HUKUM MAULID NABI menurut Imam As-Sakhawiy dan Imam Ibnu Taimiyah
PENDAPAT IMAM
AS-SAKHAWIY DAN IBNU TAIMIYAH TERHADAP HUKUM MAULID
A‐Imam Al‐Hafidz
Muhammad bin Abdurrahman Al‐Qahiriy (Al‐Imam
As‐Sakhawiy)
memfatwakan tentang perayaan Maulid Nabi seperti disebutkan didalam Al‐Ajwibah
al‐Mardliyyah, sebagai
berikut :
لَمْ يُنْقَل عَ ن أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَال أَھْل الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَھْرِ مَوْلِدِهِ ‐ صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ
وَكَرَّمَ ‐ يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَھِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ
الصَّدَقَاتِ، وَيُظْھِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَ بَرَّاتِ، بَل يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْھَرُ
عَلَيْھِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُل فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ
“Tidak
pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama
Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya.
Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya.
Kemudian
umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota‐kota
besar senantiasa memperingati Maulid Nabi ( (صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ dibulan
kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan
perkara‐perkara yang
menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai
macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan
diramaikan dengan pembacaan (buku‐buku)
Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah
(jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu
telah teruji.
ثُمَّ قَال : ”قُلْتُ : كَانَ
مَوْلِدُه الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ
مِنْ شَھْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْل :
لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْل : لِثَمَانٍ، وَقِيْل : لِعَشْرٍ وَقِيْل غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلا بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ ھذِهِ
الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَل يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّھْرِ كُلِّھَا وَلَيَالِيْهِ
لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْل : لِثَمَانٍ، وَقِيْل : لِعَشْرٍ وَقِيْل غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلا بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ ھذِهِ
الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَل يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّھْرِ كُلِّھَا وَلَيَالِيْهِ
Kemudian
(beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi Asy‐Syarif yang paling shahih
adalah pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Dikatakan
(qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan
lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap
hari‐hari ini dan malam‐malamnya dengan persiapan
(kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada hari‐hari
dan malam‐malam bulan (Rabi’ul
Awwal)”
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ
أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ
تَصَانِيْف ھِمْ
-وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَ كة –الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْھَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ
وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّبُوَّةِ لِلْبَيْھَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَ ةِ
النَّبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا ھُوَ
أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ،
وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالت لاَوَةِ
وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّبَوِيَّةِ وَالزُّھْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى
.فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَللهُ يَھْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
-وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَ كة –الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْھَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ
وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّبُوَّةِ لِلْبَيْھَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَ ةِ
النَّبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا ھُوَ
أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ،
وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالت لاَوَةِ
وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّبَوِيَّةِ وَالزُّھْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى
.فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَللهُ يَھْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
“dan
adapun pembacaan (kisah) kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang
disebutkan oleh para ulama Ahli Hadits dalam karangan‐karangan
mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti Al‐Maurid al‐Haniyy karya Al‐‘Iraqi
(Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus ‐dengan
karya‐karya tentang Maulid saja‐ tetapi juga dengan menyebutkan riwayat‐riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dalail an‐Nubuwwah karya al‐Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat‐riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayatriwayat dan kisah‐kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca, atas semua itu sesungguhnya tidak masalah ada pembacaan kisah‐kisah maulid dalam peringatan Maulid Nabi, bahkan (juga) cukup membaca beberapa ayat al‐Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait‐bait Mada‐ih Nabawiyyah (pujian‐pujian terhadap Nabi) dan (syair) kezuhudan (zuhudiyah), yang bsai menggerakkan hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Dia kehendaki”.
karya‐karya tentang Maulid saja‐ tetapi juga dengan menyebutkan riwayat‐riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dalail an‐Nubuwwah karya al‐Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat‐riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayatriwayat dan kisah‐kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca, atas semua itu sesungguhnya tidak masalah ada pembacaan kisah‐kisah maulid dalam peringatan Maulid Nabi, bahkan (juga) cukup membaca beberapa ayat al‐Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait‐bait Mada‐ih Nabawiyyah (pujian‐pujian terhadap Nabi) dan (syair) kezuhudan (zuhudiyah), yang bsai menggerakkan hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Dia kehendaki”.
