruskan akidahnya hanya kepada Allah Swt sebagai zat yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Begitu pula ketika kedatangan Islam ke Nusantara, yang mana pada masa awal kedatangannya sebagian masyarakat Indonesia merupakan pemeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal itulah yang menyulitkan Islam untuk dapat diterima sebagai agama oleh sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi Islam membawa risalah yang tidak hanya mengurusi kehidupan agama pemeluknya, bahkan Islam mengatur segala urusan kehidupan dari hal yang terkecil hingga yang terbesar, termasuk di dalamnya memeberikan batasan mengenai ‘urf atau adat istiadat yang ada.
Menurut Denys Lombard kaum muslimin sebagai suatu kebulatan ada-lah sesuatu yang mustahil.9 Islam di Indonesia memang tampak berbeda dengan Islam di berbagai belahan dunia lain, terutama dengan tata cara yang dilakukan di jazirah Arab. Persentuhan antara tiga hubungan kepercayaan pra Islam (animisme, Hindu dan Budha) tetap hidup mewarnai Islam dalam pe-ngajaran dan aktivitas ritual pemeluk-nya. Karena itu menurut Martin Van Bruinessen10, Islam khususnya di Jawa, sebenarnya tidak lebih dari lapisan tipis yang secara esensial berbeda dengan transendentalisme orientasi hukum Islam di wilayah Timur Tengah. Hal ini disebabkan kerena praktek keagamaan orang-orang Indonesia banyak dipenga-ruhi oleh agama India (Hindu dan Budha) yang telah lama hidup di kepulauan Nusantara, bahkan lebih dari itu dipengaruhi agama-agama penduduk  asli yang memuja nenek moyang dan dewa-dewa serta roh-roh halus.
Hal ini dapat dipahami karena setiap agama tak terkecuali Islam, tidak lepas dari realitas dimana ia berada. Islam bukanlah agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Antara Islam dan realitas, meniscayakan adanya dialog yang terus berlangsug secara di-namis.11 Ketika Islam menyebar ke Indonesia, Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam masyarakat. Antara keduanya menisca-yakan adanya dialog yang kreatif dan dinamis, hingga akhirnya Islam dapat diterima sebagai agama baru tanpa harus menggusur budaya lokal yang sudah ada. Dalam hal ini budaya lokal yang berwujud dalam tradisi dan adat masyarakat setempat, tetap dapat dila-kukan tanpa melukai ajaran Islam, sebaliknya Islam tetap dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni tradisi masyarakat.[1]
Islam datang bukan untuk menghapus kebudayaan yang telah melekat pada diri masyarakat, melainkan hanya memberikan batasan-batasan yang dikehendaki dalam hukum agama Islam.
Di sini penulis ingin memaparkan salah satu ‘Urf  yakni adat kebudayaan melayu yang memang berciri khas melayu Sambas mengenai masalah Khitan dengan sebutan Besunnat  yang mana penulis memberi judul tulisan ini dengan “TRADISI SUNATAN DAN BUANG ABU MASYARAKAT MELAYU SAMBAS” dimana perlu ditekankan bahwa penulis bukan ingin memberikan peniliai atau judgment terhadap kebudayaan atau adat istiada suku tertentu, melainkan hanya ingin memberikan masukan bahwa Islam ialah agama yang sangat mencintai keindahan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat [49] ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat [49] ayat 13)[2]
Telah jelas disebutkan di atas bahwa Allah yang menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan dari suku-suku itu terciptalah kebudayaan, dan adat istiadat. Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus membalikkan kebudayaan itu kepada Allah, maksudnya ialah kebudayaan yang telah dibentuk oleh nenek moyang hendaknya ditransformasikan kepada aturan-aturan Allah Swt. Dengan begitu, antara agama dan kebudayaan dapat berjalan beriringan bersama.
B.   Pembahasan
1.   Tradisi Sunatan Masyarakat Melayu Sambas
a.    Syariat Berkhitan (Besunnat)
Khitan sudah dilakukan orang sejak ribuan tahun yang lalu. Dan riwayat yang paling kuat menunjukkan bahwa khitan itu pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, sebagaimana riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw bersabda :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اخْتَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ بَعْدَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً
 وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُوْمِ. )البخارى 7: 143(
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau khitan dengan menggunakan kampak”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 143][3]

Kemudian ajaran berkhitan ini dilanjutkan oleh nabi selanjutnya, Nabi Isa As dan umatnya, hingga kepada Nabi Muhammad Saw dan umatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari ‘Utsaim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Aku telah masuk Islam,” Nabi bersabda, “Buanglah  dari rambut kekufuran dan berkhitanlah”.[4]
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya :
ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرهِيْمَ حَنِيْفًا. وَمَا كَانَ مِنَ اْلمُشْرِكِيْنَ.) النحل:123(
Artinya :
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. [QS. An-Nahl [16]: 123][5]
Dari perintah Allah tersebut maka banyak kita ketahui ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw untuk ummatnya (ummat Islam), seperti ibadah hajji, qurban dan termasuk khitan, meneruskan apa yang telah disyari’atkan kepada Nabi Ibrahim AS.
