PROFIL PENDIRI 4 MAZHAB FIQH


Nama                        : Anang Bustami
Nim                           : 11634002
Fakultas/Jurusan   : FUAD/IAT
Mata Kuliah             : Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen Pengampu   : Al Fakhri Zakirman., LC., M.A

A.    Profil Prndiri Mazhab Fiqh

1.      Imam Hanafi ( 80 H – 150 H )
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Nama beliau sejak kecil adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy. Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi ( Kabul, Afganistan ) yang sudah menetap di kota Kufah.
       Pada masa beliau dilahirkan pemerintahan islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, Raja Bani Umayyah yang ke-5.
       Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena diantara putranya ada yang bernam Hanifah. Ada lagi menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hnifah karena begitu taatnya beliau beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab حنف yang berarti condong kepada yang benar. Menurut riwayat yang lain pula, beliau diberi gelar Abu Hanifah karena begitu dekatnya dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa irak adalah tinta.
Imam Hanafi merupakan seorang Tabi’in generasi setelah sahabat Nabi saw. Karena dia pernah  bertemu dengan salah seorang sahabat yang bernama Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis darinya dan sahabat lainnya.
Adapun Imam Hanafi wafat, adalah di kota Baghdad, Irak pada tahun 148 H/ 767 M.
2.      Imam Malik bin Anas ( 93 H- 179H )
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negri Hijaz pada tahun 93 H ( 712 M ). Nama beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Ame bin Haris bin Ghaiman bib Kutail bin Amr bin Hans Al Asbahi. Kakeknya bernama Abu Amir salah seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain perang Badar.
Pada masa Imam Malik dilahirkan pemerintahan islam ditangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Malik ( dari bani Umayyah yang ke-7 ). Kemudian setelah beliau menjadi alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau tentan hukum hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin.
Beliau mempelajari ilmu pada Ulama-ulama Madinah diantara para Tabi’in, para cerdik pandai dan para ahli hukum agama. Adapun karya Imam Maliki yang terbesar adalah bukunya Al-Muwatha’ yaitu kitab Fiqh yang berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Menurut beberapa rieayat mengatakan bahwa kitab Al-Muwatha’ tersebut tidak akan ada apabila Imam Maliki tidak dipaksa oleh Khalifah Al-Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad.
 Adapun Imam Maliki wafat, yakni di kota Madinah pada tahun 179 H/ 795 M.
3.      Imam Syafi’i ( 150 H- 204 H )
Imam Syafi’i di kenal dengan salah satu imam mazhab yang empat, ia bernam lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris Abbas Ibn Utsman Ibn Syafi’i al-Muthalibi, lahir di Gza, Paleatina pada tahun 150 Hijriyah ( 767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurasy dan masih keluarga jauh Rasulullah saw. Dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf  ( kakek ke-3 Rasulullah saw.) dan dari Thalib ra. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan mekkah menuju palestin, setibanya di Gaza ayahnya jatuh sakit dan berpulang kerahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan, pada usia 2tahun ia bersama ibunya kembali ke Mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid az-Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika ia berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu maka dengan taufik Allah dan Hidayahnya dia mulai senang mempelajari fiqh setelah menjadi tokoh dalam bahasa arab dan syar’inya.
Kemudian ia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari paman nya yang bernama Muhammad bin Ali As-Syafi’i, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Unainah.
Imam Syafi’i Wafat pada malam jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan rajab tahun 204 Hijriyah atau tahun 809 Miladiyah pada usia 52 tahun.
4.      Imam Ahmad bin Hambal ( 164 H- 241H )
Imam Hambali nama lengkapnya ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal bin Hilal Addalili as-Saibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H.
Ayahnya bernama Muhammad as-Saibani sedangkan ibunya bernam Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Saibani ( wanita dari bangsa saibaniah juga ). Dari golongan terkemuka bani Amir.
Ayah beliau meninggal ketika berusia 30 tahun, dan beliau masih anak-anak pada saat itu, sebab itulah sejak kecil beliau tudak pernah diasuh ayahnya, tetapi hanya oleh ibunya.
Menurut riwayat yang mashur, Imam hambali sebenarnya lahir di kota Marwin wilayah Khurasan. Namun dikala bliau masih di dalam kandungan ibunya secara kebetulan pergi ke baghdad dan melahirkan di sana.
Kota Baghdad pada waktu itu selain merupakan kota yang besar dan ramai, juga merupakan pusat ilmu pengetahuandan merupakan tempat para terpelajar. Oleh sebab itu Imam Hambali pertama kali belajar ilmu pengetahuan agama dan alat-alatnya, kepada para guru dan para Ulama di Baghdad. Kemudian setelah berusia 16 tahun barulah beliau menuntut ilmu pengetahuan keluar kota Baghdad, seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Dari perantauan ilmiahinilah beliau mendapatkan guru hadis kenamaan seperti Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad Yahya bin Qathan. Beliau juga belajar Fiqh pada AS-Syafi’i ketika Imam Syafi’i sedang ke Baghdad.
Imam Ahmad bin Hambal mulai sakit pada malam rabu, dua hari pada bulan Rabiul awwaltahun 241 H, ia sakit selama 9 hari. Penyakitnya kian hari kian parah, pada hari kamis dan sebelum ia wafat, ia memberikan isyarat pada keluarganya agar di wudhukan dan meeka pun mewudhukannya. Ketika bewudhu, imam Ahmad sambil berzikir sambil memberikan isyarat kepada mereka agar menyela-nyela jarinya. Dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya di pagi jum’at bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul awwal 241 H, pada umur 77 tahun di kota Baghdad. Dan ia dimakamkan di pemakaman al-Harb, jenazahnya dihadiri oleh delapan ratus ribu pelayat laki-laki dan enam puluh ribu pelayar perempuan.[1]
B.     Thaharah dan Macam-macamnya
1.      Pengertian Tharah
Thaharah menurut  bahasa berarti bersuci. Menurut syara’ atau istilah adalah membersihkan diri, pakaian, tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadas menurut cara-cara yang ditentukan oleh syariat islam.
            Thaharah atau bersuci adalah syarat wajib yang harus dilakukan dalam beberapa macam ibadah. Seperti dalam QS Al-maidah ayat : 6
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”( QS. Al-maidah : 6 )
Thaharah atau bersuci menurut pembagiannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a.      Bersuci lahiriah
Beberapa contoh yang bersifat lahiriah adalah membersihkan diri, tempat tinggal dan lingkungan dari segala bentuk kotoran, hadas dan najis. Membersihkan diri dari najis adalah membersihkan badan, pakaian atau tempat yang didiami dari kotoran sampai hilang rasa, bau dan warnanya. QS Al-Muddassir ayat : 4
“dan pakaianmu bersihkanlah” (QS Al-Muddassir  : 4)
b.      Bersuci batiniah
Bersuci batiniah adalah membersihkan jiwa dari kotoran batin berupa dosa dan perbuatan maksiat seperti iri, dengki, takabur dll. Cara membersihkannya dengan taubatan nashoha yaitu memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2.      Macam-Macam Alat Thaharah    
            Allah selalu memudahkan hambanya dalam melakukan sesuatu. Untuk bersuci misalnya, kita tidak hanya bisa menggunakan air, tetapi kita juga bisa menggunakan tanah, batu, kayu dan benda-benda padat lain yang suci untuk menggantikan air jika tidak ditemukan
            Dalam bersuci menggunakan air, kita juga harus memperhatikan air yang boleh dan tidak boleh digunakan untuk bersuci.
a.      Macam-macam air
Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah
ü  Air mutlak yaitu air yang suci dan mensucikan, yaitu air : Air hujan, Air sumur, Air laut, Air sungai, Air danau/ telaga, Air salju, Air embun.
       QS Al- Anfal ayat : 11
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari pada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh denganya telapak kaki(mu)” (QS Al- Anfal : 11)
ü  Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan
Yaitu air yang halal untuk diminum tapi tidak dapat digunakan untuk bersuci seperti air teh, kopi, sirup, air kelapa dll.
ü  Air musyammas
 Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain emas dan perak. Air ini makruh digunakan untuk bersuci
ü  Air mustakmal
Yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci. Air ini tidak boleh digunakan untuk bersuci walaupun tidak berubah rasa, bau maupun warnanya
ü  Air mutanajis, Yaitu air yang sudah terkena najis. Baik yang sudah berubah rasa, warna dan baunya maupun yang tidak berubah dalam jumlah yang sedikit yaitu kurang dari dua kullah (270 liter menurut ulama kontemporer)[2]
b.      Cara-Cara Thaharah
Ada berbagai cara dalam bersuci yaitu bersuci dengan air seperti berwudhu dan mandi junub atau mandi wajib. Ada juga bersuci dengan menggunakan debu, tanah yaitu dengan bertayamum. Dan bisa juga menggunakan air,tanah,batu dan kayu (tissue atau kertas itu masuk kategori kayu) yaitu dengan beristinja.
ü  Cara-cara thaharah menurut pembagian najisnya
1.      Najis ringan  (najis mukhafafah)
Najis mukhafafah adalah najis yang berasal dari air kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun kecuali air susu ibunya saja dan umurnya kurang dari 2 tahun. Cara membersihkan najis ini cukup dengan memercikkan air kebagian yang terkena najis.
2.      Najis sedang (najis mutawassitah)
Yang termasuk kedalam golongan najis ini adalah kotoran, air kencing dsb. Cara membersihkannya cukup dengan membasuh atau menyiramnya dengan air sampai najis tersebut hilang (baik rasa, bau dan warnanya).
3.      Najis berat (najis mughalazah)
Najis berat adalah suatu materi yang kenajisannya ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qat’i) . yaitu anjing dan babi. Cara membersihkannya yaitu dengan menghilangkan barang najisnya terlebih dahulu lalu mencucinya dengan air bersih sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah atau batu.[3]
c.       Najis yang di Ma’fu
Najis ma'fu ialah najis yang diampuni, maksudnya benda itu tetap najis akan tetapi dihukumi tidak najis dikarenakan hanya sedikit, sulit dihilangkan dan lainnya.
ü  pembagian-pembagian Najis diantaranya :
1.Najis yang di ma'fu baik sedikit maupun banyaknya, baik di baju maupun di badan, yaitu : darahnya kutu loncat, kutu rambut, nyamuk, jerawat, nanah, bisul, cacar dan darah tempatnya bekam. di ma'funya najis-najis tersebut dengan 2 syarat :
a) bukan atas perbuatan diri sendiri, jadi misalnya membunuh kutu kemudian darahnya mengotori baju dan banyak darahnya maka tidak di ma'fu.
b) tidak melampaui batas dalam membiarkannya, karena manusia mempunyai kebiasaan mencuci baju, jika baju ditinggalkan tanpa dicuci selama setahun misalnya, dan dibiarkan bertumpuk-tumpuk maka tidak dima'fu.
2. Najis yang sedikitnya di ma'fu, jika banyak tidak dima'fu, yaitu : darahnya orang lain dan tanah jalanan yang diyakini najisnya.
3. Najis yang di ma'fu bekasnya dan tidak di ma'fu dzatiyahnya, yaitu : bekas istinja' dan sisa bau atau warna najis yang sulit hilangnya. 
4. Najis yang tidak dima'fu dztiyah dan bekasnya. yaitu selain najis2 yg disebut diatas. 
ü  Pembagian-pembagian  najis yang di ma'fu : 
a.)najis yang di ma'fu di air dan baju. yaitu : najis yang tidak terlihat pandangan mata, debu najis yang kering , sedikit asap, rambut, mulutnya kucing dan bayi yang semisal air adalah benda cair, dan yang semisal baju adalah badan.
b.)najis yang di ma'fu di air dan benda cair tapi tidak di ma'fu dibaju dan badan,
yaitu : bangkai hewan yang tidak mempunyai darah mengalir, lobang kotoran burung, kotoran ikan, dan cacing yang muncul dalam benda cair. 
c.)sebailknya kedua, dima'fu di baju dan badan tapi tidak di ma'fu di air dan benda cair, yaitu : darah sedikit, tanah jalanan, ulat sutera jika mati didalamnya.maka tdk wajib membasuhnya sebagaimana penjelasan al hamawy , sedangkan penjelasan qodhi husain sebaliknya.

d.)najis yang di ma'fu pada tempat saja. yaitu : kotoran burung di masjid-masjid dan tempat towaf, dan di samakan dengannya yaitu sesuatu yang berada dalam perut ikan yang kecil.[4]
C. Ushul Fiqh dan Sejarah Ushul Fiqh
1. Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh,  dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :
اصل وجوب الزكاة الكتاب اي الد ليل على وجوبهاالكتاب قال الله تعالى --- واتواالزكاة---
Artinya:                  
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
اباحةالميتة  للمضطرخلاف الاصل اي مخالف للقاعدة ا لكلية وهي كل ميتة حرام قال تعالى حرمت عليكم الميتة ---
Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :
العلم بالاحكام الشرعية العملية من اد لتها التفصيلية
Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:
العلم بالقواعدوالبحوث التي يتوصل بهاالى استفادة الاحكام الشرعية العملية من ادلتهاالتفصيلية
Artinya:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.
---- واقمواالصلوة ---
Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :
ان الله ورسوله حرم بيع الخمر (رواه لبخاري و مسلم عن جابربن عبدلله)
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
العلم بالقواعدوالبحوث التي يتوصل بهاالى استفادة الاحكام الشرعية العملية من ادلتهاالتفصيلية
Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :
العلم با لقوعدالتى ترسم المناهج لاستنباط الاحكام العملية من ادلتهاا لتفصيلية
Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :
مجمموعة القواعدالتى تبين للفقيه طرق استخراج الاحكام من الادلة الشرعية
Artinya:
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
2. Sejarah Ushul Fiqh
Di masa Rasulullah     saw. Umat islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum Syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw. Lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunah beliau.
Para sahabat ra menyaksikan dan berineraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunah Rasulullah saw. Disamping itu mereka adalah para ahli bahasa dan memiliki kecerdasan berfikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw merekapun tidak memerlukan perangkat atau teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan disaat memerlukannya.
Setelah meluasnya  futuhat islamiyah, umat islam arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbedabahasa dan latar belakang peradabannya. Hal ini menyebabakan melemahnya kemampuan berbahasa arab dikalangan sebagian umat, terutama di irak. Di sisi lain kebutuhan aa\kan ijtihad begiti mendesak karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasa hukum fiqhnya.
Dalam studi ini muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka alam berijtihad.
ü  Madrasah ahli ra’yi di Irak, dengan pusatnya di Basrah dan di Kufah
ü  Madrasah ahli hadis di Hijaz, dan berpusat di Makkah dan Madinah
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadis atau Qiyas dalam berijtihad. madrasah ahli ra'yi lebih ’anyak menggunakan Qiyas (analogi) dalam berijtidah, hal ini disebabkan oleh:
1.      Sedikitnya jumlah hadis yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadis yang mereka lakukan.
2.      Mereka mencontoh guru mereka yaitu Abdullah bin Mas’udyang banyak menggunakan Qiyas dalam berijtihad.
Sedangkan madrasah ahli hadis lebih berhati-hati dalam berfatwadengan Qiyas,karena situasi yangmereka hadapi berbeda, situasi itu adalah :
1.      Banyaknya hadis yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
2.      Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdulla bin Umar ra, dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash, yang sangat berhati-hatimenggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit sehingga membuat para ulamamerasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan masalah ini. Diantara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-ImamAbdurrahman bin Mahdi rahimullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al-Imam Asy-Syafi’i ra (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Al-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam Ushul Fiqh, sehingga Al-Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Dapat disimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu fiqh ini :
1.      Adanya perdebatan sengit antara madrasah irak dengan madrasah hijaz.
2.      Mulai melemahnya kemampuan bahasa arab di sebagian umat islam, akibat interaksi dengan bangsa lain terutama persia.
3.      Munculnya banyak permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Selain Al-Risalah ada beberapa karya ulama dalam ilmu ushul fiqh, diantaranya :
1.      Khabar al-Wahid, Itsbat al-Qiyas dan Ijtihad ar-Ra’yi. Ketiganya karya Isa bin Abag bin Shadaqagal-Hanafi (wafat tahun 221 H)
2.      An-Nasikh wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)
3.      Al-Mu’tamad karya Abul Husain Muhammad bin Ali al-Basri a—Mu’tazili asy-Syafi’i (wafat tahun 436 H)
4.      Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdul al-Juwaini/immamul haramain (410-478 H)
5.      Al-Mustasfakarya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H)
6.      Irsyadul Fuhul ila Thqiq Ilm al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (w. 1255 H).[5]
D.Macam macam Air
1.Air Mutlak
ü  Air mutlak yaitu air yang suci dan mensucikan, yaitu air : Air hujan, Air sumur, Air laut, Air sungai, Air danau/ telaga, Air salju, Air embun.
       QS Al- Anfal ayat : 11
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari pada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh denganya telapak kaki(mu)” (QS Al- Anfal : 11)
2.Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan
Yaitu air yang halal untuk diminum tapi tidak dapat digunakan untuk bersuci seperti air teh, kopi, sirup, air kelapa dll.
3.Air musyammas
Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain emas dan perak. Air ini makruh digunakan untuk bersuci
4.Air mustakmal
Yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci. Perbedaan pendapat (khilafiyah) dikalangan ulama terjadi saat menentukan apakah air mustakmal itu sucidan mensucikan atau kali suci tapi tidakmensucikan (muthohhir). Perbedaan ini terjadi dikarenakan sudut pandang yang berbeda-beda mengenai dalil yang ada dan dalil tersebut juga sama-sama shahih. Jadi tidak perlu diperdebatkan dan di peruncing masalah perbedaan, yang terpenting sekarang adalah menyikapi perbedaan yang ada dengansikap yang arif seperti para imam mazhab yang muktabar terdahulu menyikapi perbedaan pendapat diantara meeka.
Perbedaan pendapat (khilafiyah) mengenai masalah air mustakmal adalah  sbagai berikut :
a). Pendapat yang mengatakanair mustakmal adalah suci tapi tidak mensucikan. Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
“dari seorang sahabat nabi saw ia berkata: bahwa Rasulullah saw melarang wanita (istri) mandi dengai air bekas laki-laki (suami) atau laki-laki mandi dengan air bekas mandi wanita, dah hendaknya mereka menciduk air bersama-sama.” (dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i dan sanad-sanad Shahih)
Dalil diatas dengan jelas mengambarkan bahwa air bekas digunakan dilarang untuk digunakan bersuci.
b). Pendapat yang mengatakan air mustakmal adalah suci dan mensucikan. Dalil yang digunakan oleh ulama memegang pendapat ini adalah :
“dari Ibnu Abbas ra. Nabi saw pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah ra.”(HR. Muslim No. 323)
Oleh Ashabus Sunan sebagian istri-istri nabi saw (Maimunah) mandi didalam bak lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya, lalu maimunah berkata ”saya sedang junub” lalu beliau bersabda “sesungguhnya air tidak tercemar oleh junub”. Hadis tersebut menerangkan tentang bolehnya menggunakan air mustakmal untuk bersuci.
5.Air mutanajis
Yaitu air yang sudah terkena najis. Baik yang sudah berubah rasa, warna dan baunya maupun yang tidak berubah dalam jumlah yang sedikit yaitu kurang dari dua kullah (270 liter menurut ulama kontemporer)
Ada dua pendapat yang berhubungan denganair yang tercampur dengan najis :
a). Pendapat yang mengatakan air menjadi najiis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walau tidak berubah bau, rasa, dan warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh imam Syafi’i, imamHanafi , dan imam Hambali.
Adapun sedikitnya air menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang yang kurang dua kullah, sesuai hadis:
“dari Abdullah bin Umar ra, ia berkatabahea Rasulullah saw bersabda : jika air mencapai dua kullah maka air tersebut tidak mengandung kotoran (najis). Dalam lafadz lain “air tersebut tidak ternajisi”(dikeluarkan oleh imam yang empat di shahihkan oleh ibnu khuzaimah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban).
b). Pendapat yang mengatakan bahwa jika air tidak berubah bau, rasa, dan warnanya maka air tersebut tidak najis. Ini adalah pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musaiyab, Ikrimah, Ibnu abi laila, Tsuri, Daud az-Zhairi Nakhai, Malik dan lain lain.
Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi saw : “ seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang orang pun semua berdiri untuk menangkapnya maka besabdalah Nabi saw “biarlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air, kamudibangkitkan adalah untuk memberi kemudahan bukan untuk menyukarkan”(HR. Jamaah, kecuali Muslim).
E. Hukum Syara’
            Hukum Syara’ ialah ketentuan Allah yang mengatur amal perbuatan mukallaf baik berupa igtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan) takhyir (pilihan untukmelakukan dan tidak melakukan) atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan mani/penghalang).
1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah ketentuan syara yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh seorangmukallaf atau untuk di tinggalkan atau untuk memilih agar dikerjakan dan di tinggalkan.
Ini terbagi menjadi Empat, yaitu :
ü  Wajib, yaitu ketentuan Syara’ yang menuntut agar melakukansuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
ü  Sunnah, yaitu ketentuan Syara’ yang menuntut agar melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan.
ü  Haram, yaitu ketentuan Syara’ yang menuntut agar meninggalak nsuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
ü  Makruh, yaitu ketentuan Syara’ yang menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan.
Adapun takhyir menimbulkan hukum mubah, yaitu ketentuan Syara’ yang mengandung hakpilihan bagi seorang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalakan.
2.      Hukum Wdh’i
Hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallafdengan menjadikan suatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang) bagi suatuyang lain.
a). Sebab, menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, sebab berarti :
ماجعله الشرع معرفا لحكم شرعي بحيث يوجد هذا لحكم عند وجود هو ينعدم عند عدمه
“sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagaui tanda bagi tidak adanya hukum”
Dengan demikian, sebab adalah sesuatu yang dijadikan pokok panggal gagi adanya suatu musabbab hukum. Artinya dengan adanya sebab terwujudlah hukumdan tidak adanya sebab tidak terwujud hukum.
b). Syarat, menurut bahasa “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda”. Menurut istilah Abdul Karim Zaidan mendefinisikan Syarat sebagai berikut :
ما يتوقف وجود الشيء على وجود وكان خارجا عن حقيقته  ولا  يلزم من عدمه عدم ذلك الشيء
“sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”
Dengan arti bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyrut, sehingga tidaklah mesti adanya syarat itu ada masyrut.
c). Mani’ , secara bahasa berarti “penghalang dari sesuatu”. Menurut istilah, Abdul Karim Zaidan mendefinisikan mani’ sebagai berikut :
ما رتب الشارع على وجوده عدم وجود الحكم او عدم السبب اي بطلانه
“Sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”.[6]
F. Wudhu, Mandi, dan Tayamum
1. Wudhu Dan Permasalahannya
            Salah satu cara menghilangkan hadas kecil adalah berwudhu. Wudhu adalah membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah swt :
يايهاالذينءامنوا اذاقمتم الى الصلوة فاغسلواوجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوابرءسكم وارجلكم الى الكعبين
“Hai orang-orang yang beriman, apabila hendak menegakkan sholat, maka basuhlah wajahmu, kemudian kedua tangaanmu sampai kesiku, dan usaplah kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki”(QS. Al-Maidah : 6)
a). Rukun wudhu
Menurut Al-Jaziri ( 2004 : 52-59)ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan tukun wudhu berdasarkan ayat di atas.
ü  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukunwudhu ada 4 yaitu : membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
ü  Ulama Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudhu tidak sesingkat itu, mereka mengatakan rukun wudhu ada 7 yaitu : niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki, muwalat (segera jangan sampai kering), dan menyela-nyela anggota wudhu seperti kuku dan rambut.
ü  Ulama Hanabilah tidak memasukkan niat dalam rukun wudhu sehingga menjadi 6 yaitu : membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki, muwalat, dan tertib.
ü  Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun wudhu ada 6 yaitu : niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan tertib.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kalimat وامسحوابرءوسكم  , adalah menyapuseluruh kepala, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup menyapu sebagian kepala.
Dalam hadis-hadis Rasulullah saw yang menceritakan kaifiyat wudhu ada beberapa lafal yang menggunakan “wasaha ru’sahu” dan “masaha bi ra’shi”. Walau demikian ulama Syafi’iyah menghukumi membasuh seluruh kepala dengan sunnah, dan tetap menganggap sah dengan mengusap bagian kepalasepertiga, atau seper empat dari kepala.
b). Sunnah sunnah wudhu
ü  Membaca basmallah
ü  Bersiwak
ü  Membasuh kedua tangan
ü  Berkumur kumur dan memasukkan air kedalam hidung
ü  Mendahulikan yang sebelah kanan
ü  Menyela nyela anggota wudhu seperti jenggot dan kuku
ü  Membasuh tiga kali
ü  Muwalat
ü  Menyapu kedua telinga
ü  Menggosok gosok anggota wudhu ketika membasuhnya
ü  Berdoa setelah wudhu
c). Perkara yang membatalkan wudhu
ü  Sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur
ü  Tidur nyenyak sehingga tidak sadar
ü  Hilang akal
ü  Menyentuh kemaluan tanpa alas
d). Perkara yang sering dianggap membatalkan wudhu
ü  Keluar darah tidak melalui kedua jalan (dubur dan kubul)
ü  Memandikan mayit
ü  Menyentuh istri tanpa pembatas atau penghalang
e). Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudhu
ü  Hendak melaksanakan sholat, sholat apapun bentuknya
ü  Thawaf di baitullah
ü  Menyentuh mushaf Al-Qur’an[7]
2.Mandi Dan Permasalahannya
            Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan untuk menghilangkan hadas besar seprti keluar mani, setelah jimak, dan keluar darah haid/nifas.berdasarkan firman Allah swt :
وان كنتم جنبا فاطهروا
“dan jika kamu junub maka mandilah”(QS. Al-Maidah : 6)
Dan juga terdapat didalam QS. Al-Baqarah ayat 222.
a). Perkara yang mewajibkan mandi
ü  Keluarnya mani disertai syahwat baik sewaktu tidur maupun bangun
ü  Hubungan kelamin
ü  Haid/nifas jika sudah berhenti
ü  Mati (meninggal dunia)
ü  Orang kafir ketika sudah masuk islam (muallaf)
b). Fardhu dan rukun mandi
            menurut Al-Jaziri (2004: 100-102) para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menentukan rukun mandi.
ü  Ulama Hanafiyah menetapkan ada tiga rukun mandi yait u : berkukur kumur, memasukkan air ke hidung, membasuh seluruh badan dengan air.
ü  Ulama Malikiyah menyatakan pendapat bahwa rukun mandi ada lima yaitu : niat, meratakan badan dengan air, muwalat, menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan menyela nyela anggota badan seperti rambut.
ü  Ulama Syafi’iyah menyatakan ada dua rukun mandi, yaitu : niat, dan meratakan seluruh anggota badan dengan air.
ü  Ulama Hanabilah berpendapat bahwa fardhu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air, termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
c). Sunnah sunnah mandi
ü  Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali
ü  Membasuh kemaluan
ü  Berwudhusecara sempurna
ü  Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali
ü  Mengalirkan air ke seluruh tubuh, di mulai dari sebelah kanan
d). Pendapat ulama mazhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang berjunub
menurut mayoritas ulama, seseorang yang berhadas besar diharamkan sholat, thawaf di sekitar ka’bah, memegang dan membawa mushaf Al-Qur’an, kecuali dalam keadaan darurat dengan tujuan untuk menyelamatkannya dan mengembalikan ke tempat semula setelah terjatuh. Namun Al-Jaziri mengungkapkan perbedaan pendapat para ulama mazhab berkaitan dengan membaca A;qur’an dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadas besar.
Pada intinya pendapat ulama mazhab ialah untuk menjaga kesucian kitab suci Al-Qur’an dan masjid (tempat ibadah). Sehingga orang yang berjunub tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dan berdiam diri di masjid.
e). Permasalahan mandi wajib
ü  Seseorang yang telah melakukan mandi wajib tidak perlu berwudhu lagi sesudahnya
ü  Cukup mandi satu kali saja yang meliputi mandi janabat, itu semua ketika mulai mandinya (jika hari raya dan junubnya di hari jum’at)
ü  Tidak ada larangan bila seorang yang junub atau wanita yang haid untuk memotong kuku, menghilangkan bulu, rambut, atau keluar rumah.[8]
3.Tayamum dan permasalahannya
            Tayamum menurut bahasa adalah Al-Qashad (bermaksud) sebagaimana firman Allah dalam QS, Al-Baqarah 267
ولا تيمموا الخبث منه تنفقون
“Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infaqkan”(QS. Al-Baqarah : 267)
Sedangkan secara istilah adalah menyapu wajah dengan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang tertentu. Firman Allah swt yang artinya : dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”( QS. Al-maidah : 6 )
a). Sebab sebab tayamum
ü  Tidak ada air sama sekali, atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai buat bersuci
ü  Jika seseorang mempunyai luka atau sakit
ü  Jika air sedikit sekali dan juga air itu diperlukan. Contoh untuk minum dirinya sendiri dan lainnya.
b). Rukun rukun tayamum
ü  Niat
ü  Menggunakan debu yang suci
ü  Menyapu seluruh wajah
ü  Menyapu kedua tangan sampai siku[9]
Menurut Sayid Sabiq (140) tayamum sama dengan wudhu, tidak di syaratkan masuknya waktu, sertabagi orang yang telah bertayamum boleh melakukan beberapa sholat, baik fardhu maupun sunnah. Adapun tayamum menjadi batal yakni sama dengan hal yang bisa membatalkan wudhu, begitupun ia batal jika menemukan air.


[1] Diambil dari buku “Perbandingan Mazhab” karangan M. Ali Hasan
[2] Dikutip dari Kitab “Fathul Qorib Mujib”
[3] Dikutip dari Kitab “Fathul Qorib Mujib”

[5] didalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” karangan Dr. Hasbiyallah, M.Ag. hal. 1-8
[6] didalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” karangan Dr. Hasbiyallah, M.Ag. hal. 29-39

[7] didalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” karangan Dr. Hasbiyallah, M.Ag. hal. 153-162


[8] didalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” karangan Dr. Hasbiyallah, M.Ag. hal. 163-168
[9] didalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” karangan Dr. Hasbiyallah, M.Ag. hal. 169-172

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR