HERMENETIKA AL-QURAN FAZLUR RAHMAN
Anang Bustami (11634002)
anangbustami@gmail.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
tidak pernah luput dari sejarah. Mereka hidup didalam sejarah dan membentuk
sejarah iu sendiri. Dari sejarah, kita dapat mengetahui apa dan bagaimana
kemajuan yang telah dicapai oleh manusia. Sebuah kemajuan budaya yang besar
dikenal dengan peradaban. Peradaban terbentuk dari sekumpulan budaya yang
memiliki sistem sosial-pemerintahan, sistem ekonomi yang seimbang dan kemajuan
ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Pendekatan
terhadap Al-Quran berkembang pesat sejalan dengan pertikaian pemikiran
negara-negara muslim dan Barat. Didorong oleh keinginan belajar dari Barat yang
dianggap lebih maju dalam ilmu pengetahuan, banyak sarjana Islam yang mencoba
meminjam tradisi linguistic Barat untuk memahami Al-Quran, untuk sebagian bisa
disebutkan disini, seperti Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Nasr
Hamid Abu Zayd, dan Aminah Wadud Mushin. (Ahmad Sahidah. God, Man, and
Nature. cet. 1 (Yogyakarta ;
IRCiSoD, 2018) hlm.124)
Fazlur
Rahman adalah salah seorang tokoh yang secara intelektual dididik dan
dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang yang
kritis. Pengembaraan intelektualitasnya akhirnya mengantarkan dia ke arah
mazhab neo-modernisme dengan wacana yang bersifat humanitarianistik dan sarat
dengan pemikiran yang liberal, tapi tetap otentik sekaligus historis .
Neo-modernisme
merupakan gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebagai jawaban terhadap
kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang muncul
sebelumnya, yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik, dan
neo-revivalisme. Demikian pula, pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan
sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pemikiran Islam yang lain yang timbul
sepanjang sejarah perjalanan umat Islam, serta pemikiran yang berkembang di
Barat .
Berdasarkan
uaraian singkat diatas, tulisan ini hanya memfokuskan satu tokoh saja dalam
pembaharuannya dibidang ilmu pengetahuan yang mana dalam hal ini terfokus pada
ilmu Hermenetika Al-Quran yang digagas oleh Fazlur Rahman. Oleh sebab itu, makalah ini kami beri judul “Hermenetika
Al-Quran Fazlur Rahman”B. Rumusan Masalah
1. Apa Biografi Dan Latar Belakang Pemikiran Fazlur Rahman ?
2. Bagaimana Pandangan Fazlur Rahman Tentang Al-Quran ?
3. Bagaimana Hermenetika Al-Quran Fazlur Rahman ?
4. Bagaimana Tanggapan Terhadap Teori Hermenetika Al-Quran Fazlur Rahman ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Latar Belakang Pemikiran
Fazlur Rahman
Fazlur
Rahman dapat dikategorikan sebagai salah satu pemikir neomodernis yang paling
serius dan produktif dewasa ini. Ia dilahirkan pada tanggal 21 September 1919
dan meninggal 26 Juli 1988 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan
yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan
sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup
berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir
Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Fazlur Rahman dilahirkan dalam
suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga
dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya,
sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual
agama, seperti shalat dan puasa se-cara teratur sejak masa kecilnya dan tidak
pernah meninggalkannya. Akan tetapi meskipun begitu pada masa belakangan beliau
sangat kritis terhadap sunni dan syi’i.
Dasar
pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat itu dapat ditelusuri dari
ayahnya yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan
lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din sendiri adalah
seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional.
Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan
seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan pemikiran
Fazlur Rahman.
Bekal
dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam
pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa
selanjutnya. Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup
tekun untuk menimba pengetahuan dari berbagai sumber dan media, termasuk
karya-karya Barat. Pengajaran dan pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman
pada waktu kecil beliau terima dari ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah.
