HUKUM MAULID NABI menurut Imam As-Sakhawiy dan Imam Ibnu Taimiyah


PENDAPAT IMAM AS-SAKHAWIY DAN IBNU TAIMIYAH TERHADAP HUKUM MAULID
AImam AlHafidz Muhammad bin Abdurrahman AlQahiriy (AlImam AsSakhawiy) memfatwakan tentang perayaan Maulid Nabi seperti disebutkan didalam AlAjwibah alMardliyyah, sebagai berikut :

لَمْ يُنْقَل عَ ن أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَال أَھْل الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَھْرِ مَوْلِدِهِ ‐ صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ
وَكَرَّمَ ‐ يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَھِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ
الصَّدَقَاتِ، وَيُظْھِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَ بَرَّاتِ، بَل يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْھَرُ
عَلَيْھِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُل فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ
“Tidak pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama
Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya.
Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kotakota besar senantiasa memperingati Maulid Nabi ( (صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ  dibulan kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkaraperkara yang menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan diramaikan dengan pembacaan (bukubuku) Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah (jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu telah teruji.
ثُمَّ قَال : ”قُلْتُ : كَانَ مَوْلِدُه الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَھْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْل :
لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْل : لِثَمَانٍ، وَقِيْل : لِعَشْرٍ وَقِيْل غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلا بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ ھذِهِ
الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَل يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّھْرِ كُلِّھَا وَلَيَالِيْهِ
Kemudian (beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi AsySyarif yang paling shahih adalah pada malam Senin, 12 Rabiul Awwal. Dikatakan (qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap harihari ini dan malammalamnya dengan persiapan (kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada harihari dan malammalam bulan (Rabiul Awwal)
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْف ھِمْ
-
وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَ كة –الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْھَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ
وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّبُوَّةِ لِلْبَيْھَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَ ةِ
النَّبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا ھُوَ
أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ،
وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالت لاَوَةِ
وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّبَوِيَّةِ وَالزُّھْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى
.
فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَللهُ يَھْدِيْ مَنْ يَشَاءُ
“dan adapun pembacaan (kisah) kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama Ahli Hadits dalam karangankarangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti AlMaurid alHaniyy karya AlIraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus dengan
karya
karya tentang Maulid saja tetapi juga dengan menyebutkan riwayatriwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dalail anNubuwwah karya alBaihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayatriwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayatriwayat dan kisahkisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca, atas semua itu sesungguhnya tidak masalah ada pembacaan kisahkisah maulid dalam peringatan Maulid Nabi, bahkan (juga) cukup membaca beberapa ayat alQuran, memberi makan dan sedekah, didendangkan baitbait Madaih Nabawiyyah (pujianpujian terhadap Nabi) dan (syair) kezuhudan (zuhudiyah), yang bsai menggerakkan hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Dia kehendaki”.
Apa yang tercantum didalam kitab diatas mengenai perkataan AlImam AlHafidz AsSakhawiy, juga bisa dijumpai didalam kitab Ianath AthThalibin, Juz 3 Hal. 415 Cet. Dar AlFikr dan kitab Sirah AlHalabiyah :
قال السخاوي: إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أھل الاسلام من سائر الاقطار
والمدن الكبار يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم،
ويظھر عليھم من بركاته كل فضل عميم
“Berkata (AlImam) AsSakhawiy : sesungguhnya amal Maulid adalah baru setelah kurun ke 3, kemudian bagi seluruh umat Islam seluruh penjuru daerah dan kotakota besar mengamalkan Maulid (Nabi), dan bershaqadah pada malammalam hari dengan berbagai macam shadaqah, meramaikan dengan pembacaaan Maulid Nabi, dan begitu jelas keberkahan bagi mereka”.
