MEMAHAMI HADIS MUKHTALIF (HADIS CARA WUDHU NABI MUHAMMAD SAW))
CARA MEMAHAMI HADIS YANG MUKHTALIF
(KONTRADIKSI)
DENGAN METODE AL-JAM’U WA AL TAWFIQ (Analisis
Hadis Tentang Jumlah dalam Membasuh Anggota Wudhu Yang Diterapkan Oleh Nabi
Muhammad Saw)
Oleh : Anang Bustami
1. Pendahuluan
Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek)
dari kata اختلافا yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk
pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan كل مالم يتساو
(segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân
surat al-An’âm ayat 141: وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ
وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ (pohon
korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai
beberapa makna di antaranya, تعارض (bertentangan), تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).
Secara terminologi mukhtalaf
al-hadith adalah dua hadis yang arti tekstualnya tampak saling bertentangan
dan untuk mengetahui arti sebenarnya, maka keduanya bisa dikompromikan atau
memilih yang kualitasnya lebih baik di antara keduanya[1].
Pengertian di atas memberi kesan
bahwa hadis muhktalif ialah semua hadis yang secara tekstual tampak
bertentangan tanpa ada batasan pada hadis. Maka ath-Thahawi memberikan batasan
pada definisi Mukhtalaf Al-Hadis yakni, dua hadis yang sama-sama berkualitas
maqbul secara lahiriah tampak saling bertentangan dan memungkinkan cara
penyelesaiannya dengan mengompromikan antar keduanya secara wajar[2].
Terdapat satu kitab khusus yang membahas tentang metode kompromi yang ditulis
oleh seorang ulama hadis bernama at-Thanuwiy. Beliau menulis kitab Qawa’id
fi Ulum al-Hadis yang secara keseluruhan membahas tentang metode kompromi
dalam penyelesaian hadis-hadis mukhtalif[3].
2. Pengertian Metode Al-Jam’u Wa Al-Tawfiq
Metode Al-Jam’u
Wa Al-Tawfiq maksudnya mempertemukan dan mengkompromikan kedua hadis yang
tampak saling bertentangan dengan memperhatikan kandungan makna dan maksudnya
masing-masing, sehingga kedua hadis itu dapat diamalkan sesuai dengan
kandungannya.[4]
Dalam buku Abdul Mustaqim (Ilmu
Ma’anil Hadits : 2016) juga menjelaskan tentang metode Al-Jam’u Wa Al-Tawfiq. Dalam bukunya
dijelaskan bahwa metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dan
mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa kedua
hadis itu sama-sama berkualitas Shahih.
Metode ini
dinilai lebih baik ketimbang melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu
dari dua hadis yang tampak bertentangan). Dalam salah satu kaedah fiqh
dikatakan bahwa “I’mall Al-Qawl Khairun Min Ihmalihi (mengamalkan suatu
ucapan itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan)”. Metode Al-Jam’u
Wa Al-Tawfiq ini tidak berlaku bagi hadis-hadis dhaif (lemah) dan
bertentangan dengan hadis-hadis yang shahih.[5]
a. Cara kompromi ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
antara lain:
1) Pendekatan kaedah ushul fiqh, hadis tersusun dalam bahasa arab
dengan redaksi yang bersifat umum dan dimaksudkan umum. Boleh jadi yang susunan
redaksinya bersifat umum, namun dimaksudkan secara khusus atau karena adanya
takhshish. Demikian juga ada yang bersifat mutlak (tanpa batas) dan muqayyad
(terbatas). Bahasa dan redaksi hadis seperti ini dapat dipahami dengan
menggunakan kaedah ushul fiqh, seperti ‘am (umum) khas (khusus), mutlak dan
muqayyad, dan kaedah-kaedah lainnya.
2) Pendekatan kontekstual, kedua hadis yang tampak saling bertentangan
itu dapat dikompromikan dan diamalkan sesuai dengan konteksnya masing-masing
dengan memperhatikan konteks dan sejarah yang melatar belakangi munculnya hadis
itu. Nabi SAW. Terkadang melarang atau membolehkan sesuatu dengan pertimbangan
konteks tertentu.