Pengaruh
ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka pemikiran dan
pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran
Islam tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai
kenyataan sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih
sayang, ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang
cukup signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan
keintelektualan Fazlur Rahman pada masa selanjutnya.
Selain
itu latar belakang anak benua indo-pakistan yang telah melahirkan sejumlah
pemikir liberal,disana merupakan penghasil benih-benih dari mana pemikiran
rahman dan skeptisisme rahman tumbuh. Sehingga pemikirannya merupakan hibernasi
dari pemikiran Muhammad Iqbal.
Beliau
menamatkan sekolah menengahnya di departemen ketimuran pada universitas punjab,
dengan pengambil studi bidang sastra arab. pada tahun 1942, dia berhasil
mendapat gelar M.A dalam sastra arab. Dan pada tahun 1946 beliau kembali
melanjutkan studi doktornya ke universitas oxford university dan
berhasil mendapat gelar doktor filsafat pada tahun 1951.[1]
B. Al-Quran dalam Pandangan Fazlur Rahman
Pandangan
Fazlur Rahman tentang Al-Quran memanag cukup kontroversial. Fazlur Rahman
manyatakan dalam karyanya, Islam, “Al-Quran itu secara keseluruhannya adalah
kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad”. Pandangan yang tidak biasa dalam masyarakatnya ini kontan mendapat
serangan sengit dari kaum ortodoks dan fundmentalis di Pakistan. Namun yang
perlu dipahami di sini adalah apa sebenarnya yang dimaksud Rahman dengan “dalam
pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”. Pernyataan Rahman
ini bisa kita pahami ketika kita melihat bahwa Al-Quran adalah Kalam Tuhan yang
abadi, tidak bermula dan berakhir. Maka dari sini kita melihat bahwa keabadian
dan ketakbermulaan ini sifatnya adalah transendental, bukan mewujud dalam dunia
fisik. Karena dalam tradisi ilmu kalam, sesuatu yang berwujud fisik tidaklah
abadi. Rahman memandang bahwa dalam konteks Al-Quran yang berada di sisi
Allahlah yang benar-benar abadi, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sementara
ketika Al-Quran tersebut disampaikan kepada Umat manusia oleh Nabi Muhammad,
maka Al-Quran itu juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Karena bahasa Arab
adalah produk budaya, secara otomatis “bahasa” Al-Quran tersebut adalah bahasa
yang dimengerti oleh Muhammad ketika Al-Quran tersebut hendak disampaikan
kepada kaumnya.
Bagi Rahman,
wahyu adalah semacam ide yang masuk secara tiba-tiba ke dalam benak Muhammad.
Ia hanya merupakan sebuah gagasan yang jelas, dan kemudian Nabi Muhammad
menjadi “kepanjangan tangan” dari ide tersebut. Pemikiran Rahman yang demikian
itu, sebagaimana dikemukakan di muka, tentu saja langsung mendapat kritikan
tajam dari para penganut Islam yang telah mapan. Karena dalam pandangan
tradisional, Al-Quran adalah dari Allah, lafadz sekaligus maknanya.
Kemudian
mengenai metode yang ditempuh Fazlur Rahman dalam menafsirkan Al-Quran adalah
bertumpu pada pandangannya tentang pembaruan. Hal ini muncul dikarenakan oleh
kecenderungannya dalam melihat realitas peradaban barat. Metode yang ditawarkan
Fazlur Rahman adalah teori double movement. Yaitu metode gerakan ganda
(bolak-balik). Pertama, cara yang mesti ditempuh untuk menafsirkan adalah
dengan kembali ke masa lalu. Kita berusaha melihat bagaimana pemahaman awal
tentang Al-Quran, konteks di mana ia turun, dan sebagianya. Setelah itu kita
melihat ke masa kekinian, dengan berbekal pemahaman akan ruh universal terhadap
penafsiran dari yang pertama, untuk kemudian mengkontekstualisasikannnya dengan
kekinian.
C. Hermenetika Al-Quran Fazlur Rahman
Pendekatan
terhadap Al-Quran berkembang pesat sejalan dengan pertikaian pemikiran
negara-negara muslim dan brat. Didorong oleh keingin belajar dari Barat yang
dianggap lebih maju dalam ilmu pengetahuan, banyak sarjana Islam yang mencoba
meminjam tradisi linguistic Barat untuk memahami Al-Quran, untuk sebagian bisa
disebtkan disini, seperti Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Nasr
Hamid Abu Zayd, dan Aminah Wadud Mushin.
Fazlur
Rahman memandang bahwa kaidah yang tepat dalam menafsirkan Al-Quran seharusnya
menjadi pusat intelektualisme Islam. Ini karena Al-Quran bagi muslim ialah
firman Ilahi yang secara harfiah diwahyukan kepada Nabi Muhammad (710-732 H),
yang barang kali tidak ada dokumen agama lain yang menyerupai kitab suci ini.
Lebih jauh, Al-Quran menyatakan bahwa dirinya merupakan pedoman yang paling
lengkap bagi manusia seraya menegaskan dan memasukkan wahyu sebelumnya (QS.
Yusuf [12] : 111, Yunus [10] : 37, dan Al-An’am [6] : 114)
Lebih jauh,
wahyu Al-Quran dan perjalanan kenabian Muhammad berlangsung kurang lebih dua
puluh dua tahun, sebuah masa yang dipenuhi dengan berbagai jenis keputusan
tentang dasar damai dan perang, isu hukum dan moral dalam kehidupan pribadi
serta publik yang dibuat untuk menghadapi situasi actual. Jadi, tegas Fazlur
Rahman, Al-Quran sejak masa pewahyuan mempunyai keguanaan praktis dan politik.
Ia bukan semata-mata teks ibadah dan keshahihan pribadi, melainkan juga tentang
perjalanan kenabian Muhammad yang diabadikan untuk kepentingan nmanusia dalam
pergantian konkrit dan kelompok, bukan pada kesalahan pribadi dan meta fisik
semata-mata.
Agar pesan
Al-Qurna tetap bisa hadir dalam kehidupan masa kini, Fazlur Rahman mengusulkan
untuk mengkaji kembali penafsiran abad tengah yang cendrung mendeduksi hukum
dari Al-Quran in abstracto-misalnya, diwilayah hkum pidana yang disebut hudud.
Ini karena instrument untuk menurunkan hukum dan lembaga sosial lain, yang
disebu qiyas, dan penalaran analogis, tidak sempurna hingga pada tingkat
yang disempurnakan. Ketidaksempurnaan dan ketidaktepatan kaidah ini akhirnya
menyebabkan tidak tepatnya kaidah untuk memahami Al-Quran itu sendiri.
Bagi Fazlur
Rahman, terdapat kegagalan umum untuk memahami keterpaduan yang mendasar dari
Al-Quran dan diperburuk lagi dengan penegasan amaliah berdasarkan pada
penetapan kata-kaa yang tedapat didalam ayat yang terpisah-pisah. Inilah yang
disebut Fazlur Rahman sebagai pendekatan “atomistik” yang mengambl hukum (law)
dai ayat yang sama sekali tidak dimaksudkan sebagai undang-undang (legal).
Fazlur
Rahman memuji para ahli filsafat dan juga para sufi, karena kedua kelompok ini
memahami Al-Quran sebagai sebuah keterpaduan. Sayangnya, sesuatu ini tidak
didasarkan pada Al-Quran (dan Islam secara umum), tetapi pada kajian luar.
System pemikiran dan orientasi pemikiran tersebut diserap dari sumber luar
(tidak dengan sendirinya sepenuhnya bertentangan dengan Al-Quran, tetapi
secaraa pasti asing dan sering kali tidak sering pada sesuai dengannya), yang
agaknya disesuaikan dengan lingkungan mental islam. Kebanyakan pemahaman
tersebut diketengahkan dengan terminology Islam, tetapi penyarigan tipis ini
tidak menyembunyikan fakta bahwa struktur dasar dari ide mereka tidak berasal
dari dalam Al-Quran itu sendiri.
Untuk mencapai
tujuan keterpaduan Al-Quran, Fazlur Rahman mengusulkan sebuah penafsiran yang
disebut “gerakan ganda” (double movement), dari situasi sekarang ke masa
Al-Quran dan kembali lagi kepada masa sekarang. Al-Quran adalah jawaban Ilahi,
melalui akal budi nabi Muhammad terhadap situasi moral-sosial kawasan Arab,
khususnya masalah masyarakat pedagangMakkah pada masanya.[2]
Dalam sumber
yang lain juga dijelaskan bahwa Fazlur
Rahman memandang perlu diupayakan reinterpretasi Al-Quran. Dalam hal ini,
beliau menawarkan metode tafsir knotemporer yang berbeda dengan metode-metode
era sebelumnya. Metode tafsir yang memiliki nuansa “unik” dan menarik untuk
dikaji secara intensif, yaitu metode yang populer dengan nama “double movement”
(Gerakan Ganda).[3]
Sejak awal,
Al-Quran telah berbicara sebuah beban yang akan memberatkan punggung kamu
(Muhammad), yang dibebaskan dengan wahyu (94 : 1-3 cek dalam Al-Quran
terjemahan). Di awal-awal surah Al-Quran, banyak sekali ayat yang menjelaskan
bahwa masalah genting dalam masyarakat ialah politisme (penyembahan berhala),
penghisapan orang miskin, penyimpangan dalam perdagangan, dan ketiadaan
tanggung jawab secara umum terhadap masyarakat (yang merupakan alasan yang baik
utuk memercayai Al-Quran dipercayai sebagai saling terkait).
Selanjutnya,
Al-Quran mengajukan ide tentang keunikan Tuhan dan semua manusia bertanggung
jawab, serta tujuan penghapusan ketidaksetaraan sosio-ekonomi masyarakat
kebanyakan. Teologi dan ajaran moral serta undang-undang Al-Quran secara
bertahap muncul di area politik penolakan orang-orang Makkah terhadap pesan
Nabi Muhammad, perdebatan ini berlanjut dan kemudian pada fase Madinah,
kontroversi ini mengakibatkan kaum yahudi dan dalam beberapa hal dengan kaum
Kristen melatarbelakangi perlawanan terhadap perkara yang diwahyukan Al-Quran.
Jadi, Fazlur
Rahman menjelaskan bahwa kita melihat bahwa Al-Quran dan asal usul komunitas
Islam terjadi atas dasar sejarah dan perlawanan terhadap kondisi
sosial-historis. Al-Quran merupakan sebuah respons terhadap situasi itu, dan
untuk sebagian besar ia terdiri atas pernyataan moral, keberagamaan, dan sosial
yang menjawab masalah tertentu yang bertentangan dengan situasi historis
konkret.
Terkadang,
Al-Quran hanya menjawab suatu masalah, tetapi biasanya jawabannya dinyatakan
dalam pengertian ratio-legis (illah), baik secara tersurat maupun
setengah tersurat, sementara terdapat juga hukum-hukum umum tertentu yang
diungkapkan dari waktu ke waktu. Tetapi, ketika jawaban sederhana diberikan,
adalah mungkin untuk memahami alasan-alasan dan oleh karena itu mendeduksi
hukum-hukum dengan mengkaji latar belakang, yang sebagian besar dijelaskan
dengan sangat bijak oleh para penafsir.
Lalu, Fazlur
Rahman mengaplikasikan teori tersebut dengan penjelasan berikut. Gerakan pertama
yang telah disebutkan terdiri atas dua langkah. Pertama, seseorang harus
memahami makna dari pernyataan tertentu dengan mengkaji situasi historis. Tentu
saja, sebelum mengkaji teks-teks khusus berdasarkan siuasi khusus pula, adalah
mesti dibuat sebuah kajian umum terhadap situasi mikri masyarakat, agama, adat
kebiasaan, dan lembaga, bahkan kehidupan secara keseluruhan dikawasan Arab
dalam pandangan Islma dan khususnya di dan sekitar Makkah seraya tidak
mengenyampingkan perang Persia-bizantium.
Jadi,
langkah pertam tersebut ialah memahami makna Al-Quran secara keseluruhan.
Demikian juga dalam pengertian prinsip tertentu yang merupakan respons terhdap
situasi tertentu . langkah kedua adalah menggeneralisasi jawaban-jawban
khas itu dan menyatakan berbagai jawaban itu sebagai pernyataan tentang tujuan
moral-sosial umum yang bisa ditegakkan dari tekas-teks khuus atas dasar latar
belakang historis dan kerap dinyatakn dengan rationes legis (illah).[4]
D. Tanggapan terhadap Teori Hermenetika
Fazlur Rahman
Kami
menyakini terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhi pemikiran seoarang tokoh,
terutatam sebab-sebab yang membentuk perilaku, cita-cita dan pandangannya
terhadap kehidupan. Dalam hal ini kami menilai bahwa Fazlur Rahman mencoba
mengajak umat Islam untuk memahami ideologi keislaman seobjektif mungkin sesuai
dengan prinsip-prinsip dasarnya. Ide tersebut tentu membutuhkan banyak
referensi dan objektifitas yang tajam. Referensi dan sikap objektif ini sering
kali sulit untuk diikuti, tetapi pemikiran Fazlur Rahman yang jauh dan
menyeluruh harus diusahakan untuk dipahami demikian adanya. Ketertarikan besar
Fazlur Rahman terhadap Islam agar menunaikan kembali cita-cita Rahmatan Lil
‘Alamin tidak tertutup untuk dilaksanakan oleh mereka yang sepakat dengan
memahami gagasan tersebut terlebih dahulu. Namun, sebagai seorang manusia
Fazlur Rahman juga tidak terlepas dari kekurangan, ini dapat dilihat dari
kecenderungannya yang keras dan tegas dalam menyuarakan gagasannya.
Kecenderungan dan gagasan yang tidak biasa ini membuat Fazlur Rahman asing dan
sulit diterima di masyarakat muslim pada umumnya, khususnya di Pakistan saat
itu.
Dalam
mengkaji pemikiran Fazlur Rahman, kita perlu mengetahui metode pendekatan yang
digunakan dalam menulis karya-karyanya. Fazlur Rahman, sering menyebutkan dua
istilah metodik dalam buku-bukunya yaitu Historico critical method dan Hermeneutic
method. Menurut Fazlur Rahman, kedua metode ilmiah ”critical history” dan
Hermeneutic, merupakan dua buah metode yang berkaitan erat. Metode ”critical
history” berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan metode Hermeneutic
difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya.[5]
Sementara dalam kajian normatif (penerapan metode Hermeneutic dalam menafsirkan
Al-Quran), Fazlur Rahman menggunakan metode sosio-historis sebagai alat bantu
dalam menentukan konteks sosial yang terkait.
Fazlur
Rahman sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia
tinggal di Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara
sistematis dan komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di
Chicago. Metodologi yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai “double movement”,
merupakan kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang
khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum
kepada yang khusus.
Yang pertama
dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau
makna suatu pernyataan Al-Quran, dengan mengkaji situasi atau problem historis
dari mana jawaban dan respon Al-Quran muncul. Langkah kedua dari gerakan
pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik,
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat
disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan
rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri.
Bila gerakan
yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi
prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua
ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan
adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa
dinilai dan dirubah sesuai dengan prioritas-prioritas moral tersebut. Apabila
kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Quran akan
menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli
sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial mutlak
diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli
etika.
Fazlur
Rahman yakin bahwa dengan penerapan teori “double movement”nya ini di dalam
penafsiran teks, ijtihad dapat dihidupkan kembali. Apabila hal ini dapat
dilakukan, pesan-pesan Al-Quran dapat ‘hidup’ dan menjadi efektif sekali lagi.
Gerakan ganda seperti yang dikemukan oleh Fazlur Rahman dianggap strategis
dalam upaya mengaitkan kerelevanan teks Al-Quran pada konteks kekinian,
terutama untuk merumuskan kembali hukum dari Al-Quran.
Dampak dari
penafsiran ala Fazlur Rahman ini, dapat dilihat dari pernyataan para aktivis
liberal yang menggunakan teori dekonstruksi yang sama untuk menemukan
makna-makna dalam Al-Quran, seperti bahwa ayat Hudud (cambuk, potong, jilbab,
ayat kawin beda agama, ayat kewarisan, dan sejenisnya adalah ayat yang bersifat
partikular, tidak universal dan kekal. Ayat-ayat ini berlaku tentatif dan
temporer karena hanya cocok dengan kondisi bangsa Arab abad ke-7 M, dan kini
sudah irrelevan dan ahistoris.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fazlur Rahman adalah tokoh pemikir dari Pakistan yang mempunyai
kepiyawaian berfikir dan intelektualnya.
Melihat para mufassir klasik yang masih menginterpretasikan
Al-Quran yang sebagian besar masih terkungkung dengan penginterpretasian yang
menurutnya sudah tidak relevan di era sekarang ini, karena banyak konsep-konsep
islam yang sulit di aplikasikan atau banyak masalah jika diformulasikan untuk
menjawab problem-problem yang terjadi dewasa ini.
Fazlur Rahman mengusungkan metode hermeneutiknya yaitu Double
Movement, Gerakan Ganda. Karena menurutnya metide ini dapat menjawab
problem-problem masyarakat yang sedang terjadi.
Metode Double Movement, Gerakan Ganda, adalah model
penafsiran Al-Quran yang menggunakan langkah pemahaman Al-Quran dari situasi
sekarang ini menuju ke situasi dimana Al-Quran diturunkan, kemudian kembali ke
masa sekarang guna mengaplikasiakan dan formulasikan dengan apa yang terjadi di
situasi yang sedang terjadi.
Dengan digunakannya metode yang di usung oleh Fazlur Rahman ini,
diharapkan agar Manusia dapat menggunakan Al-Quran sebagaiman mestinya, yakni
menjadiak Al-Quran sebagai sumber hukum yang relevan dimasa sekarang ini.
B. Saran
Makalah ini kami buat memang sangat
jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu Penulis mengharapkan
kritik dan saran pada semua pembaca agar nantinya makalah ini
bisa diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi bahan kajian atau bahkan bisa
dijadikan bahan untuk dikoreksi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sahidah. God, Man, and Nature. cet. 1 (Yogyakarta ; IRCiSoD, 2018)
Kurdi, dkk. Hermenetika
Al-Qur’an dan Hadis, cet 1. (Yogyakarta ; eLSAQ press, 2010)
Rodiah Dkk, Studi Al-Qur’an Metode Dan Konsep, cet-1
(Yogyakarta: eLSAQ press, 2010)
Rahman, Islamic
Methodology in History
Ulil Abshar Abdalla Cs, Metodologi Studi Al-Quran,
[1]
Kurdi,
dkk. Hermenetika Al-Qur’an dan Hadis,
cet 1. (Yogyakarta ; ELSAQ press, mey 2010)
[2] Ahmad Sahidah. God, Man, and Nature. Cet. 1(Yogyakarta : IRCiSoD, 2018) hlm. 126
[3] Rodiah Dkk, Studi
Al-Qur’an Metode Dan Konsep, cet-1 (Yogyakarta: eLSAQ press, 2010) hlm. 3
[4] Ahmad Sahidah. God, Man, and Nature. Cet. 1(Yogyakarta : IRCiSoD, 2018) hlm.
124-128
[6] Ulil Abshar Abdalla Cs, Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 136.
Komentar
Posting Komentar