Apa
yang tercantum didalam kitab diatas mengenai perkataan Al‐Imam Al‐Hafidz
As‐Sakhawiy, juga bisa
dijumpai didalam kitab I’anath Ath‐Thalibin, Juz 3 Hal. 415 Cet.
Dar Al‐Fikr dan kitab Sirah
Al‐Halabiyah :
قال السخاوي: إن عمل المولد حدث بعد
القرون الثلاثة ثم لا زال أھل الاسلام من سائر الاقطار
والمدن الكبار يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم،
ويظھر عليھم من بركاته كل فضل عميم
والمدن الكبار يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم،
ويظھر عليھم من بركاته كل فضل عميم
“Berkata
(Al‐Imam) As‐Sakhawiy : “sesungguhnya
amal Maulid adalah baru setelah kurun ke 3, kemudian bagi seluruh umat Islam
seluruh penjuru daerah dan kota‐kota
besar mengamalkan Maulid (Nabi), dan bershaqadah pada malam‐malam hari dengan berbagai
macam shadaqah, meramaikan dengan pembacaaan Maulid Nabi, dan begitu jelas
keberkahan bagi mereka”.
Banyak
perkataan ulama yang benar‐benar
mumpuni tentang perayaan Maulid Nabi yang datang dengan jelas dan terang
bederang kepada kita semua. Sayangnya pengingkar
Maulid Nabi tetap bersikukuh dengan angkuhan dan hawa nafsu mereka. Mereka merasa
diri mereka seolah‐olah
lebih pintar dari ulama yang bergelar Al‐Hujjah,
Al‐Hafidz dan Al‐Imam, mereka mencoba membantah
perkataan para Imam dengan kapasitas keilmuan yang sama sekali tidak memadai,
mereka juga tidak segan‐segan
berbohong atas nama para Ulama.
Asy‐Syekh Ibnu Taimiyah tentang
permasalahan Maulid Nabi, sebagaimana yang tertera didalam kitab terjemah “Haulal
Ihtifal Bidzikri Al‐Maulidin
Nabawi Asy‐ Syarif”
hal.102 dan juga didalam kitab beliau sendiri “Iqtidha’
As‐Shirath Al‐ Mustaqim”,
cet Dar Al‐Hadits, hal 266 ;
يقول : قد يُثاب بعض الناس على فعل
المولد ، وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاھاة
عليه وسلّم وتعظيما له ، ولله قد للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلّٮا
يثيبھم على ھذه المحبة والاجتھاد لا على البدع
عليه وسلّم وتعظيما له ، ولله قد للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلّٮا
يثيبھم على ھذه المحبة والاجتھاد لا على البدع
Ibnu
Taimiyah berkata : “sebagian orang mendapatkan pahala atas peringatan Maulid,
dan juga setiap hal baru yang dilakukan oleh sebagian orang, entah kerena
meniru orang Nasrani dalam peringatan kelahiran Isa as atau karena kecintaan dan
penghormatan kepada Baginda
Nabi
SAW. Allah akan memberi pahala kepada mereka atas rasa cinta dan kesungguhan
tersebut bukan atas bid’ah‐bid’ah
yang dilakukan”
Ini (perkataan Ibnu Taimiyah) adalah perkataan orang yang meninggalkan
fanatisme sempitnya dan berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah dan
Rasul‐Nya senang. Adapun
kita melakukan (merayakan) Maulid Nabi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Syaikh ini yaitu “karena
kecintaan dan penghormatan kepada Baginda Nabi ( صلى لله عليه وسلم )”. Dan sungguh Allah akan
memberikan pahala kepada kita atas kecintaan dan kesungguhan ini. Maka alangkah benarlah perkataan Al‐Imam Muhammad Al‐Bushiriy (didalam Qasidah Burdah beliau), dimana maksud dari bait‐bait qasidah beliau adalah anjuran untuk memuji Rasulullah ( صلى لله عليه وسلم ) setinggi‐tingginya tapi jangan sampai meniru orang Nasrani yang kemudian menganggap Nabinya sebagai Allah (Anak Allah), berikut bait‐bait Qasidah Al‐Imam Muhammad Al‐Bushiriy
memberikan pahala kepada kita atas kecintaan dan kesungguhan ini. Maka alangkah benarlah perkataan Al‐Imam Muhammad Al‐Bushiriy (didalam Qasidah Burdah beliau), dimana maksud dari bait‐bait qasidah beliau adalah anjuran untuk memuji Rasulullah ( صلى لله عليه وسلم ) setinggi‐tingginya tapi jangan sampai meniru orang Nasrani yang kemudian menganggap Nabinya sebagai Allah (Anak Allah), berikut bait‐bait Qasidah Al‐Imam Muhammad Al‐Bushiriy
“Tinggalkanlah
apa yang dikatakan oleh orang Nasrani tentang
Nabi mereka, dan buatlah pujian yang engkau suka tentang beliau dan sempurnakanlah pujian untuknya Nisbatkanlah kepada dzatnya segala kemulyaan yang kau suka. Dan nisbatkanlah kepada derajatnya nan mulya semua keagungan yang kau suka. Karena sesungguhnya kemulyaan Rasulullah tidak memiliki. Batasan hingga tak satu pun Insan yang lisannya mampu untuk melukiskan”
Nabi mereka, dan buatlah pujian yang engkau suka tentang beliau dan sempurnakanlah pujian untuknya Nisbatkanlah kepada dzatnya segala kemulyaan yang kau suka. Dan nisbatkanlah kepada derajatnya nan mulya semua keagungan yang kau suka. Karena sesungguhnya kemulyaan Rasulullah tidak memiliki. Batasan hingga tak satu pun Insan yang lisannya mampu untuk melukiskan”
Syekh
Ibnu Taimiyah berkata lagi ;
ثم قال : واعلم أن من الأعمال ما يكون
فيه خير لاشتماله على أنواع من المشروع ، وفيه أيضاً
شر من بدعة وغيرھا فيكون ذلك العمل شراً بالنسبة إلى الإعراض عن الدين بالكلية كحال
المنافقين والفاسقين
شر من بدعة وغيرھا فيكون ذلك العمل شراً بالنسبة إلى الإعراض عن الدين بالكلية كحال
المنافقين والفاسقين
“Kemudian
berkata lagi, ketahuilah sebagian amal itu ada yang bersifat kebaikan karena
terdiri dari berbagai amal syar’i dan didalamnya juga terdapat keburukan karena
mengandung berbagai bid’ah maka ia disebut buruk jika dilihat dari sini adanya
bid’ah yang merupakan penyimpangan secara keseluruhan dalam agama. Hal ini
adalah seperti kondisi
kebanyakan kaum munafik dan fasik.”
kebanyakan kaum munafik dan fasik.”
Jadi
menurut Ibnu Taimiyah, amal itu baik jika diterdiri dari berbagai amal yang
bersifat syar’i. Maka seperti itu juga dengan peringatan Maulid Nabi yang
terdiri dari berbagai amal yang bersifat syar’i, seperti membaca al‐Qur’an,
membaca shalawat, menyanjung Nabi, memberi makan dan bershadaqah, bergembira
terhadap diwujudkannya Nabi dialam semesta ini, bershilaturahim sesame Muslim,
meningkatkan ukhuwah Islamiyah, membuat saudara‐saudara
sesame Muslim yang lain merasa senang, mempelajari kisah‐kisah kenabian dan
mentauladaninya, meningkatkan kecintaan dan lain sebagainya. Adapun perkara
bid’ah (bid’ah yang dilarang) yang terjadi, sebagaimana di ditulis dalam
terjemah kitab “Haulal Ihtifal Bidzikri Maulid Nabawi adalah sebagai berikut ;
“ada
beberapa bid’ah dan hal‐hal
yang menyalahi syariat yang terjadi pada peringatan‐peringatan
Maulid Nabi (
صلى لله عليه وسلم )
yang dilaksanakan dibeberapa negara Arab dan (negara) Islam lainnya. Dan kami
telah sering memperingatkan akan bid’ah‐bid’ah
tersebut dan keburukannya.”
Selanjutnya
dituliskan lagi,
“Bid’ah
dan penyimpangan dibeberapa negeri‐negeri
Islam, diantaranya campur baur (ikhtilat) antara laki‐laki
dan perempuan”.
