ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DALAM AL-QURAN
TAFSIR
AHKAM ( IBADAH, MUAMALAH, DAN MUNAKAHAT)
“Orang
orang yang berhak menerima zakat ( QS. At-Taubah : 60 )”
Anang Bustami
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilaksanakan oleh seorang muslim sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah
memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat
atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan
niaga), atau saat hasil pertanian telah tiba.
Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaan
kaum dhu’afa, fakir miskin, atau melipur orang-orang yang sengsara, dan
membantu orangorang yang sangat membutuhkan pertolongan. Di samping itu
pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak timbul ketegangan atau
gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering terjadi di antara orang-orang
kaya dengan orang-orang miskin. Zakat adalah
ibadah yang memiliki dua dimensi:
vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai
kewajiban kepada sesama manusia.
Berkenaan dengan zakat, Ayat
60 surat at-Taubah menjelaskan tentang
implementasi zakat dalam Islam, Melalui
makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan zakat yang
didasarkan pada ayat al-Qur'an tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana terjemah surat At-Taubah ayat 60?
2. Bagaimana asbab
An-Nuzul ayat tersebut?
3. Bagaimana penafsiran
dan Sarah ayat tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS. At-Taubah ayat
60
“Sesungguhnya zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan
hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang
berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di
dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”( QS. At-Taubah : 60)[1]
B. Asbab an-Nuzul QS. At-Taubah ayat 60
Ayat ini turun ketika orang-orang
munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah saw. tentang pembagian zakat ,
kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah lah yang mengatur pembagian zakat
tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada
campur tangan Rasulullah saw. Allah membaginya hanya untuk mereka yang
disebutkan dalam ayat tersebut.
Ayat yang lalu
mengambarkan bahwa ada yang keberatan tentang pembagian Nabi saw. Sambil
berkata bahwa beliau tidak adil karena membagikan kepada para pengembala dan
lain-lain. Nah, ayat ini membenarkan sikap Nabi itu, sambil menjelaskan bahwa, sesungguhnya
zakat-zakat bukan untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah
di bagikan untuk orang-orang fakir,
orang –orang miskin, pengelola-pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat,
mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membagiakannya, dan di
berikan juga kepada, mu’allaf, yakni orang-orang yang di bujuk hatinya serta
untuk membebaskan para hamba sahaya, dan orang-orang yang berhutang bukan
dalam kedurhakaan kepada Allah, dan di salurkan juga pada sabilillah
dan orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan.
Semua itu sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha mengetahui
siapa yang wajar menerima. Dan dia maha Bijaksana dalam menetapkam
ketentuan-ketentuannya.[2]
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui
hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am
yang berpredikat agak daif dan Ziyad ibnu Na'im, dari Ziyad ibnul Haris
As-Sadai r.a. yang menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw., lalu ia
berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadanya. Kemudian datanglah seorang
lelaki. dan lelaki itu berkata kepada Nabi Saw., "Berilah saya sebagian
dari zakat itu." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
إنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ فِي
الصَّدَقَاتِ حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ، فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَصْنَافٍ،
فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ
“Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun,
tidak pula orang lain dalam masalah zakat-zakat itu, melainkan Dia sendirilah
yang memutuskannya. Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika
engkau termasuk di antara delapan golongan itu, maka aku akan memberimu”.
C. Tafsir Ayat perkata dan Syarahnya.
ü إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ maksud dari ayat ini adalah
zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan
kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.
Para ulama’ berbeda
pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus
meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua
pendapat :
- Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.
- Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan
kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang
berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.[3]
Ibnu
Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh
kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam
ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya saja, bukan
wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai alasan dan dalil
masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di dalam kitab
lain.
ü Para Mastahiq Zakat
·
Pertama dan kedua, لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين
Pada dasarnya kedua
keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan
dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih
dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan
beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin.
Imam Abu Ja’far berkata
: Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin.
Para ulama’ berselisih
pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
- Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
- Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.[4]
- Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.[5]
- Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
- Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[6]
- Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa fakir adalah yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh dari ahl Al-Kitab ( yahudi dan nasrani).
Betapapun di temukan aneka pendapat, namun yang jelas, fakir dan miskin keduanya membutuhkan
bantuan karena penghasilan mereka baik ada maupun tidak, baik meminta sehingga
menghilangkan air mukanya maupun menyembunyikan kebutuhan. Keduanya tidak
memilik kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.[7]
Sesungguhnya kaum fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat
ini daripada golongan yang lain, karena mereka lebih memerlukannya ketimbang
golongan lain, menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan
keperluan mereka yang sangat mendesak.
Menurut
Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya daripada orang fakir.
Pendapatnya ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad yang
menceritakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan. '"Orang fakir bukan orang
yang tidak mempunyai harta, tetapi orang yang miskin akhlak dan pekerjaan
(usaha)." Ibnu Ulayyah mengatakan.”'Menurut kami, istilah akhlak artinya
pekerjaan, sedangkan menurut jumhur ulama kebalikannya."
Telah
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibnu Zaid; serta
dipilih oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa orang
fakir ialah orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta dia tidak
pernah meminta sesuatu pun dari orang lain. Sedangkan orang miskin ialah orang
yang meminta-minta, berkeliling mengemis dan mengikuti orang-orang untuk
meminta darinya.
Qatadah
mengatakan. orang fakir ialah orang yang berpenyakit menahun, sedangkan orang
miskin ialah orang (yang tidak punya, tetapi) tubuhnya sehat.
As-Sauri
telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan fuqara
dalam ayat ini ialah kaum fuqara Muhajirin.
Sufyan
As-Sauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang Arab Badui tidak
boleh diberi sesuatu pun dari harta zakat itu. Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Sa'id ibnu Jubair dan Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza.
Ikrimah
mengatakan. ''Janganlah kalian katakan kepada orang-orang muslim yang tidak
punya bahwa mereka adalah orang-orang miskin. Sesungguhnya orang-orang miskin
itu hanyalah kaum Ahli Kitab."
Berikut
ini kami sebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut.
Mengenai
orang-orang fakir diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda."
"لَا
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّة سَويّ"
Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi
orang yang kuat lagi bermata pencaharian.
Hadis
ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi. Imam Ahmad,
Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu
Hurairah.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ: أَنَّ
رَجُلَيْنِ أَخْبَرَاهُ: أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْأَلَانِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَلَّبَ إِلَيْهِمَا الْبَصَرَ،
فَرَآهُمَا جَلْدين، فَقَالَ: "إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ
فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
Dari Ubaidillah ibnu Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang
lelaki pernah menceritakan kepadanya; keduanya pernah datang kepada Nabi Saw.
meminta bagian harta zakat. Maka Nabi Saw. memandang tajam kepada keduanya, dan
Nabi Saw. menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi Saw.
bersabda: Jika kamu berdua menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua;
tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula
bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian).
Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai dengan
sanad yang jayyid lagi kuat.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarh Wat Ta'dil mengatakan bahwa
Abu Bakar Al-Absi mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. membacakan
firman-Nya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir.
(At-Taubah: 60) Lalu ia berkata bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Umar ibnu Nafi
meriwayatkannya dari dia, bahwa ia telah mendengar ayahnya mengatakan hal
tersebut.
Pendapat
ini sangat aneh, sekalipun sanadnya dianggap sahih; karena sesungguhnya Abu
Bakar Al-Absi ini sekalipun Abu Hatim
tidak me-nas-kan predikat majhul (misteri)nya (tetapi) kedudukannya sama dengan
orang yang majhul.
Adapun
mengenai orang-orang miskin, hadisnya disebutkan melalui Abu Hurairah r.a.,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى
النَّاسِ، فتردُّه اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ". قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"الَّذِي لَا يجدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَن لَهُ فَيُتَصَدَّقُ
عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسُ شَيْئًا
“Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling
meminta-minta kepada orang lain, lalu ia pergi setelah diberi sesuap atau dua
suap makanan. dan setelah diberi sebiji atau dua biji buah kurma. Mereka (para
sahabat) bertanya, "Lalu siapakah orang yang miskin itu, wahai Rasulullah?"
Nabi Saw. bersabda: Orang yang tidak menemukan kecukupan yang menjamin
kehidupannya; dan keadaannya tidak dikenal, hingga sulit untuk diberi sedekah;
dan ia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain”.
·
Ketiga, الْعَامِلِين
Masharif zakat
yang ketiga adalah amil zakat,
yaitu orang bertugas mengelola atau
mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian
membagikannya kepada orang yang berhak pula.[8]
Adapun orang-orang yang menjadi pengurus zakat atau amilin,
maka mereka adalah orang-orang yang ditugaskan
menagih zakat dan
mengumpulkannya: mereka mendapat hak dari sebagian zakat. Tetapi para 'amilin
itu tidak boleh dari kalangan kerabat Rasulullah Saw. Yang haram
memakan harta zakat.
karena berdasarkan apa yang
disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Abdul Muttalib ibnu
Rabi'ah ibnul Haris yang
mengatakan bahwa ia pergi bersama Al-Fadl
ibnu Abbas menghadap Rasulullah Saw. untuk menawarkan dirinya menjadi
amil zakat. Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ
الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ، إِنَّمَا هِيَ
أَوْسَاخُ النَّاسِ"
Sesungguhnya
zakat itu tidak halal bagi Muhammad, tidak pula bagi keluarga Muhammad.
Sesungguhnya zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.[9]
Para ulama’ berselisih
pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :
- Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
- Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya.
Adapun pendapat yang
paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul
Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai
dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
·
Keempat, الْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ
Yaitu orang-orang yang
perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya
kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat
supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya.[10] Diantara
mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah saw adalah Sufyan bin
Harb, Uyainah bin Badr dan Aqra’ bin
Habis.[11]
Mereka ada tiga
golongan :
- Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
- Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
- Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.[12]
Ada sekian macam yang dapat di tampung oleh klompok ini. Garis besarnya
dapat di bagi dua. Pertama orang kafir, dan yang kedua adalah orang muslim.
Yang pertama itu di bagi menjadi dua yaitu yang memiliki kecendrungan memeluk
islam, maka mereka dibantu, dan yang kedua mereka yang di khawatirkan
gangguannya terhadap islam dan umatnya. Keduanya tidak diberi dari zakat, tetapi
dari harta rampasan.
Adapun yang muslim, maka mereka terdiri dari sekian macam. Pertama mereka
yang belum mantap imannya dan diharapkan apabila di beri akan menjadi lebih
mantap. Kedua mereka yang mempunyai kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dan
diharapkan dengan memberinya akan berdampak positif terhadap yang lain. Buat
kedua macam ini ulama berbeda pendapat. Ada yang setuju memberi mereka dari
zakat, ada juga yang tidak setuju, dan ada lagi pendapat ketiga yang setuju
memberinya tetapi bukan dari sumber zakat. Ketiga, mereka yang diberi dengan
harapan berjihad melawan para pendurhaka atau melawan para pembangkang zakat.
Macam ketiga ini ada yang menetapkan bahwa merekaberhak untuk memperoleh
imbalan, hanya saja sekali lagi para ulama berbeda pendapat tentang sumbernya,
apakah dari zakat atau khumus, atau dari sumber lain.
·
Kelima, الرِّقَابِ
Yaitu budak-budak yang
sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari
majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan
dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar
an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu
Zaid bahwa yang
dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib”
yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.
Kata ( الرقا ب ) adalah
bentuk jamak dari kata ( رقبه ) yang pada mulanya berarti leher. Makna ini berkembang
sehingga bermakna hamba sahaya karena tidak jarang hamba sahayaberasal dari
tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya
ke leher mereka.
Sementara ulama
terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam
proses memerdekakan dirinya atau yang diistilahkan dengan mukatib. Ini
antara lain adalah pendapat imam Syafi’i. Adapun imam Malik maka menurutnya
yang dalam proses memerdekakan diri tidak diberikan lagibagian ini, di bagian al-gharimin,
yakni orang-orangyang dililit hutang. Bagian fi-riqab menurutnya
diberikan untuk memerdekakan hamba sahaya kemudian memerdekakannya. Mazhab Abu
Hanifah membenarkan untuk memberi kedua jenis hamba itu, apa saja menurutnya,
bagian ini tidak diberikan untuk memerdekakan mereka secara utuh, tetapi
sekedar sebagai bantuan untuk tujuan tersebut. Karena kata fi-riqab menurutnya
mengandung makna “sebagian”.[13]
·
Keenam, الْغَارِمين
Kata ( الغارمين ) al-gharimin adalah bentuk jamak dari kata ( الغارم ) gharim yakni “yang berhutang”. Yaitu orang yang terlilit
utang dan tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki
kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Jika iatidak memiliki maka
ia termasuk kedalam kelompok fakir miskin. Tentu saja yang berhak menerima
dalam bagian ini, bukanlah mereka yang berfoya-foya apa lagi menggunakannya
untuk kedurhakaan. Ketetapanhukum
menyangkut al-gharimin ini merupakan rahmat dan bantuan baik untuk yang
berhutang maupun yang memberinya, yakni baik untuk debitor maupun kreditor,.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal membenarkan juga memberi ganti dari
zakat agi siapa yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau untuk
kepentingan umum.
Ulama berbeda pendapat
tentang yang wafat dan yang meninggalkan hutang, apakah dapat diambilkan dari
bagian al-gharimin atau tidak. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan, bahkan
beliau mensyaratkan pemberian bantuan dari zakat bagi yang berhutang hanyalah
siapa yang terancam di penjara bila tidak membayar hutangnya. Ulama lain
membolehkan bagi siapa yang telah wafat untuk dibayarkan hutangnya dari uang
zakat, jika ia tidakmeninggalkan harta warisan.[14]
Mujahid berkata, “Al-Gharimin
ialah orang yang
terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk
membangun kembali rumahnya.” Wajib
bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.[15]
Dalam keadaan ini ada
dua golongan :
- Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
- Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[16]
- Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
Dalil asal dalam bab ini ialah hadis Qubaisah ibnu Mukhariq Al-Hilali yang menceritakan bahwa ia menanggung
suatu tanggungan utang, lalu ia datang menghadap Rasulullah
Saw. Untuk meminta sebagian dari harta
zakat guna melunasinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَقِمْ
حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا". قَالَ: ثُمَّ
قَالَ: "يَا قَبِيصة، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تحمَّل حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكَ. وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ،
فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ: أَوْ قَالَ:
سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ
مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ، فَيَقُولُونَ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا
فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ، حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ
قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ سُحْتٌ،
يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
“Tinggallah kamu hingga harta zakat datang kepada kita, maka akan
kami perintahkan untuk memberikan sebagiannya kepadamu. Selanjutnya Rasulullah
Saw. bersabda: Hai Qubaisah, sesungguhnya meminta itu tidak halal kecuali bagi
salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu bagi seorang lelaki yang
menanggung suatu tanggungan utang, maka dihalalkan baginya meminta hingga ia
dapat melunasinya, kemudian menahan diri dari meminta-minta. Dan seorang lelaki
yang tertimpa suatu musibah hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya
meminta-minta hingga ia memperoleh pegangan bagi kehidupannya, atau kecukupan
bagi kehidupannya. Dan seorang lelaki yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga
orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat dalam kaumnya mengatakan bahwa
sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya meminta-minta
hingga beroleh pegangan kehidupan atau kecukupan bagi penghidupannya. Adapun
meminta-minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan
barang haram yang dimakan oleh pelakunya”. Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Dari Abu Sa'id,
disebutkan bahwa di
masa Rasulullah Saw. pernah ada
seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah, karena buah-buahan yang dibelinya
busuk semua, hingga ia berutang banyak. Maka Nabi Saw. bersabda,
تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ". فَتَصَدَّقَ النَّاسُ فَلَمْ يَبْلُغْ
ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِغُرَمَائِهِ: "خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ، وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِك
"Bersedekahlah
kalian untuknya." Maka orang-orang (para sahabat) memberikan sedekah mereka
kepadanya, tetapi hal tersebut masih juga belum dapat melunasi utangnya. Lalu
Nabi Saw. bersabda kepada para pemilik piutangnya: Ambillah apa yang kalian
jumpai, dan tidak ada lagi bagi kalian kecuali hanya itu (Riwayat Muslim).[17]
·
Ketujuh, وَفِي سَبِيلِ اللَّه
Kata (وَفِي سَبِيلِ اللَّه ) dipahami oleh mayoritas ulama dalam arti para pejuang yang
terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung maupuntidak. Termasuk
pula didalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng dan lain-lain yang
berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
zaman. Ada pula yang berpendapat bahwa yang termasuk pula dalam kelompok ini
jamaah haji atau umroh.
Para ulama’ berselisih
pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut
:
- Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
- Muhammad, “Orang yang berhaji.”
- Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
- Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu ‘alam bi Shawab.[18]
Kini sekian banya ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua
kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisai-organisai
islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, dan
lain-lain dengan alasan bahwa kata (سَبِيلِ اللَّه ) dari segi kebahasaan mencakup segala aktifitas yang mengantar
menuju jalan dan keridhaan Allah. “ini adalah pintu yang sangat luas mencakup
semua kemaslahatan umum”. Demikian tulis Sayyid Quthub dalam tafsirnya.[19]
·
Kedelapan, وَاِبْنِ السَّبِيلِ
Adapun (وَاِبْنِ السَّبِيلِ ) ibnu as-sabil yang
secara harfiah berarti anak jalanan, maka para ulama terdahulu memahaminya
dalam arti siapa pun yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan,
walaupun dia kaya di negri asalnya. Sementara sementara ulama tidak memasukkan
dalam kelompok ini siapa diantara mereka yang kehabisan bekal tetapi dapat
berhutang. Tetapipendapat ini tidak didukung oleh banyak ulama. Mengapa dia
harus mengandalkan manusia, kalauAllah telah menjaminnya? Begitu tulis
al-Qurthubimembantah pendapat tersebut.adapun anak jalanan dalam pengertian
anak-anak yang berada di jalan dantidak memiliki rumah tempat tinggal sehingga
hampir sepanjang hari berada di jalan, maka mereka tidak termasuk dalam
kelompok ini. Mereka berhak mendapat zakat dari bagian fakir dan miskin.[20]
Jadi, ibnu as-sabil
Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai
pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang
mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak
memiliki bekal, maka ia diberi dari
bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak
diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.[21]
Dalil
yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata
ibnu Yazar, dari Abu Sa'id r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: الْعَامِلِ
عَلَيْهَا، أَوْ رَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ غَارِمٍ، أَوْ غَازٍ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ مِسْكِينٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ
“Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan kecuali lima macam
orang, yaitu orang yang mengurusi zakat. atau seorang lelaki yang membelinya
dari hartanya, atau orang yang berutang, atau orang yang berperang di jalan
Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dari harta zakat, lalu ia
menghadiahkannya kepada orang yang kaya”.
Kedua
Sufyan telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam. dari Ata secara mursal.
Menurut
riwayat Imam Abu Daud dari Atiyyah Al-Aufi. dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ،
أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ فيُهدي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ"
“Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang
berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang
fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya)”.
ü فَرِيضَةً مِن اللَّهِ Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah SWT yang diwajibkan kepada orang
yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah Maha Mengetahui
kemaslahatan mahluknya terhadapa apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak
ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan
ada maslahat di dalamnnya.
“dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (At-Taubah: 60)
Maksudnya,
mengetahui lahiriah semua perkara, juga batiniahnya serta mengetahui
kemaslahatan hamba-hamba-Nya:
ü حَكِيمٌ lagi
Mahabijaksana. (At-Taubah: 60)
dalam
semua ucapan-Nya. perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan
seiain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali Dia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ayat ini merupakan perintah Allah SWT agar setiap orang Islam mengeluarkan
zakat kerena dalam zakat itu banyak hikmah baik dzahir dan batin terhadap harta
dan diri seseorang Insan.
Zakat secara bahasa berarti berkah, tumbuh, bertambah, suci, baik
danbersih. Sedangkan secara istilah, zakat adalah bagian tertentu dari harta
yang dimiliki yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya
yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Dari kedelapan masharif
zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :
- Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.
- Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.
Diantara hikmah-hikmah
yang dapat kita ambil tersebut adalah:
a) Zakat adalah
merupakan rukun Islam yang ditunaikan oleh setiap orang Islam.
b) Amil zakat
disunatkan supaya mendoakan orang yang menunaikan zakat sebagaimana sunnah
Rasulullah S.A.W.
c) Zakat dapat
membesihkan kekotoran dzahir harta yang dimiliki oleh seseorang Islam.
d) Zakat dapat
mensucikan kekotoran batin dalam diri seseorang Islam dari akhlak buruk seperti
kikir, takbur dan ria' yang bercampur dengan amal soleh.
e) Zakat ini disamping
melambangkan hubungan seseorang muslim dengan Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya untuk mengeluarkan juga hubungan dengan manusia lain dengan
memberikan bantuan harta dan membersihakn diri dari segala penyakit hati sesama
manusia.
f) Zakat memberikan
ketenangan dan kebahagian ke dalam diri dan keluarga mereka yang mengeluarkan
zakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’anul Karim.
Abu Ja’far Muhammad
Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5.Cetakan kedua Dar As-Salam.
Ad-Dauru Al-Mansur fi
Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4. Dar Al-Fikr.
Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.
Ensiklopedi Islam
Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. Darus Sunnah.
Cetakan kedua.
Jami’ Al-Bayan ‘an
Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir
At-Tobari jilid 5.Cetakan kedua Dar As-Salam.
M. Quraish Shihab.
“Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002)
Taisir Karim Ar-Rahman
fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, Muasasah
Risalah. Cetakan pertama.
Terjemahan Tafsir Ibnu
Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i..
Ruhul Ma’ani Sihabuddin
Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.
[2] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati,
2002). Hlm. 629
[3] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh
Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah
[4] Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari
oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam.
[5] Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh
Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4 hal 222. Dar Al-Fikr.
[6] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh
Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah.
[8] Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim
bin Abdullah At-Tuwaijiri hal 776. Darus Sunnah.
Nice Post..
BalasHapusPerdana nih ya putra sambas..
Hhe..
Lanjutkan
Hahaa iya perdana, maklum baru kepikir bahwa Blog itu juga penting bang..
Hapus