b.   Sunatan Masyarakat Melayu Sambas (Besunnat)
Masyarakat melayu sambas merupakan masyarakat yang mayoritasnya memeluk agama Islam. Oleh sebab itu sangat mustahil masyarakat melayu sambas tidak mengenal syariat Khitan. Mereka sangat mengenal syariat khitan itu, yang mana sering sekali dinyatakan dengan istilah Besunnat ada juga yang menyebutnya dengan istilah Potong Lancau namun istilah ini diadopsi dari sebutan orang China sambas yang kebetulan memeluk agama islam.
Sebelum bersunat biasanya pasien atau anak yang akan disunat diharuskan berendam dalam air, baik di dalam bak air, telaga, kali, sumur, maupun didalam sungai atau parit sampai beberapa jam sambil membawa dua biji buah kelapa sebagai pelampung. Biasanya berendam didalam air dimulai setelah Sholat Subuh hingga menjelang terbitnya matahari (Tarrang Tanah). Karena pada zaman dahulu proses Besunnat dimulai pada pagi hari. Setelah berendam dengan waktu yang cukup lama barulah anak yang ingin di sunat/khitan disunat satu persatu, setelah disunat lalu masing-masing mengambil tempat untuk istirahat sambil mengenakan alat (sengkang)[6] yang dipakai pada antara kedua paha sebagai pemisah agar kain tidak menyentuh kemaluan.
Proses sunatan itu biasanya dilaksanakan di rumah salah satu anak yang memang hendak di sunat. Apabila yang hendak disunat dua orang atau lebih maka salah satu keluarga harus menginapkan anaknya beberapa malam di tempat anaknya bersunat tersebut.
Orang yang menyunat disebut sebagai Tukang Sunat, kemudian alat yang digunakan untuk memotong ujung kemaluan itu terbuat dari kulit bambu yang sering disebut sebagai Sembilu (Sembilok).
Pada zaman dahulu sebelum ada dokter sunat/dokter khitan di masyarakat Sambas terutama di daerah  Paloh dan sekitarnya  memiliki sebuah budaya tradisional yang bernama Buang Abu. Lalu apa yang dimaksud dengan buang abu itu dan bagaimana tata caranya, berikut ini penulis akan memaparkannya.
2.   Tradisi Buang Abu Masyarakat Melayu Sambas
a.    Sejarah Tradisi Buang Abu Masyarakat Melayu Sambas
Pada jaman dahulu masyarakat Paloh itu ketika setelah tiga hari sunatan/khitanan pasti mengadakan sebuah acara yang sangat unik dan aneh. Mereka setiap selesai melakukan penyunatan, orang yang disunat  harus mendekatkan kemaluannya itu kepada tempat yang berisikan abu dapur untuk menampung darah bekas sunat/khitan tersebut, karena dahulu orang sunatan tidak memiliki alat seperti yang ada pada zaman sekarang ini, dan apabila kemaluan orang yang disunat itu berdarah maka darah itu harus di masukan ke dalam tempat yang berisi abu tersebut, karena abu dapat menghilangkan aroma bau darah.
Karena pada zaman dahulu orang-orang sangat mempercayai hal-hal yang mistik, seperti apa bila darah diletakkan  ke tempat yang sembarangan maka aroma sedap dari bau darah tersebut akan menyebar kemana mana dan  hantu-hantu yang suka makan darah,  akan  mendatanginya  dan  memakan darah tersebut. Jadi, pada saat darah itu berhenti maka abu  tersebut akan di buang. Jadi, begitulah asal muasal penamaan tradisi Buang Abu.[7]
b.   Tahapan-Tahapan Tradisi Buang Abu
1.   Nyarrok merupakan sebuah istilah dalam masyarakat Sambas sebagai surat undangan yang disampaikan melalui mulut ke mulut ketika hendak mengundang kerabat atau tetangga. Biasanya orang yang ditugaskan untuk menjadi penyampai undangan melalui lisan ini dari kalangan keluarga dekat dan memang sudah biasa dalam hal berkomunikasi. Jika tidak ada yang bisa dari pihak keluarga, maka disuruhlah orang lain yang biasa ditugaskan untuk nyarrok tetangga. Adapun orang yang disuruh untuk menyampaikan undangan lisan itu disebut sebagai Tukang Sarrok.
2.   Bepapas, yaitu  sesuatu yang berisikan beras yang telah dihaluskan, dicampur dengan kunyit, kemudian diberi air yang telah dibacakan doa penolak bala. Terdapat juga alat untuk memercikkan beras yang telah dihaluskan, dicampur dengan kunyit, kemudian diberi air yang telah dibacakan doa penolak bala itu dengan dedaunan seperti daun ribu, daun salam, daun juang, daun Pandan wangi dan sebagainya, lalu di percikkan ke tubuh orang yang disunat tersebut dimulai dari kepala terlebih dahulu, kemudian pundak terus menuju tangan sampai ujung jari, kemudian dilanjutkan ke punggung, lalu menuju paha sampai lutut hingga ujung kaki. Kemudian apabila ada orang yang ingin juga ikut maka akan di persilahkan untuk bersama-sama Bepappas untuk menolak bala yang akan terjadi pada dirinya. Pada saat selesai Bepappas inilah tradisi Buang Abu dilaksanakan.
Tradisi buang abu ini mempunyai keunikan tersendiri, dimana tempurung kelapa yang di isi dengan abu dapur yang kemudian menjadi tempat darah ketika selesai besunnat/khitan itu disimpan, kemudian setelah tiga hari dan diadakan acara buang abu maka biasanya sang anak ketika selesai Bepappas diminta untuk keluar rumah sambil membawa tempurung yang berisikan abu dapur yang dimilikinya. Kemudian menuju ke sisi rumah sebelah kiri, lalu setelah itu mereka disuruh untuk melempar tempurung Abunya melewati atap rumah (Bumbongan). Dalam proses ini bahwa sanya kepercayaan masyarakat Sambas jika Tempurung Abu tersebut jatuh ke tanah dan posisinya tertungkup ke bawah (Titungkup) maka dikatakan anak tersebut lama menikah atau lama baru dapat pasangan hidup. Dan begitu juga sebaliknya, jika sang anak melempar tempurung kemudian tempurung yang ia lempar jatuh ketanah dalam posisi terbuka (Tilantang) maka kepercayaan masyarakat anak tersebut dikatakan cepat menikah atau dapat pasangan hidup.
Dari tradisi di atas nampaklah bahwa sanya tradisi buang abu ini memang agak sedikit aneh namun sangat unik. Karena hanya ada di masyarakat Melayu Sambas. Oleh sebab itu sangat disayangkan sekali jika kekayaan budaya local masyarakat melayu sambas ini lenyap dan pupus ditelan oleh perkembangan Zaman.
3.   Besaprah ini merupakan tradisi menikmati jamuan atau hidangan makanan dengan cara bersama-sama dengan membentuk kelompok makan. Pada masyarakat melayu sambas satu saprah itu terdiri dari enam orang dan tidak boleh lebih, karena piring yang disediakan hanya enam. Adapun tradisi menyantap hidangannya menggunakan lima jari artinya ketika memasukan makanan kedalam mulut tidak menggunakan sendok dan garpu, di acara Makan Besaprah ini lah kebersamaan benar - benar terasa. Sementara untuk membentuk kelompok ini biasanya kita bisa mengajak teman dekat atau ada juga bersama orang - orang yang kita tidak akrab sebelum nya. Untuk hidangan Makan Besaprah ini sudah tersaji lengkap bersama air minum nya, piring serta air untuk basuh tangan serta lap tangan. Untuk Makan Besaprah ini setelah menikmati hidangan biasanya bisa lansung meninggalkan tempat karena untuk hidangan yang sudah di santap sudah ada yang menangani nya untuk membersihkan nya. Karena "Tamu adalah Raja" maka tamu yang hadir benar - benar di layani seperti raja.
Tetapi pada saat buang abu, saprahannya agak sedikit berbeda dari yang lainnya. Di dalam saprahan tersebut bukannya nasi lengkap dengan lauk-pauknya, tetapi hanya ketupat dan biasanya diberi lauk ayam yang berisikan kuahnya dan juga biasa ditambah dengan parutan kelapa.
4.   Berdoa bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pemuka agama di kampung (Pak Labbai) setelah makan-makan bersama-sama tersebut. Biasanya doa yang dibacakan memang doa yang berisi permohonana agar terhindar dari bala dan bahaya yang mana sering dikenal dengan istilah Doa Tulak Balla.