Siapapun yang berilmu mengetahui mana yang termasuk “ikhthilat”
dan bukan. Dan bisa membedakan majelis yang ber”ikhtilat”
dan yang tidak, kecuali orang yang memang awam. Maka, untuk menilai apakah
suatu mejelis (tidak hanya Maulid tapi juga majelis lainnya) termasuk ikhtilat
atau bukan, harus dilihat secara objektif. Adapun jika memang ada majelis yang
berbuat demikian (melanggar batas yang diperbolehkan oleh syara’), tetap tidak
bisa dipukul rata terhadap majelis yang lain,
sebab orang alim yang mengerti tentang ikhthilat tidak akan melakukan hal
tersebut, dan kemungkinan hanya terjadi dikalangan orang awam yang memang tidak
mengerti dan hanya segelintir saja. Sebab tidak pernah ditemui hal semacam itu
dikalangan ahli Ilmu.
Masih
didalam didalam terjemah kitab “Haulal Ihtifal Bidzikri Maulid Nabawi,“Hiburan
yang melalaikan, permainan dan nyanyian yang diharamkan ; yang mana semua itu
dilakukan oleh sebagian orang‐orang
bodoh dibeberapa negeri dan juga bergadang dalam kemaksiatan kepada Allah”. “Diantara bid’ah lainnyA : melakukan perbuatan munkar,
menggampangkan shalat, bermua’amalah dengan riba, menyia‐nyiakan sunnah lahir dan batin”.
menggampangkan shalat, bermua’amalah dengan riba, menyia‐nyiakan sunnah lahir dan batin”.
Hal
yang disebutkan diatas, diluar peringatan Maulid pun memang harus
dihindari, jadi bukan hanya pada majelis Maulid Nabi dan tidak mungkin terjadi di majelis Maulid Nabi yang mengetahui hokum‐hukum mengenai perkara tersebut.
Apa yang terjadi dikalangan segelitir orang awam, tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang (bahkan mengharamkan) kegiatan Maulid Nabi. Sebab perkara semacam itu berpeluang terjadi dimana saja bukan hanya dimajelis Maulid bahkan bisa jadi terjadi pada perkumpulan yang disyari’atkan seperti ibadah haji, umrah dan perkumpulan hari raya atau lainnya. Tergantung pelakunya. Dan hal semacam itu tidak berpengaruh terhadap hokum asal dari majelis tersebut. Bagi mereka (orang awam) selayaknya dinasehati bukan dihukumi. Dan sangat tidak pantas melarang sebuah perkumpulan hanya karena kelakuan menyimpang dari segelintir orang‐orang bodoh.
dihindari, jadi bukan hanya pada majelis Maulid Nabi dan tidak mungkin terjadi di majelis Maulid Nabi yang mengetahui hokum‐hukum mengenai perkara tersebut.
Apa yang terjadi dikalangan segelitir orang awam, tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang (bahkan mengharamkan) kegiatan Maulid Nabi. Sebab perkara semacam itu berpeluang terjadi dimana saja bukan hanya dimajelis Maulid bahkan bisa jadi terjadi pada perkumpulan yang disyari’atkan seperti ibadah haji, umrah dan perkumpulan hari raya atau lainnya. Tergantung pelakunya. Dan hal semacam itu tidak berpengaruh terhadap hokum asal dari majelis tersebut. Bagi mereka (orang awam) selayaknya dinasehati bukan dihukumi. Dan sangat tidak pantas melarang sebuah perkumpulan hanya karena kelakuan menyimpang dari segelintir orang‐orang bodoh.