Banyak perkataan ulama yang benarbenar mumpuni tentang perayaan Maulid Nabi yang datang dengan jelas dan terang bederang kepada kita semua. Sayangnya pengingkar Maulid Nabi tetap bersikukuh dengan angkuhan dan hawa nafsu mereka. Mereka merasa diri mereka seolaholah lebih pintar dari ulama yang bergelar AlHujjah, AlHafidz dan AlImam, mereka mencoba membantah perkataan para Imam dengan kapasitas keilmuan yang sama sekali tidak memadai, mereka juga tidak segansegan berbohong atas nama para Ulama.
AsySyekh Ibnu Taimiyah tentang permasalahan Maulid Nabi, sebagaimana yang tertera didalam kitab terjemah Haulal Ihtifal Bidzikri AlMaulidin Nabawi Asy Syarif hal.102 dan juga didalam kitab beliau sendiri Iqtidha AsShirath Al Mustaqim, cet Dar AlHadits, hal 266 ;
يقول : قد يُثاب بعض الناس على فعل المولد ، وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاھاة
عليه وسلّم وتعظيما له ، ولله قد 􀍿 للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلّٮا
يثيبھم على ھذه المحبة والاجتھاد لا على البدع
Ibnu Taimiyah berkata : “sebagian orang mendapatkan pahala atas peringatan Maulid, dan juga setiap hal baru yang dilakukan oleh sebagian orang, entah kerena meniru orang Nasrani dalam peringatan kelahiran Isa as atau karena kecintaan dan penghormatan kepada Baginda
Nabi SAW. Allah akan memberi pahala kepada mereka atas rasa cinta dan kesungguhan tersebut bukan atas bid’ahbidah yang dilakukan Ini (perkataan Ibnu Taimiyah) adalah perkataan orang yang meninggalkan fanatisme sempitnya dan berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah dan RasulNya senang. Adapun kita melakukan (merayakan) Maulid Nabi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh ini yaitu karena kecintaan dan penghormatan kepada Baginda Nabi ( صلى لله عليه وسلم )”. Dan sungguh Allah akan
memberikan pahala kepada kita atas kecintaan dan kesungguhan ini. Maka alangkah benarlah perkataan Al
Imam Muhammad AlBushiriy (didalam Qasidah Burdah beliau), dimana maksud dari baitbait qasidah beliau adalah anjuran untuk memuji Rasulullah ( صلى لله عليه وسلم ) setinggitingginya tapi jangan sampai meniru orang Nasrani yang kemudian menganggap Nabinya sebagai Allah (Anak Allah), berikut baitbait Qasidah AlImam Muhammad AlBushiriy
“Tinggalkanlah apa yang dikatakan oleh orang Nasrani tentang
Nabi mereka, dan buatlah pujian yang engkau suka tentang beliau dan sempurnakanlah pujian untuknya Nisbatkanlah kepada dzatnya segala kemulyaan yang kau suka. Dan nisbatkanlah kepada derajatnya nan mulya semua keagungan yang kau suka. Karena sesungguhnya kemulyaan Rasulullah tidak memiliki. Batasan hingga tak satu pun Insan yang lisannya mampu untuk melukiskan”
Syekh Ibnu Taimiyah berkata lagi ;
ثم قال : واعلم أن من الأعمال ما يكون فيه خير لاشتماله على أنواع من المشروع ، وفيه أيضاً
شر من بدعة وغيرھا فيكون ذلك العمل شراً بالنسبة إلى الإعراض عن الدين بالكلية كحال
المنافقين والفاسقين
“Kemudian berkata lagi, ketahuilah sebagian amal itu ada yang bersifat kebaikan karena terdiri dari berbagai amal syar’i dan didalamnya juga terdapat keburukan karena mengandung berbagai bid’ah maka ia disebut buruk jika dilihat dari sini adanya bid’ah yang merupakan penyimpangan secara keseluruhan dalam agama. Hal ini adalah seperti kondisi
kebanyakan kaum munafik dan fasik.”
Jadi menurut Ibnu Taimiyah, amal itu baik jika diterdiri dari berbagai amal yang bersifat syar’i. Maka seperti itu juga dengan peringatan Maulid Nabi yang terdiri dari berbagai amal yang bersifat syar’i, seperti membaca alQuran, membaca shalawat, menyanjung Nabi, memberi makan dan bershadaqah, bergembira terhadap diwujudkannya Nabi dialam semesta ini, bershilaturahim sesame Muslim, meningkatkan ukhuwah Islamiyah, membuat saudarasaudara sesame Muslim yang lain merasa senang, mempelajari kisahkisah kenabian dan mentauladaninya, meningkatkan kecintaan dan lain sebagainya. Adapun perkara bid’ah (bid’ah yang dilarang) yang terjadi, sebagaimana di ditulis dalam terjemah kitab “Haulal Ihtifal Bidzikri Maulid Nabawi adalah sebagai berikut ;
“ada beberapa bid’ah dan halhal yang menyalahi syariat yang terjadi pada peringatanperingatan Maulid Nabi ( صلى لله عليه وسلم ) yang dilaksanakan dibeberapa negara Arab dan (negara) Islam lainnya. Dan kami telah sering memperingatkan akan bid’ahbidah tersebut dan keburukannya.
Selanjutnya dituliskan lagi,
“Bid’ah dan penyimpangan dibeberapa negerinegeri Islam, diantaranya campur baur (ikhtilat) antara lakilaki dan perempuan. Siapapun yang berilmu mengetahui mana yang termasuk ikhthilat dan bukan. Dan bisa membedakan majelis yang berikhtilat dan yang tidak, kecuali orang yang memang awam. Maka, untuk menilai apakah suatu mejelis (tidak hanya Maulid tapi juga majelis lainnya) termasuk ikhtilat atau bukan, harus dilihat secara objektif. Adapun jika memang ada majelis yang berbuat demikian (melanggar batas yang diperbolehkan oleh syara’), tetap tidak bisa dipukul rata terhadap majelis yang lain, sebab orang alim yang mengerti tentang ikhthilat tidak akan melakukan hal tersebut, dan kemungkinan hanya terjadi dikalangan orang awam yang memang tidak mengerti dan hanya segelintir saja. Sebab tidak pernah ditemui hal semacam itu dikalangan ahli Ilmu.
Masih didalam didalam terjemah kitab “Haulal Ihtifal Bidzikri Maulid Nabawi,“Hiburan yang melalaikan, permainan dan nyanyian yang diharamkan ; yang mana semua itu dilakukan oleh sebagian orangorang bodoh dibeberapa negeri dan juga bergadang dalam kemaksiatan kepada Allah”. “Diantara bid’ah lainnyA : melakukan perbuatan munkar,
menggampangkan shalat, bermua’amalah dengan riba, menyia
nyiakan sunnah lahir dan batin.
Hal yang disebutkan diatas, diluar peringatan Maulid pun memang harus
dihindari, jadi bukan hanya pada majelis Maulid Nabi dan tidak mungkin terjadi di majelis Maulid Nabi yang mengetahui hokum
hukum mengenai perkara tersebut.
Apa yang terjadi dikalangan segelitir orang awam, tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang (bahkan mengharamkan) kegiatan Maulid Nabi. Sebab perkara semacam itu berpeluang terjadi dimana saja bukan hanya dimajelis Maulid bahkan bisa jadi terjadi pada perkumpulan yang disyari’atkan seperti ibadah haji, umrah dan perkumpulan hari raya atau lainnya. Tergantung pelakunya. Dan hal semacam itu tidak berpengaruh terhadap hokum asal dari majelis tersebut. Bagi mereka (orang awam) selayaknya dinasehati bukan dihukumi. Dan sangat tidak pantas melarang sebuah perkumpulan hanya karena kelakuan menyimpang dari segelintir orang
orang bodoh.
Selanjutnya, masih perkataan Ibnu Taimiyah ;
ثم قال : فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن
عليه وسلّم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما 􀍿 قصده وتعظيمه لرسول لله صلّٮا
يستقبح من المؤمن المسدد ، ولھذا قيل للإمام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف
دينار ونحو ذلك فقال : دعه فھذا أفضل ما أنفق فيه الذھب ، أو كما قال ، مع أن مذھبه : أن
زخرفة المصاحف مكروھة ، وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقھا في تجديد الورق والخط ، وليس
مقصود الإمام أحمد ھذا وإنما قصده أن ھذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضاً مفسدة كُره لأجلھا
Kemudian ia berkata lagi : “Adapun memulyakan Maulid Nabi, dan menjadikannya sebagai sebuah perayaan tahunan telah dilaksanakan oleh banyak orang dan mereka akan memperoleh pahala yang besar karena disebabkan niat mereka yang baik dan penghormatan mereka kepada Rasulullah ( صلى لله عليه وسلم ). Sebagaimana yang telah saya ketengahkan kepada engkau, bahwa perkara yang dianggap buruk oleh sebagian orang Mukmin yang berpendirian tegas terkadang dianggap baik oleh sebagian orang. Oleh karena itu pernah suatu kali dikatakan kepada Imam Ahmad tentang seorang pejabat yang menginfakkan uang sejumlah 1000 dinar (mata uang emas) untuk menghiasi mushhaf alQuran. Imam Ahmad menjawab ; biarkanlah dia karena sesuatu yang paling pantas untuk dibelanjakan demi AlQuran ini adalah emas, atau yang redaksinya seperti itu. Padahal Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa menghiasi mushhaf secara berlebihan adalah makruh. Namun sebagian madzhab ulama Hanbali yang mentakwil masalah tersebut bahwa dalam kasus tersebut pejabat menafkahkan hartanya untuk membaharui kerta dan tulisan mushhaf itu. Dan Imam Ahmad bukanlah bermaksud mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan, hanya saja ia bermaksud bahwa didalam apa yang dilakukan terdapat kemaslahatan dan juga kemafsadatan (keburukan) yang karenanya hal itu dimakruhkan”.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Taimiyah, kami pun memperingati Maulid Nabi dengan niat yang baik (ikhlas) dan sebagai pengagungan (penghormatan) kepada Rasulullah. Pada dasarnya ucapan Ibnu Taimiyah diatas adalah bijak, sebab perinsip beliau “bahwa perkara yang dianggap buruk oleh sebagian orang Mukmin yang berpendirian tegas terkadang dianggap baik oleh sebagian orang “. Dan sejatinya jika kita telaah pandangan Ibnu Taimiyah seluruhnya, maka sesungguhnya dia tidak melarang Maulid Nabi yang dilakukan
oleh orang lain, namun bagi dirinya sendiri (karena ketegasannya) dia tidak inginm melakukan yang demikian. Beliau juga mengambil contoh yang dilakukan Imam Ahmad. Imam Ahmad memperbolehkan dalam kasus diatas walaupun dia memakruhkannya, artinya Ibnu Taimiyah pun memperbolehkan karena menimbang maslahat dan mafsadatnya juga didalam amal tersebut. Bukankah ini hal yang bijak ?!! Sayang, kalangan pengingkar Maulid sering mensalah artikan ucapan Ibnu Taimiyah. Yang mereka tonjolkan hanyalah persoalan bid’ah yang menurut mereka sesat, itu saja dan titik.
Wallahu ‘Alam

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

MAKNA HADIS "MAN TASYABBAHA BIQAUMIN FAHUWA MINHUM" Kajian no Tekstual

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR