EMILIO BETTI TOKOH PEMIKIR HERMENEUTIKA
HERMENEUTIKA
“Hermeneutika Metodologis Emilio Betti”
Anang Bustami
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang\
Hermeneutika
diperkenalkan untuk pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri
Hermeneias karya Aristoteles, sejak saat itu konsep logika dan
penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.
Hermeneutika merupakan salah satu jenis filsafat yang mempelajari interpretasi
makna. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuien yang
berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menterjemahkan. Jika dirunut,
hermeneutika merupakan nama salah satu pantheon Yunani kuno, yaitu
Hermes- Yunani kuno menyebutnya sebagai dewa, sedangkan islam menyebutnya
sebagai Nabi Idris- yang bertugas untuk menyampaikan pesan kepada manusia.
Beranjak dari hal inilah hermeneutika kemudian digunakan
untuk diistilahkan sebagai ilmu tentang penafsiran
teks. Hermeneutik adalah teori tentang pemahaman terhadap
menafsirkan teks yang berbeda jauh dengan pemahaman secara umum, mengarah
kepada kesadaran estetika terhadap nilai-nilai kritisme.
Pada
dasarnya hermeneutika dipahami secara komprehensif yang meliputi seluruh ruang
seni dan persoalan-persoalan kompleksnya. Dalam hal ini hermeneutika secara
keseluruhan harus bersikap adil terhadap pengalaman seni agar mudah dipahami
dari semua pernyataan untuk dibentuk dan disempurnakan secara menyeluruh. Dalam
cakupannya, hermeneutika terfokus dalam dua kajian, yakni (1) peristiwa
pemahaman terhadap teks, (2) persoalan yang mengarah mengenai pemahaman dan
interpretasi.
Maka
dari itu penulis akan mengemukakan pandangan Emilio Betti dalam hermeneutikanya
yang berusaha menyatukan pemikiran hrmeneutika Schleimacher dan Wilhlm
Dilthey.
Permainan
bahasa yang sebenarnya ada dalam gagasan Sclhemacher sebenarnya telah
memberikan pemahaman bahwa bahasa bisa membentuk konsep, bahkan bahasa bisa
membentuk sejarah. Wigetsstein mengatakan dalam hal ini, bahwa filsafat-tak
terkeceuali-adalah permainan bahasa. Karena bahasa lebih dulu membentuk sebuah
pemikiran.
Selain
penafsiran linguistic gramatikal, Schleimacher juga menggagas pola penafsiran
psikologis. Bedanya, kalau penafsiran dari sisi psikologis, ia menekanka pada
kejiwaan subyektif penggagas teks. Artinya, sisi psikologis pengggagas teks
ketika melontarkan atau menciptakan suatu teks.
Penggagas
teori tentang tafsir kedua yang tidak kalah menariknya adalah Wilhem
Dilthey. Ia dengan gagasannya tentang penafsiran lebih menekankan pada sisi
historis. Dengan kata lain, penafsiran tentang suatu teks harus melihat sejarah
yang melingkupi teks tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud adalah mengenai
sejarah yang mampu melahirkan suatu teks. Ia mempersoalkan teks yang memang
dilahirkan dari sisi sejarah. Bisa dikatakan juga peran sejarah terhadap
lahirnya suatu teks yang diucapkan oleh penggagas.
Berbicara
tokoh-tokoh hermeneutika, lain lagi dengan Emilio Betti. Ia menggagas sintesa
teorinya dua tokoh di atas. Terbukti dengan ucapannya yang penulis kutip dari
buku Study Hermeneutika: Kajian Pengantar, ia mengatakan,”
penafsiran atau auslegung agar pemikiran tentang suatu sejalan dengan apa yang
diinginkan penggagas teks dan sosial yang melingkupinya “. Hal ini menurutnya
tidak lain bertujuan untuk obyektifitas sebuah penafsiran. Artinya, penafsiran
yang disampaikan pada audiens itu harus seperti apa adanya yang ada dalam sejarah
dan maksud sebuah teks.
Dirasa
penting tentang kajian pemikiran Emilio betti terkait hermeneutika maka penulis
akan memaparkan-meskipun agak singkat-dalam makalah ini. Selain itu, penulis
kira ini sebuah pengulangan sejarah pemikiran dalam bidang filsafat. Kalau
dalam kajian filsafat barat terjadi peristiwa pertengkaran pemikiran dan
gagasan, Rene Descartes dan Jhon Lock misalnya. Keduanya silang pendapat
terkait epistemologi pengetahuan, Descartes mengemukakan bahwa cara untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan itu dengan akal atau yang dikenal dengan
rasionalisme sedangkan J. Lock mengemukakan gagasan lain, ia mengatakan bahwa
pengetahuan dapat diperoleh dengan cara mendapatkan data-data di lapangan serta
pengalaman-pengalaman yang nantinya akan dijadikan sebagai data. Keduanya
memang sialng pendapat sehingga lahirlah gagasan dari Immanuel Kant yang
mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh tidak hanya dari salah satunya tapi dari
keduanya. Filsafatnya yang kita kenal adalah kritisisme.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perjalanan Biografi
Emilio Betti?
2.
Apa karya-karyanya?
3.
Bagaimana pemikirannya?
4.
Bagaimana bentuk pengaplikasiannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Emilio Betti
Emilio
Betti adalah seorang teolog moderenis dan sejarawan hukum berkebangsaan Italia
yang hidup pad tahun 1890 dan meninggal dunia pada tahun 1968, sumbangan
pemikirannya untuk memajukan hermeneutika dalam tradisi barat amat berarti,
khususnya khususnya di wilayah akademisi berbahasa Italia dan Jerman. Kisah
hidup Betti cendrung tertutup untuk diakses publik, khususnya khalayak yang
berbahasa Inggris, akan tetapi dari hasil keterangan yang di berikan oleh Josef
Bleicher dan Richard Palmer, kita bisa melihat bahwa ada sejumlah pemikir yang
mempengaruhinya, dalam hal Hermeneutika adal pengaruh dilthey dan
schlieirmecher, juga pemikiran Hegel dan Husserl serta pemikiran
neokantian seperti Nekolai Hartman.[1]
Dalam
filsafat bahasa Betti banyak di pengaruhi oleh W. Von Humboldt,
kategori pemikiran Betti berhaluan idealis – romantis.
Sebetulnya
Betti ini menganut Hermeneutika teoritis yang mencoba memaduka teori
schleimacher dan Wilhlm Dilthey, dimana schleimacher berpandangan hermeneutika
bertugas memahami teks “ sebaik atau malah lebih baik dari pada pengarangnya
sedangkan Dilthey
Sebagai
seorang sejarawan hukum ketertarikan Betti terhadap hermeneutik tidak lahir
dari keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran sebuah karya seni
(Gadamer), atau keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
kodrat yang ada (Heidegger) atau sebuah tekanan untuk menyelamatkan makna ayat
Bibel (Bultmann dan Ebeling) Betti hanya ingin bermaksud untuk membedakan
antara cara atau model beragam interpretasi dalam disiplin manusia dan untuk
merumuskan kerangka fondasional dari prinsip – prinsip yang
dapat yang dapat menafsirkan prilaku manusia.[2]
Kemunculan
Betti ke pentas hermeneutic adalah debat tebukanya dengan beberapa tokoh
hermeneutika yang lain, seperti Gadamer, Bultmann, dan Ebeling. Betti berupaya
mengusung bagaiman menempatkan sebuah pengalaman manusia secara objektif,
dengan menyediakan sebuah teori teori umum penafsiran terhadapnya
B.
Karya dan Pemikiran Emilio Betti
Karya
dari Emilio Betti antara lain Die Hermeneotik als allgemeine methodic
der Geisteirwessenschaften,Zur Grundlegung allgemeinen Auslegungslehre.
Dan Theoria Generale della Interpretazione.[3]
Dalam
pemikiran hermeneutik Wilhem Dilthey terdapat dua prinsip, yang sekaligus
menjadi keyword bagi
pandangan-pandangannya, yaitu emphaty dan reliving.
Disposisi yang kemudian menjadi metode berpikir ala “romantisisme” ini, bagi
Emilio Betti, tidak cukuk memuaskan, bahkan dianggap tidak cukup mampu secara
tegas “membedah” objek (teks). Untuk itu, ia berupaya merumuskan pemikirannya
dari hal-hal yang belum disentuh oleh Dilthey. Ia menjadikan dirinya
sebagai residu Dilthey.
Bagi
Betti, untuk bisa sampai pada “mengerti” seseorang harus terlebih dahulu mampu
menjernihkan persoalan. Setiap detail proses interpretasi mesti diteliti,
termasuk metodologi yang dirumuskan untuk menentukan seberapa jauh kemungkinan
pengaruh eksternal (subjek) terhadap objek interpretasi. Sebab satu-satunya
medium bagi upaya untuk “mengerti” adalah interpretasi. Makna tidak didapatkan
dari penyimpulan atas interpretasi, melainkan diderivasi melalui mata-rantai
yang menghubungkan peristiwa sejarah.
Dengan
demikian, seorang penafsir (intepretor) harus sanggup secara aktif
merekonstruksi makna yang didapat dari kronik intelektualitasnya, pengalaman
masa lalu, dan latarbelakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki. Proses
interpretasi berarti lebih sebagai upaya “menemukan” (to discover),
bukan “menciptakan” (to invent), sebagaimana kecenderungan dekonstruski.
Peran penafsir tidak lebih dari memaknai ulang sebuah “peristiwa bahasa” dari
temuan-temuan yang dihasilkan lewat sebuah proses penelusuran. Sebab tidak adaarbitrary
acts yang dipaksakan untuk memaknai sebuah peristiwa tertentu
(termasuk teks), karena memang makna hanya bisa diderivasi.
Tugas
penafsir sebenarnya adalah menemukan inti makna di balik manifestasi pemikiran
pengarang serta gaya pemikiran yang khas yang tersembunyi di balik teks. Di
samping bahwa setiap orang memang memiliki “cara baca” tertentu dalam memahami
teks, yang melatari proses berikutnya. Karena penafsir tidak bisa secara pasif
menerima makna yang telah ada sebelumnya, tetapi harus melakukan eksplorasi
sampai mendapatkan intensi makna yang dikehendakinya. Ia juga yang harus
menemukan kebutuhan prosedur-prosedurnya.
Penafsir
juga harus memahami dan merekonstruksi makna dalam teks dengan bantuan intuisi
dan kekuatan refleksi. Karena dalam melakukan tafsir, seseorang telah dikuasai
oleh beragam postulasi yang disebuat Vorverständnis (pre-understanding)
sebagai bagian tak terpisahkan dari pemikiran seseorang, yang bisa digunakan
sebagai pijakan awal dalam memahami. Vorverständnis ini sangat
penting untuk menghindarkan diri dari kesalahpahaman yang seringkali disebabkan
tidak adanya asumsi awal mengenai fokus pemikiran tertentu. Tetapi, asumsi awal
juga tidak menjamin pengetahuan subjek dan objek secara distinktif, karena ia
–termasuk faktor kesejarahan– terkadang hanya berupa sebuah ilusi yang
dilegitimasi.
Konkritnya,
Betti menyebutkan alur penafsiran sebagai upaya menafsirkan dasar-dasar yang
mengandung materi-pokok (gagasan) baik yang secara langsung diekspresikan atau
tidak. Gagasan itu sangat mungkin bersamaan waktunya dengan intensi teks, atau
ia lahir secara bersamaan dengan munculnya teks. Dengan demikian dapat
dihindarkan kesalahpahaman dalam membidik substansi persoalan hermeneutika,
yaitu pada wilayah-wilayah yang sebenarnya berada di luar konteks penafsiran.
Seringkali, terdapat ambigu pada persoalan ini, yaitu pada ketidaktepatan
menentukan di mana mainstream gagasan utama dan mana gagasan
sekunder. Hal ini juga berimplikasi pada ketidaktepatan metodologis yang
dipergunakan untuk “mengolah” teks tersebut.
Dalam pandangan Betti, hermeneutika merupakan teori umum
penafsiran yang berfungsi sebagai metodologi umum untuk ilmu humaniora
(Geisteswissenschaften). Ini sekaligus menunjukkan hermeneutika Betti sangat
terinspirasi oleh hermeneutika Dilthey. Betti juga mengikuti pendapat
Schleiermacher ketika menyatakan penafsiran memberlakukan kembali fikiran
pengarang yang menggiring kepada pengetahuan kembali apa yang pada asalnya
diteliti oleh pengarang. Sekalipun Betti terinspirasi oleh Schleiermacher,
namun ini tidaklah menunjukkan Betti tidak memiliki kontribusi ide dalam
hermeneutika. Di antara sumbangan penting gagasan Betti terhadap hermeneutika
adalah :
(1) Betti menawarkan tipologi
penafsiran yang komprehensif.
(2)
Ia adalah teoris yang pertama mendirikan institusi untuk mengkaji isu-isu
penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Ia mendirikan Institut
Penafsiran di Universitas Roma.
Bagi Emilio Betti, makna itu sebagaimana yang dimaksudkan
oleh pengarang dan agen-agen historis. Makna dirujuk kepada bentuk-bentuk yang
penuh makna yang merupakan objektifikasi pemikiran manusia. Bagi Emilio Betti,
terutamanya melalui bentuk-bentuk bahasa yang objektif dan struktur tingkah
laku subjek yang menafsirkan menemukan akal yang lain. Bagi Emilio Betti, hermeneutika
adalah metode yang diaplikasikan kepada penafsiran dalam menjamin objektifitas
hasilnya. Dengan menggunakan metode yang benar serta kaidah penafsiran yang
benar, seorang penafsir mampu untuk meraih di luar kondisi historisnya untuk
memahami makna sebuah teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang.
Aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang mengarahkan penafsiran dapat diaplikasikan
secara universal kepada teks apapun.[4]
Betti
membagi proses interpretasi ke dalam empat tahapan di mana masing-masing tahapan
merepresentasikan bentuk pendekatan intelektual yang berbeda-beda:
(1) Filologi, yang berguna dalam memahami simbol-simbol yang
memiliki makna permanen.
(2) Kritik, untuk menguji apakah teks memenuhi prinsip logika;
pendekatan ini setidaknya akan membuktikan orisinalitas dan autentisitas
beragam elemen teks.
(3) Psikologi, menjadi penting dalam memahami posisi pengarang
supaya proses penghadiran kembali teks lebih faktual dan kontekstual
(4) Teknik-Morfologi, yang mengantarkan pada
pemahaman komprehensif tentang makna objek dalam kaitannya dengan logika
pengalaman manusia.
C. Bentuk Pengaplikasiannya
Di
pendahuluan penulis menjelaskan mengenai sintesa antara dua teori yang digagas
oleh Schleimecher dan W. Dilthey. Keduanya memang menitik beratkan pada
sisi linguistic game dan psikologis serta sisi
sejarah yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Namun dengan kedatangan
Emilio Betti dalam dunia pemikiran khususnya hermeneutika. Ia mencoba memadukan
kedua teori tersebut. Ia melihat pada teks yang kenyataannya tidak hanya pada
sisi psikologis atau sejarah semata. Teks yang dihasilkan oleh penggagas bisa
dikatakan dilahirkan dari psikologisnya dan sejarah yang melatarbelakanginya.
Salah
satu contoh dalam hal ini misalnya ayat yang berbunyi, arrijaaluuna
qowwamuuna alan nisa’. jika
dilihat lebih lanjut ayat tersebut memang bisa dinalisis dengan pendekatan
hermeneutika Emilio Betti. Dengan dua teorinya, ayat tersebut bisa dipahami
dari sisi psikologis dan sejarahnya ( Asbabun Nuzul).[5] Sisi
psikologis misalnya melihat pada nabi Muhammad sebagai penyampai wahyu Tuhan.
Ia dengan semua kondisi dirinya menyampaikan ayat tersebut pada umatnya.
Sedangkan dari sisi sejarah yang melatarbelakangi ayat tersebut, bisa dikatakan
bahwa sejauh ayat ini disampaikan tidak akan pernah terlepas dari sisi
sosial-historis yang melatarbelakanginya. Artinya, ayat diatas bisa dipahami
dengan dimana dan kapan turunnya ayat tersebut.
Sebenarnya
bentuk pengaplikasian teori ini menginginkan pada obyektifitas sebuah ayat
alquran yang menjadi bahan penelitian. Atau seperti yang telah dikatakan oleh
Emilio Betti, penafsir itu harus lepas dari pengaruh semua kepentingan berupa
politik, agama, ideology dan lainnya.
Sebagai sebuah renungan, gagasan
Emilio Betti dengan teori hermeneutikanya, tentu saja, telah memberikan suatu
ruang yang pro dan kontra bagi siapapun. Baik bagi mereka yang tidak menyakini
suatu interpretasi objektif terhadap pemahaman ataupun bagi mereka yang
menganggap ini sia-sia belaka. Terlepas dari itu semua, seperti yang juga
dinyatakan oleh Betti terhadap Gadamer di atas, bahwa apa yang dilakukan
olehnya hanyalah membuat sebuah ‘teori pemahaman’ terhadap ilmu-ilmu budaya,
bukan ekplorasi filosofis yang kemudian menegasikan unsur objektivitas. Sungguh
arif kiranya kalau kita kemudian memberikan penilaian dalam konteks yang sama
dengan Betti. Memahami Betti dalam emosi dan kekuatan historisnya. Memahami
teori dia sebagai sebuah ‘teks’ dan Betti sebagai seorang ‘pengarang’ dalam
suatu parsialitas—historis. Di sisi yang lain, apa yang telah Betti lakukan ini
telah menghilangkan suatu dimensi lain dari sebuah pengalaman manuisa yaitu;
bahwa pengalaman tidak hanya merupakan ide-ide, intensi atau perasaan manusia
tapi juga ia merupakan manifestasi impiris dari kultur yang bersifat unik dan
partikular. Jadi di sini kelihatan sekali rasa historisisme dalam diri Betti
sangat kuat, dan menjadi karakter aliran romantisisme.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tulisan
ini menuangkan beberapa hal yang menjadi keyword bagi eksplanasi
pemikiran Betti, yaitu :
(1) otonomi objek
(2) totalitas dan
koherensi makna (totality and coherence of the meaning), yang membidik
interkoneksi the parts within the whole
(3) actuality
of understanding, sebuah konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis
of thought
(4) korespondensi makna
(kecukupan-makna dalam memahami).
Pertama,
otonomi objek (teks). Sejak awal suatu teks sudah merupakan suatu konsep yang
bermakna (meaning-full forms), mengingat ia telah diobjektifikasi dan
dimanifestasi oleh beragam pengarang (author), sehingga ia
memiliki personality, karena sejak semula ia telah mengandung
beragam manifestasi pemikiran. Untuk itu, bagi kritikus (interpretor),
dalam memahami teks tersebut harus mereferensi pada pluralitas konsep yang
telah berada di dalam struktur pikiran.
Kedua,
totalitas dan koherensi makna (totality and coherence of the meaning),
yang membidik interkoneksi the parts within the whole. Kanon ini
meneguhkan adanya inter-relasi dan koherensi di antara elemen-elemen individual
objek tertentu, tentu dengan melibatkan serangkaian manifestasi pemikiran,
serta hubungan timbal-balik the whole dan its parts.
Jelasnya, ini adalah hubungan elemen-elemen antara teks itu sendiri
dengan common whole-nya yang kelak melahirkan reciprocal
illmunation(iluminasi timbal balik) dan uraian tentang konsep-konsep meaning-full dalam
keterkaitan antara the whole dan its parts
B.
Saran
Penulis
mengharap kritik dan saran pada semua pembaca agar nantinya
makalah ini bisa diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi
bahan kajian atau bahkan bisa dijadikan bahan untuk dikoreksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Asshabuni, Rawaai’ al- bayan, ( Beirut )
Bilen, Osman, The Historicity of Understanding and The Problem of
Relativism in Gadamer’s Philosophical
Hermeneutics. Washington D.C: The Council for Research in Values and
Philosophy, 2000.
Damanhuri, “Emilio Betti” dalam Hermeneutika
dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, Nafisul Atho’
(ed) ( yokyakarta : 2003)
Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar,
(Pena Salsabila, Maret 2015 )
H.M Nur Kholis
Setiawan, “Emilio Betti dan Hermeneotika Sebagai Auslegung”,
(Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga, 2011)
Listiyono santoso, Hermeneutika
Filosofis Hans- Georg Gadamer, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).
M. Fauzan Zenrif, Tafsir Fenomena
Kritis: interrelasi Fungsional teks dan Realitas, (Malang: Uin Maliki Press,
2011)
teroponginspirasi.blogspot.co.id
(diunggah pada Rabu, 01 November 2017 jam 08.10 pagi)
memeancar.blogspot.co.id (diunggah pada Rabu, 01 November
2017 jam 08.10 pagi)
[2] Damanhuri, “Emilio
Betti” dalam Hermeneutika dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis
Islamic Studies, Nafisul Atho’ (ed) ( yokyakarta : 2003) Hlm
38-39
[3] H.M Nur Kholis Setiawan,
“Emilio Betti dan Hermeneotika Sebagai Auslegung”, (Yogyakarta: Lemlit UIN
Sunan Kalijaga, 2011) H. 8-9
[4] Osman
Bilen, The Historicity of Understanding and The Problem of Relativism in
Gadamer’s Philosophical Hermeneutics
(Washington D.C.,: The Council for Research in Values and Philosophy, 2000), 91
[5] M. Fauzan Zenrif, Tafsir
Fenomena Kritis: interrelasi Fungsional teks dan Realitas, (Malang: Uin Maliki
Press, 2011), hal. 24.
Izin menggunakan 🙏
BalasHapusTerimakasih