AKHLAK TASAWUF, MAQAM FAQR
AKHLAK TASAWUF
MAQAM FAQR
Anang Bustami
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tasawuf
merupakan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan
jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan abadi. Unsur utama tasawuf adalah
penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Tasawuf
merupakan visi langsung terhadap sesuatu, buakan melalui dalil. Para sufi
mengatakan hal itu sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.
Apalagipengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari Tuhan setelah
seseorang menempuh penyucian rohani itu melalui latihan fisik-psikis yang
berat.
Tasawuf
juga mempunyai maqam. Maqamat dalam bahasa berasal dari bahasa Arab yang
berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, arti ini dipakai
untuk arti jalan panjang secara berjenjang yang harus ditempuh oleh orang sufi
untuk berada dekat dengan Allah. Sebenarnya ada banyak maqamat tasawuf, namun
kali ini kami akan memaparkan mengenai Faqr.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian faqr..?
2. Bagaimana
pengklasifikasian maqam faqr..?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian faqr.
2. Untuk
mengetahui klasifikasi maqam faqr.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Faqr
Maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi
bi’i-kulliyati‘an ma siwa ‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan
terhadap apa yang selain tuhan. Yang dituju dengan konsep fakir sebenarnya
hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya
terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Tuhan
saja di sepanjang keadaan.
Faqir bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqir sangat
erat hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau
menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang
sangat diinginkan maka faqir berarti mengosongkan hati dari ikatan dan
keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada
Allah semata.
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti butuh. Sedang
menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana hati tidak butuh
kecuali kepada Allah.
Makna fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat Al-Fathir Ayat:15, yaitu :
يَأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ أِلَى اللهِ وَاللهُهُوَ
الغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak
kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi
Maha Terpuji”. (QS. Al-Fathir :15)
Maqam ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir
daripada hidup bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta
dan kehidupan mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan
keutamaan faqr adalah hadis yang merupakan doa Rasulullah ini:
عن أبي سعيد:
اللهمّ أحيني مسكينا وتوفّني مسكينا واحشرني في زمرت المساكين. وإنّ أشقى ألأشقياء
من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب الآخرة . (رواه حاكم)
“Ya Allah, berilah aku hidup
dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin. Dan kumpulkanlah
aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya orang yang celaka
adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.” (H.R. Al-Hakim).
Mengenai maqam fakir, R.A.Nicholson dalam bukunya the mystics of
islam mengatakan : “Fakir dan dervish adalah nama-nama di mana para sufi bangga
untuk disebutnya, karena kedua itu bahwa dialah golongan yang telah memalingkan
setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan pikiranyan daripada tuhan.
Kosongnya seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan kehidupan
yang akan dating, dan tidak menghendaki apapun kecuali tuhan penguasa kehidupan
masa kini dan masa yang akan dating-itulah fakir yang sesungguhnya. Fakir yang
sedemikian itu adalah orang yang lenyap kesadaran keberadaan dirinya, sehingga
dirinya tidak mendaku punya kemampuan, perasaan, dan perbuatan”.
Di terngkan bahwa Dawud al-Thail tidak punya apa-apa terkecuali
rumput kering untuk tikar, sebuah bata sebagai bantal, dan sebuah mangkok untuk
minum dan mencuci.
Sebagai salah satu maqam dalam ajaran tasawuf maka fakir juga
mendapat pembahasan perumusan yang bertingkat-tingkat disesuaikan dengan tujuan
penyucian hati terhadap ikatan keduniaan. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah maqam
fakir ini dibahas agak panjang lebar. Di antara perumusan-perumusan tentang
fakir, Misalnya :
al-Muzayin mengatakan;
“jalan menuju Allah itu lebih banyak dari bilangan bintang di langit, tak ada
yang ketinggalan daripadanya terkecuali satu jalan saja, yaitu fakir, itulah
yang paling lurus dari segala jalan”.
Al-Nuri mengatakan :“sifat orang fakir itu diam saja ketika tak
punya apa-apa, dan tak membutuhkan ketika punya apa-apa”.
Dzu-al-Nun mengatakan :“alamat seorang hamba akan mendapat murka
tuhan adalah takut fakir”.
Menurut syibli hakikat fakir itu ;“Adalah orang yang tidak
membutuhkan sesuatu apapun selain Alloh”
Menurut Abu baker al-Mishri “fakir
yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak
menginginkan sesuatu”,
Jadi pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup
hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah mulai menjahui
keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting dalam hidupnya.
Di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu mengosngkan hati dari ikatan
dan keinginan terhadap apa saja sealain tuhan. Maka maqam fakir merupakan
perwujudan upaya “tathir al-qolbi bi ‘l-kulliyati’an ma siswa ‘llah”.
Yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah
ajaran qath’u al-ala’iq atau tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau
membuang dunia.
Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu
sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan juga tidak
menginginkan apa-apa”.
Secara literal, faqr (selanjutnya ditulis fakir) berarti
butuh. Sedang menurut terminologi tasawuf, fakir adalah suatu keadaan dimana
hati tidak butuh kecuali kepada Allah.
Makna
fakir dalam Al-Qur’an tersirat dalam beberapa firman Allah, diantaranya surat
Al-Fathir Ayat : 15 yang berbunyi :
“Hai manusia,
kamulah yang berkehendak kepada Allah. Dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Maqam
ini sangat mulia. Rasulullah sendiri lebih memilih hidup fakir daripada hidup
bergelimangan harta meskipun telah ditawarkan pada beliau tahta dan kehidupan
mewah sebagaimana Nabi Sulaiman. Diantara hadis yang menjelaskan keutamaan faqr
adalah hadis yang merupakan doa Rasulullah ini:
عن أبي سعيد: اللهمّ أحيني مسكينا وتوفّني مسكينا واحشرني في زمرت
المساكين. وإنّ أشقى ألأشقياء من اجتمع عليه فقرالدنيا وعذاب الآخرة
. (رواه
حاكم)
“Ya Allah,
berilah aku hidup dalam keadaan miskin. Berilah aku mati dalam keadaan miskin.
Dan kumpulkanlah aku dalam golongan orang-orang miskin. Secelaka-celakanya
orang yang celaka adalah yang terkumpul padanya faqr dunia, dan azab akhirat.”
(H.R.Al-Hakim)
Mayoritas
para nabi yang mendapat sifat khususiyah (ketertentuan) berupa karamah dan
keunggulan yang diberikan Allah mengalahkan semua makhluk yang ada pada fuqara
(orang-orang yang fakir). Sampai-sampai merekapun tidak menemukan bekal hidup
dan tidak mengusai atas sesuatu dari harta dunia. Mereka merupakan teladan bagi
umatnya dalam sifat fakir.
Adapun
Faqr menurut pandangan Sufi, sebagai berikut : Secara harfiah al Faqr atau fakir biasanya diartikan
sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam
pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada dalam
diri kita dan tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban.
Para sufi kemudian
meluaskan konsep fakir mutlak sedemikian jauh, sehingga Nabi Isa yang menjadi
lambang idealnya kemiskinan bagi para sufi generasi awal masih dianggap kurang
sempurna, karena kemana-mana beliau masih membawa jarum yang berarti belum
putus dengan dunia. Bahkan menurut para sufi india seseorang dianggap zahid
jika ia telah fakir.
Kefakiran
adalah suatu ibarat tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan, adapun tidak adanya
hal-hal yang dibutuhkan, maka ia tidak disebut fakir, apabila yang dibutuhkan
itu wujud dan ia mampu padanya, maka yang dibuhtuhkan itu tidak fakir. Dalam
konteks sejarah islam baik zuhud maupun fakir di satu sisi berposisi
sebagai maqam, yang berarti hilangnya kehendak kecuali untuk bertemu Allah SWT. Dunia
dan harta hanyalah penghalang untuk pertemuan itu serta dianggap sebagai
dikotomi dengan-Nya. Dalam hal ini zuhud dan fakir bersifat doktrinal dan historis.
B.
Klasifikasi Faqr
Selanjutnya
menurut Abi Nasr As-Sarraj Ath-Thusiy derajat fuqara diklasifikasikan menjadi
3:
1.
Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara lahir batin memang
tidak meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi, ia tidak
mau mengambil. Strata ini adalah maqam muqarrabin.
2.
Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan,
atau memohon pada siapapun. Ketika diberi tanpa meminta, ia menerima. Ini
adalah maqam Al-siddiqin.
3.
Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia
mengutarakan keinginannya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa
saudaranya akan senang dengan ungkapan pengaduannya tersebut. Maka,
sesungguhnya memecahkan permasalahannya merupakan nilai shadaqah.
Ibrahim bin
Ahmad al-Khawash berkata: “ Kefakiran itu selendang kemuliaan, pakaian para
rasul, jubah orang-orang saleh, mahkota orang-orang yang bertaqwa, perhiasan
orang-orang mukmin, pengangkat derajat, dan kemuliaan orang-orang baik yang
menjadi walinya, kefakiran adalah simbol orang-orang saleh dan kebiasaan
orang-orang bertaqwa.”
Dalam pandangan
sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki
dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang
lain.
Sedangkan
menurut Al-Ghazali kefakiran diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang
dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini, seluruh wujud
selain Allah adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan tuhan untuk
kelanjutan wujudnya.
Sementara itu,
Allah telah menyebutkan sifat-sifat orang fakir dalam Al-Qur’an:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِيْنَ أُحْصِرُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الأَرْضِ
يَحْسَبُهُمْ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمَاهُم
لاَ يَسْئَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا.
“ Berinfaklah
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui”.
Orang-orang
fakir juga memiliki tiga tingkatan, antara lain:
a.
Orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apa pun kepada
seseorang, baik secara lahir maupun batin. Ia tidak menunggu apapun dari
seseorang. Jika diberi sesuatu, ia tidak mengambilnya. Kedudukan spiritual ini
adalah kedudukan Al-Muqarrabuun (orang yang didekatkan pada Allah).
b.
Orang yang tidak memiliki apapun. Namun ia tidak minta kepada
siapapun, tidak mencari dan juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Jika
diberi sesuatu tanpa meminta lebih dahulu maka ia akan mengambilnya.
c.
Orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan sesuatu ia
akan mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia kenal, yang mana bila ia
mengungkapkan kepadanya ia akan merasa senang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjalana
spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifat
tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda. Sebagian
orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia meninggalkan hal yang diragukan
halalnya karena khawatir terjerumus kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang
bersifat subhat karena khawatir terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’,
penghati-hati, sifat yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan
dosa terhadap hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian
gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap dunia, tidak
terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang mengganggu ibadahnya ia
singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan berarti “nyingkor kadonyan”,
menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan! Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi
Tuhan. Pola cara hidupnya sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala
orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari pada yang
menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya menjalankan
kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
B. Saran
Makalah
ini kami tulis agar mahasiswa dapat memahami lebih jauh lagi tentang Maqam Faqr
didalam Ilmu Tasawuf. Saran kami sebagai penulis kepada pembaca pada umumnya
dan penulis sendiri pada khususnya agar dapat mengambil pelajaran yang
terkandung didalam Maqam Faqr ini, setidaknya mampu untuk memahaminya dan
mengajarkannya nanti di kemudian hari. Sebaiknya dalam mempelajari materi ini
haruslah dengan sungguh-sungguh, karena dengan demikian akan membuat pembaca
mudah memahami isi dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Moh.
Toriquddin. Membumikan Tasawuf Dalam Era Modern. (Malang: UIN-Malang
Press, 2008.)
Rosihon
Anwar. Akhlak tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 2010.)
Bachrun
Raf’i dan Hasan Mud’is. Filsafat Tasawuf. (Bandung: CV PUSTAKA SEIA,
2010.) Pengantar : Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag.
Sumber:1.http://radentegarghozali.blogspot.com
2.http://arwaniilyas.blogspot.comJAKARTA 16/3/2015
2.http://arwaniilyas.blogspot.comJAKARTA 16/3/2015
titanium rimless glasses
BalasHapusThe best thing about titanium auto sales the titanium wedding band sets best razor. These are quality, genuine stainless steel shaving equipment titanium mens wedding bands that fit into the traditional glass case. titanium belt buckle The top brass ecm titanium