Selanjutnya,
masih perkataan Ibnu Taimiyah ;
ثم قال : فتعظيم المولد واتخاذه
موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن
عليه وسلّم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما قصده وتعظيمه لرسول لله صلّٮا
يستقبح من المؤمن المسدد ، ولھذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف
دينار ونحو ذلك فقال : دعه فھذا أفضل ما أنفق فيه الذھب ، أو كما قال ، مع أن مذھبه : أن
زخرفة المصاحف مكروھة ، وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقھا في تجديد الورق والخط ، وليس
مقصود الإمام أحمد ھذا وإنما قصده أن ھذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضاً مفسدة كُره لأجلھا
عليه وسلّم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما قصده وتعظيمه لرسول لله صلّٮا
يستقبح من المؤمن المسدد ، ولھذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف
دينار ونحو ذلك فقال : دعه فھذا أفضل ما أنفق فيه الذھب ، أو كما قال ، مع أن مذھبه : أن
زخرفة المصاحف مكروھة ، وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقھا في تجديد الورق والخط ، وليس
مقصود الإمام أحمد ھذا وإنما قصده أن ھذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضاً مفسدة كُره لأجلھا
Kemudian
ia berkata lagi : “Adapun memulyakan Maulid Nabi, dan menjadikannya sebagai
sebuah perayaan tahunan telah dilaksanakan oleh banyak orang dan mereka akan
memperoleh pahala yang besar karena disebabkan niat mereka yang baik dan
penghormatan mereka kepada Rasulullah ( صلى لله عليه وسلم ). Sebagaimana yang telah saya
ketengahkan kepada engkau, bahwa perkara yang dianggap buruk oleh sebagian
orang Mukmin yang berpendirian tegas terkadang dianggap baik oleh sebagian orang. Oleh karena itu pernah suatu kali
dikatakan kepada Imam Ahmad tentang seorang pejabat yang menginfakkan uang
sejumlah 1000 dinar (mata uang emas) untuk menghiasi mushhaf al‐Qur’an.
Imam Ahmad menjawab ; biarkanlah dia karena sesuatu yang paling pantas untuk
dibelanjakan demi Al‐Qur’an
ini adalah emas”,
atau yang
redaksinya seperti itu. Padahal Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat bahwa menghiasi mushhaf secara berlebihan adalah makruh.
Namun sebagian madzhab ulama Hanbali yang mentakwil masalah tersebut bahwa
dalam kasus tersebut pejabat menafkahkan hartanya untuk membaharui kerta dan tulisan mushhaf itu. Dan Imam Ahmad bukanlah
bermaksud mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan, hanya saja ia bermaksud
bahwa didalam apa yang dilakukan terdapat kemaslahatan dan juga kemafsadatan
(keburukan) yang karenanya hal itu dimakruhkan”.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Taimiyah, kami pun memperingati Maulid Nabi
dengan niat yang baik (ikhlas) dan sebagai pengagungan (penghormatan) kepada
Rasulullah. Pada dasarnya ucapan Ibnu Taimiyah diatas adalah bijak, sebab
perinsip beliau “bahwa perkara yang dianggap buruk oleh sebagian orang Mukmin
yang berpendirian tegas terkadang dianggap baik oleh sebagian orang “. Dan
sejatinya jika kita telaah pandangan Ibnu Taimiyah seluruhnya, maka
sesungguhnya dia tidak melarang Maulid Nabi yang dilakukan
oleh orang lain, namun bagi dirinya sendiri (karena ketegasannya) dia tidak inginm melakukan yang demikian. Beliau juga mengambil contoh yang dilakukan Imam Ahmad. Imam Ahmad memperbolehkan dalam kasus diatas walaupun dia memakruhkannya, artinya Ibnu Taimiyah pun memperbolehkan karena menimbang maslahat dan mafsadatnya juga didalam amal tersebut. Bukankah ini hal yang bijak ?!! Sayang, kalangan pengingkar Maulid sering mensalah artikan ucapan Ibnu Taimiyah. Yang mereka tonjolkan hanyalah persoalan bid’ah yang menurut mereka sesat, itu saja dan titik.
oleh orang lain, namun bagi dirinya sendiri (karena ketegasannya) dia tidak inginm melakukan yang demikian. Beliau juga mengambil contoh yang dilakukan Imam Ahmad. Imam Ahmad memperbolehkan dalam kasus diatas walaupun dia memakruhkannya, artinya Ibnu Taimiyah pun memperbolehkan karena menimbang maslahat dan mafsadatnya juga didalam amal tersebut. Bukankah ini hal yang bijak ?!! Sayang, kalangan pengingkar Maulid sering mensalah artikan ucapan Ibnu Taimiyah. Yang mereka tonjolkan hanyalah persoalan bid’ah yang menurut mereka sesat, itu saja dan titik.
Wallahu
‘Alam
sohih
BalasHapus