3) Pendekatan takwil, adalah upaya mengalihkan makna suatu lafal dari
makna lahiriyah yang tampak bertentangan itu ke makna lain yang memungkinkan
karena ada dalil atau indikasi yang mendukungnya sehingga pertentangan itu dapat
dirujuk titik temunya. Dalam melakukan takwil, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan; pertama, lafalnya muhtamil, bias menerima takwil; kedua, takwil
dilakukan ketika lahiriah suatu teks tampak saling bertentangan dengan kaedah
agama lainnya; ketiga, maknanya tidak terlepas dari makna lahiriahnya dan sudah
dikenal dalam bahasa arab klasik; keempat, ada dalil atau indikasi membuat
lebih kuat dari pada makna lahiriahnya; dan kelima, mereka yang men-takwil
adalah ahlinya mengerti bahasa arab.
b. Syarat-syarat metode Al Jam’u Wa At-Taufiq
M. Tharir al-jawabi menjelaskan adanya syarat-syarat dalam metode
al jam’u at-taufiq di antaranya dua hadis yang kelihatannya bertentangan harus
memnenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Kedua
hadis yang bertentangan harus shahih, sehingga hadis dhaif tidak berhadapan
dengan hadis shahih, karena yang kuat tidak akan dipengaruuhi oleh adanya
perbedaan atau pertentangan hadis dhaif.
2)
Ta’arud
itu tidak dalam bentuk berlawanan dimana tidak memungkinkan dilakukan kompromi
(al-jam’u) di antara keduanya.
3)
Kompromi
(al-jam’u) itu tidak membatalkan salah satu hadis yang bertentangan. Ketika
membatalkan salah satunya otomatis hadis yang satunya tidak digunakan. Padahal
tujuan adanya dalil adalah diamalkan, bukan mengabaikan kedua hadis tersebut.
4)
Kompromi
(al-jam’u) itu harus memenuhi ketentuan uslub bahasa arab dan tujuan
syari’at tanpa ada unsure pemaksaan.
c. Kaedah-kaedah dalam menggunakan metode Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Sebagaimana yang telah dikutip dari M. Tharir al-jawabi, ringkasan
kaidah-kaidah yang diambil dalam islam syafi’I sebagai berikut:
1)
Hadis
yang berasal dari Rasulullah harus diamalkan dalam bentuk umum dan dharir,
kecuali jika ada petunjuk dari Rasulullah bahwa yang diinginkan dari hadis
adalah kekhusuannya.
2)
Yang
dimenangkan dalam pertentangan adalah mubahnya suatu perkara.
3) Mengkompromikan diantara yang mujmal dan mufassir dan antara yang
amm dank has.
4)
Kaidah
ini berimplikasi agar tidak menggunakan hadis Rasulullah atas makna yang ghairu
dharir kecuali adanya dalil-dalil syara’
3. Contoh Penerapan Metode Al-Jam’u Wa Al-Tawfiq
Dalam menyelesaikan dua hadis yang mukhtalif,
kita dapat menggunakan metode Al-Jam’u Wa at-Taufiq dengan menggunakan
salah satu pendekatan yang ada didalamnya. Pada pembahasan kali ini, penulis
akan menggunakan pendekatan kontekstual[6],
yakni kedua hadis yang tampak saling bertentangan itu dapat dikompromikan
dan diamalkan sesuai dengan konteksnya masing-masing dengan memperhatikan
konteks dan sejarah yang melatar belakangi munculnya hadis itu. Nabi Muhammas
Saw. Terkadang melarang atau membolehkan sesuatu dengan pertimbangan konteks
tertentu.
Contoh :
Hadis Pertama[7].
menyatakan bahwa Rasulullah Saw, berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya,
serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadis berikut ini :
حَدَّثَنَا الرَّبِيْعُ , قَالَ :
اَخْبَرَنَا الشَّفِعِيُّ , قَالَ : اَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيْزِبْنِ مُحَمَّدٍ
, عَنْ ذَيْدِبْنِ اَسْلَمَ , عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ , عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , اَنَّ
رَسُوْلَ للهِ صَلَّى للهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ . وَضَّاَ وَجْحَهُ وَيَدَيْهِ ,
وَمَسَحَ بِرَاْسِهِ مَرَّةٍ مَرَّةً . اختلف الحدث – ( خ 1 / ص 6 )
Rabi’ah
telah bercerita kepada kami, dia berkata : Imam al-Syafi’I memberi kabar kepada
kami, dia berkata : Andul azizi bin Muhammad telah memberi kabar kepada kami,
dari zaid bin salam dari atha’ ibn Yasar dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw
berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali
satu kali. (HR. Bukhari dari al-Syafi’i).
Sementara
dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw berwudhu dengan membasuh wajah dan
kedua tangannya, seta megusap kepala tiga kali, sebagaimana terlihat dalam
hadis yang Kedua[8]
ini :
اَخْبَرَنَا الشِّفِعِيُّ , قَالَ :
اَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيِّنَةِ , عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةِ , عَنْ
اَبِيْهِ , عَنْ حَمْرَانِ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانِ , اَنَّ النَّبِيَّ
للهِ صَلَّى للهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ
تَوَضَّاَ ثَلَاثًا ثَلَاثَا . اختلف الحدث – ( خ 1 / ص 7 )
Imam Syafi’I
telah memberi kabar kepada kami, dia berkata : Sufyan Ibn ‘Uyaynah telah
memberi kabar kepada kami, dan Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dan Hamran maula
‘Utsman bin ‘affan bahwa Nabi Saw berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam
membasuh dan mengusap). (HR. Bukhari dari as-Syafi’i)
Kedua riwayat yang tampak bertentangan dan tampak sama-sama shahih,
dapat diselesaikan dengan Metode Al-Jam’u Wa Al-Tawfiq.
Imam
al-Syafi’I dalam kitab Ikhtilaful Hadits berkomentar[9] :
قَالَ الشَّفِعِيُّ : وَلَا يُقَالُ لِشَيْءٍ
مِنْ هَذِهِ الْاَحَدِيْثِ : مُحْتَلِفٌ مُطْلَقًا ... وَلَكِنَّ يُقَالُ :
اَقَلُّ مَا يَجْزِيْ مِنَ الْوُضُوْءِ مَرَّةٌ . وَاَكْمَلُ مَا يَكُوْنُ مِنَ
الْوُضُوْءِ ثَلَاثٌ . اختلف الحدث – ( خ 1 / ص 8 )
Terjemah bebasnya,
imam al-Syafi’I berkata : “Hadis-hadis itu tidak bisa dikatakan sebagai hadis
yang benar-benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan
membasuh wajah dengan kedua tangannya, seta mengusap kepala satu kali sudah
mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulangi tiga
kali (dalam hal membasuh wajah dan kedua tangan, serta mengusap kepala)”
Dari pembahasan kedua hadis
tersebut diatas, kemudian disertai satu komentar dari Imam as-Syafi’I maka
sangat jelas bahwa kedua hadis tersebut dapat dikompromikan dan dapat disatu
presepsikan dengan memandang kontek pada penerapannya. Untuk hadis yang pertama
yakni menyatakan bahwa Rasulullah dalam membasuh anggota wudhu itu hanya satu
kali karena sudah menganggap dengan satu kali basuhan saja sudah merata
mengenai anggota wudhu, kemudian rasulullah kuga berwudhu dalam kondisi
persediaan air yang cukup untuk berwudhu saja namun masih dapat membasahi
seluruh permukaan anggota wudhu. Sedangkan hadis yang menggunakan tiga kali
basuhan ialah untuk lebih berhati-hati, karena khawatir masih ada anggota wudhu
yang tidak terkena air, atau pada saat itu kondisi air sangat banyak dan tidak
khawatir kehabisan.
Dari kondisi tersebut kita dapat
menyimpulkan agar kedua hadis ini bisa berfungsi bersama-sama, maka kita
menggunakan pendekatan kontekstual dengan memperhatikan kondisi disekitar kita
berwudhu. Jika air yang digunakan untuk berwudhu itu pas-pasan atau sedang
musim kemarau, maka kita berwudhu dengan membasuh anggota wudhu satu kali juga
sah wudhunya. Sedangkan jika kita berwudhu di tempat yang banyak air kemudian
merasa ingin sekali menyempurnakan wudhu dengan membasuh setiap anggota wudhu
dengan tiga kali basuhan juga itu lebih baik dan juga sah wudhunya. Inilah
fleksiblenya agama Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah saw.
Sehingga jika kita melihat seseorang yang bebeda penerapan cara berwudhu’nya
dalam hal jumlah membasuh anggota wudhu maka bisa jadi mereka menggunakan
pandangan hadis yang berbeda dari apa yang kita ikuti dan terapkan biasanya.
4. Kesimpulan
Dari
uraian diatas, mengenai penyelesaian untuk memahami hadis yang kontradiksi
tersebut dengan metode Al-Jam’u Wa Al-Tawfiq dengan menggunakan mpendekatan
kontekstual sudah diselesaikan. Dari uraian tersebut, kita dapat memahami kedua hadis diatas ialah
bisa kita gunakan salah satunya, dengan tidak mempermasalahkan apakah membasuh
wajah, tangan serta mengusap kepala satu kali atau tiga kali. Kita itnggal
memilih yang mana yang ingin kita gunakan. Namun dari itu semua Nampak adanya
batasan gagi kita bahwa untuk membasuh wajah dan tangan serta menyapu kepala
itu minimal satu kali dan maksimalnya tiga kali.
Jadi, jangan
mudah menyalahkan apa yang orang lain lakukan karena berbeda dengan apa yang
sebelumnya kita lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
mustaqim. Ilmu Ma’anil Hadits. (Yogyakarta : idea Press Yogyakarta, 2016)
Badrân,
Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah:
Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi sharh taqrib
al-Nawawi, Vol. 2 (Beiru: Dsr al- Fikr,
1988), hal. 196, dikutip oleh Mohamad Anas dan Imron Rosyadi dalam Metode Memahami
Hadis-Hadis Kontradiktif, Jurnal Mutawatir, hal. 125, Vol. 3, No. 1 Juni 2013.
Sri Aliyah, Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang,
Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, No.
2
Wajidi
sayadi. Memahami hadis-hadis kontradiksi. (Pontianak : STAIN Pontianak Press, 2009)
[1]
Jalal al-Din al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi sharh taqrib al-Nawawi, Vol. 2
(Beiru: Dsr al-Fikr, 1988), hal. 196, dikutip oleh Mohamad Anas dan Imron
Rosyadi dalam Metode Memahami Hadis-Hadis Kontradiktif, Jurnal
Mutawatir, hal. 125, Vol. 3, No. 1 Juni 2013.
[2]
Definisi ini dikutip oleh Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag., dalam Memahami
Hadis-Hadis Kontradiksi, (Pontianak, STAIN Pontianak Press, 2009), hal. 26.
[3]
Sri Aliyah, Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits, Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang, Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, No.
2, hal. 2.
[4] Wajidi sayadi. Memahami
hadis-hadis kontradiksi. (Pontianak : STAIN Pontianak Press, 2009) hlm. 32
[5] Abdul mustaqim. Ilmu Ma’anil Hadits.
(Yogyakarta : idea Press Yogyakarta, 2016) hlm. 87
[6] Wajidi sayadi. Memahami
hadis-hadis kontradiksi. (Pontianak : STAIN Pontianak Press, 2009) hlm. 39
[7] Abdul mustaqim. Ilmu Ma’anil Hadits.
(Yogyakarta : idea Press Yogyakarta, 2016) hlm. 88
[8] Abdul mustaqim. Ilmu Ma’anil Hadits.
(Yogyakarta : idea Press Yogyakarta, 2016) hlm. 88
[9] Abdul mustaqim. Ilmu Ma’anil Hadits.
(Yogyakarta : idea Press Yogyakarta, 2016) hlm. 89
Komentar
Posting Komentar