5.   Setelah memakan kutupat dan juga selesai membacakan doa tersebut, maka kulit tersebut harus di buang ke jalan. Pada acara membuang bala orang yang tadi bersunat itu dan juga kulit itu harus di buang oleh tuan rumahnya atau orang tua yang disunat itu.
Di dalam acara buang abu banyak yang membuktikan bahwa buang abu itu ada kaitannya dengan keislamannya, membacakan doa-doa penolak bala, seperti mempererat silaturahmi dan juga bermusyawarah. Karena sebelum mengadakan acara tersebut masyarakat pasti akan mengadakan musyawarah terlebih dahulu untuk menentukan siapa-siapa yang akan diberi tugas dalam acara tersebut, seperti yang memasak nasi, membuat mumbu, membuat lauk-pauknya dan juga mengatur/menyusun saprahan/makanan yang akan disajikan. Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran [3] : 159)[8]
Dan juga Hadis Rasulullah SAW bersabda :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُوْرَةٍ لِاَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه و سلم

“Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah Saw” (HR. Tirmidzi)
Dan juga yang membuktikan bahwa silaturahmi terdapat pada buang abu adalah pada saat masyarakat dikumpulkan di dalam satu rumah dan makan-makan bersama.
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Dari Abu Hurairoh r.a: Rasullullah Saw bersabda :
" مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "
“Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan di panjangkan umurnya, hendaklah dia menyambungkan silaturahmi.” (H.R. Bukhori)
C.   Penutup
Mengenal dari dalam merupakan  proses penghayatan, pemasukan dan penanaman pemikiran kepada individu maupun suatu kelompok masyarakat tertentu. Kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan Islam ialah penanaman nilai-nilai yang sesuai dengan ketentuan syariat agama Islam sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nab Saw.
Proses mengenal Budaya Lokal dari sisi dalamnya dengan pendekatan komunikasi tentu merupakan suatu cara yang tepat untuk mendapatkan hati masyarakat Sambas yang pada dasarnya lebih terbiasa pada komunikasi bentuk kelompok dibanding dengan menggunakan komunikasi media massa. Mereka sudah terbiasa belajar atau menerima informasi dari guru di dalam suasana musyawarah, duduk di suatu tempat dan berkumpul bersama yang lain.
Lahirnya tradisi Sunatan masyaraat melayu Sambas merupakan suatu keberhasilan dari dakwah atau internalisasi nilai-nilai ke-Islaman yang dilakukan oleh para ulama Sambas kepada masyarakat Sambas. Sebagaimana yang telah disyariatkan dalam Islam bahwa khitan atau bersunat hukumnya wajib bagi muslim laki-laki, namun dalam tradisi sunatan tersebut dibungkus dengan budaya yang tak hanya sekadar menjalan syariat namun juga sebagai pelestarian budaya yang telah turun temurun dilakukan masyarkat Sambas. Wallahu A’lam.
D.  Daftar Pustaka
Al-Qurán Al-Kalimah The Wisdom
Aw, Suranto, Komunikasi Sosial Budaya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010
E-Jurnal Kajian Budaya, 2015;10(20) Nurhuda Widiana PERGUMULAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL  Studi Kasus Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro Jurusan Ushuluddin dan Dakwah STAIN Pekalongan.
https://almanhaj.or.id/2735-hukum-khitan.html ; Diakses tanggal 26 April 2018.
Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan). Jakarta: Widya Cahaya, 2011.



[1] E-Jurnal Kajian Budaya, 2015;10(20) Nurhuda Widiana PERGUMULAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL  Studi Kasus Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro Jurusan Ushuluddin dan Dakwah STAIN Pekalongan
[2] Al-Qurán Al-Kalimah The Wisdom “QS. Al-Hujurot : 13”

[3] https://salampathokan.blogspot.co.id/2012/11/hadits-tentang-khitan.html
[4] https://almanhaj.or.id/2735-hukum-khitan.html
[5] Al-Qurán Al-Kalimah The Wisdom “QS. An-Nahl [16] : 123”
[6] Alat yang dibuat dari akar Rotan, kemudian dibentuk seperti angka delapan. Yang berfungsi untuk memberi batas paha anak yang baru disunat agar tidak mengenai kemaluannya yang baru saja disunat baik ketika ia sedang tidak tidur, maupun saat tidur.
[7] http://www.misterpangalayo.com/2016/09/tradisi-buang-abu-pada-masyarakat-suku-melayu-sambas.html
[8] Al-Qurán Al-Kalimah The Wisdom “QS. Ali-Imran [3] : 159”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR