ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DALAM AL-QURAN




TAFSIR AHKAM ( IBADAH, MUAMALAH, DAN MUNAKAHAT)
“Orang orang yang berhak menerima zakat ( QS. At-Taubah : 60 )”
Anang Bustami



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menunaikan  zakat  merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seorang  muslim  sebagai  penyuci  harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut  masa  haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga), atau saat hasil pertanian telah tiba.
Zakat diwajibkan  dengan  tujuan untuk meringankan beban penderitaan kaum dhu’afa, fakir miskin, atau melipur orang-orang yang sengsara, dan membantu orangorang yang sangat membutuhkan pertolongan. Di samping itu pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak timbul ketegangan atau gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering terjadi di antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Zakat  adalah  ibadah yang memiliki dua dimensi: vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai kewajiban kepada sesama manusia.
Berkenaan  dengan  zakat,  Ayat 60 surat at-Taubah  menjelaskan tentang implementasi  zakat dalam Islam, Melalui makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan zakat yang didasarkan pada ayat al-Qur'an tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana terjemah  surat At-Taubah ayat 60?
2. Bagaimana asbab An-Nuzul ayat tersebut?
3. Bagaimana penafsiran dan Sarah ayat tersebut?
BAB II

PEMBAHASAN

A.    QS. At-Taubah  ayat  60


“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”( QS. At-Taubah : 60)[1]

B.     Asbab an-Nuzul QS. At-Taubah ayat 60

Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah saw. tentang pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah saw. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Ayat yang lalu mengambarkan bahwa ada yang keberatan tentang pembagian Nabi saw. Sambil berkata bahwa beliau tidak adil karena membagikan kepada para pengembala dan lain-lain. Nah, ayat ini membenarkan sikap Nabi itu, sambil menjelaskan bahwa, sesungguhnya zakat-zakat bukan untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah di bagikan untuk  orang-orang fakir, orang –orang miskin, pengelola-pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membagiakannya, dan di berikan juga kepada, mu’allaf, yakni orang-orang yang di bujuk hatinya serta untuk membebaskan para hamba sahaya, dan orang-orang yang berhutang bukan dalam kedurhakaan kepada Allah, dan di salurkan juga pada sabilillah dan orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai suatu ketetapan  yang  diwajibkan  Allah dan Allah maha mengetahui siapa yang wajar menerima. Dan dia maha Bijaksana dalam menetapkam ketentuan-ketentuannya.[2]

Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am  yang berpredikat agak daif dan Ziyad ibnu Na'im, dari Ziyad ibnul Haris As-Sadai r.a. yang menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw., lalu ia berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadanya. Kemudian datanglah seorang lelaki. dan lelaki itu berkata kepada Nabi Saw., "Berilah saya sebagian dari zakat itu." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
إنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ فِي الصَّدَقَاتِ حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ، فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَصْنَافٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ
“Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun, tidak pula orang lain dalam masalah zakat-zakat itu, melainkan Dia sendirilah yang memutuskannya. Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk di antara delapan golongan itu, maka aku akan memberimu”.

C.    Tafsir Ayat perkata dan Syarahnya.

ü  إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.

Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
  • Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.
  • Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.[3]

Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai alasan dan dalil masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di dalam kitab lain.

ü  Para Mastahiq Zakat

·         Pertama dan keduaلِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin.
Imam Abu Ja’far berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
  • Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
  • Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.[4]
  • Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.[5]
  • Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
  • Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[6]
  • Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa fakir adalah yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh dari  ahl Al-Kitab ( yahudi dan nasrani).
Betapapun di temukan aneka pendapat, namun yang  jelas, fakir dan miskin keduanya membutuhkan bantuan karena penghasilan mereka baik ada maupun tidak, baik meminta sehingga menghilangkan air mukanya maupun menyembunyikan kebutuhan. Keduanya tidak memilik kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.[7]
Sesungguhnya kaum fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat ini daripada golongan yang lain, karena mereka lebih memerlukannya ketimbang golongan lain, menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan keperluan mereka yang sangat mendesak.
Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya daripada orang fakir. Pendapatnya ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan. '"Orang fakir bukan orang yang tidak mempunyai harta, tetapi orang yang miskin akhlak dan pekerjaan (usaha)." Ibnu Ulayyah mengatakan.”'Menurut kami, istilah akhlak artinya pekerjaan, sedangkan menurut jumhur ulama kebalikannya."
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibnu Zaid; serta dipilih oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa orang fakir ialah orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta dia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain. Sedangkan orang miskin ialah orang yang meminta-minta, berkeliling mengemis dan mengikuti orang-orang untuk meminta darinya.
Qatadah mengatakan. orang fakir ialah orang yang berpenyakit menahun, sedangkan orang miskin ialah orang (yang tidak punya, tetapi) tubuhnya sehat.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan fuqara dalam ayat ini ialah kaum fuqara Muhajirin.
Sufyan As-Sauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang Arab Badui tidak boleh diberi sesuatu pun dari harta zakat itu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza.
Ikrimah mengatakan. ''Janganlah kalian katakan kepada orang-orang muslim yang tidak punya bahwa mereka adalah orang-orang miskin. Sesungguhnya orang-orang miskin itu hanyalah kaum Ahli Kitab."
Berikut ini kami sebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut.
Mengenai orang-orang fakir diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda."
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّة سَويّ"
Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi. Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu Hurairah.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ: أَنَّ رَجُلَيْنِ أَخْبَرَاهُ: أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلَانِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَلَّبَ إِلَيْهِمَا الْبَصَرَ، فَرَآهُمَا جَلْدين، فَقَالَ: "إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
Dari Ubaidillah ibnu Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang lelaki pernah menceritakan kepadanya; keduanya pernah datang kepada Nabi Saw. meminta bagian harta zakat. Maka Nabi Saw. memandang tajam kepada keduanya, dan Nabi Saw. menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi Saw. bersabda: Jika kamu berdua menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua; tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian).
Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai dengan sanad yang jayyid lagi kuat.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarh Wat Ta'dil mengatakan bahwa Abu Bakar Al-Absi mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir. (At-Taubah: 60) Lalu ia berkata bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Umar ibnu Nafi meriwayatkannya dari dia, bahwa ia telah mendengar ayahnya mengata­kan hal tersebut.
Pendapat ini sangat aneh, sekalipun sanadnya dianggap sahih; karena sesungguhnya Abu Bakar Al-Absi ini  sekalipun Abu Hatim tidak me-nas-kan predikat majhul (misteri)nya (tetapi) kedudukannya sama dengan orang yang majhul.
Adapun mengenai orang-orang miskin, hadisnya disebutkan melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فتردُّه اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ". قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "الَّذِي لَا يجدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَن لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسُ شَيْئًا
“Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu ia pergi setelah diberi sesuap atau dua suap makanan. dan setelah diberi sebiji atau dua biji buah kurma. Mereka (para sahabat) bertanya, "Lalu siapakah orang yang miskin itu, wahai Rasulullah?" Nabi Saw. bersabda: Orang yang tidak menemukan kecukupan yang menjamin kehidupannya; dan keadaannya tidak dikenal, hingga sulit untuk diberi sedekah; dan ia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain”.
·         Ketiga  الْعَامِلِين

Masharif   zakat yang  ketiga  adalah  amil  zakat, yaitu orang  bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula.[8] 

Adapun orang-orang yang menjadi pengurus zakat atau amilin, maka mereka adalah orang-orang yang ditugaskan  menagih  zakat dan mengumpulkannya: mereka mendapat hak dari sebagian zakat. Tetapi para 'amilin itu tidak boleh dari kalangan kerabat Rasulullah Saw. Yang  haram  memakan  harta  zakat.  karena  berdasarkan apa yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Abdul Muttalib  ibnu  Rabi'ah  ibnul Haris yang mengatakan bahwa ia pergi bersama Al-Fadl  ibnu Abbas menghadap Rasulullah Saw. untuk menawarkan dirinya menjadi amil zakat. Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ، إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ"
Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad, tidak pula bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.[9]
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :
  • Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
  • Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya.
Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.

·         Keempat,  الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar  dan  shalih, dan supaya  bertambah keimanannya.[10] Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah saw adalah Sufyan bin Harb, Uyainah  bin Badr dan Aqra’ bin Habis.[11]
Mereka ada tiga golongan :
  1. Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
  2. Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
  3. Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.[12]
Ada sekian macam yang dapat di tampung oleh klompok ini. Garis besarnya dapat di bagi dua. Pertama orang kafir, dan yang kedua adalah orang muslim. Yang pertama itu di bagi menjadi dua yaitu yang memiliki kecendrungan memeluk islam, maka mereka dibantu, dan yang kedua mereka yang di khawatirkan gangguannya terhadap islam dan umatnya. Keduanya tidak diberi dari zakat, tetapi dari harta rampasan.
Adapun yang muslim, maka mereka terdiri dari sekian macam. Pertama mereka yang belum mantap imannya dan diharapkan apabila di beri akan menjadi lebih mantap. Kedua mereka yang mempunyai kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dan diharapkan dengan memberinya akan berdampak positif terhadap yang lain. Buat kedua macam ini ulama berbeda pendapat. Ada yang setuju memberi mereka dari zakat, ada juga yang tidak setuju, dan ada lagi pendapat ketiga yang setuju memberinya tetapi bukan dari sumber zakat. Ketiga, mereka yang diberi dengan harapan berjihad melawan para pendurhaka atau melawan para pembangkang zakat. Macam ketiga ini ada yang menetapkan bahwa merekaberhak untuk memperoleh imbalan, hanya saja sekali lagi para ulama berbeda pendapat tentang sumbernya, apakah dari zakat atau khumus, atau dari sumber lain.
·         Kelimaالرِّقَابِ

Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I,  az-Zuhri  dan  Ibnu  Zaid  bahwa  yang  dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.

Kata ( الرقا ب )  adalah bentuk jamak dari kata ( رقبه ) yang pada mulanya berarti leher. Makna ini berkembang sehingga bermakna hamba sahaya karena tidak jarang hamba sahayaberasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka.

Sementara ulama terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya atau yang diistilahkan dengan mukatib. Ini antara lain adalah pendapat imam Syafi’i. Adapun imam Malik maka menurutnya yang dalam proses memerdekakan diri tidak diberikan lagibagian ini, di bagian al-gharimin, yakni orang-orangyang dililit hutang. Bagian fi-riqab menurutnya diberikan untuk memerdekakan hamba sahaya kemudian memerdekakannya. Mazhab Abu Hanifah membenarkan untuk memberi kedua jenis hamba itu, apa saja menurutnya, bagian ini tidak diberikan untuk memerdekakan mereka secara utuh, tetapi sekedar sebagai bantuan untuk tujuan tersebut. Karena kata fi-riqab menurutnya mengandung makna “sebagian”.[13]

·         Keenam,  الْغَارِمين

Kata ( الغارمين ) al-gharimin adalah bentuk jamak dari kata ( الغارم ) gharim yakni “yang berhutang”. Yaitu orang yang terlilit utang dan tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Jika iatidak memiliki maka ia termasuk kedalam kelompok fakir miskin. Tentu saja yang berhak menerima dalam bagian ini, bukanlah mereka yang berfoya-foya apa lagi menggunakannya untuk kedurhakaan.  Ketetapanhukum menyangkut al-gharimin ini merupakan rahmat dan bantuan baik untuk yang berhutang maupun yang memberinya, yakni baik untuk debitor maupun kreditor,. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal membenarkan juga memberi ganti dari zakat agi siapa yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau untuk kepentingan umum.

Ulama berbeda pendapat tentang yang wafat dan yang meninggalkan hutang, apakah dapat diambilkan dari bagian al-gharimin atau tidak. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan, bahkan beliau mensyaratkan pemberian bantuan dari zakat bagi yang berhutang hanyalah siapa yang terancam di penjara bila tidak membayar hutangnya. Ulama lain membolehkan bagi siapa yang telah wafat untuk dibayarkan hutangnya dari uang zakat, jika ia tidakmeninggalkan harta warisan.[14]

Mujahid berkata, “Al-Gharimin  ialah  orang  yang  terbakar  rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali  rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.[15]

Dalam keadaan ini ada dua golongan :
  1. Berhutang  untuk  kebaikan  orang  yang  berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
  2. Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[16]
  3. Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan  untuk  memenuhinya  ia  harus  menguras  harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
Dalil asal dalam bab ini ialah hadis Qubaisah ibnu Mukhariq  Al-Hilali yang menceritakan bahwa  ia menanggung  suatu  tanggungan  utang, lalu ia datang menghadap Rasulullah Saw. Untuk  meminta sebagian dari harta zakat guna melunasinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا". قَالَ: ثُمَّ قَالَ: "يَا قَبِيصة، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تحمَّل حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكَ. وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ: أَوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ، فَيَقُولُونَ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ، حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ سُحْتٌ، يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
“Tinggallah kamu hingga harta zakat datang kepada kita, maka akan kami perintahkan untuk memberikan sebagiannya kepadamu. Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Hai Qubaisah, sesungguhnya meminta itu tidak halal kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu bagi seorang lelaki yang menanggung suatu tanggungan utang, maka dihalalkan baginya meminta hingga ia dapat melunasinya, kemudian menahan diri dari meminta-minta. Dan seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga ia memperoleh pegangan bagi kehidupannya, atau kecukupan bagi kehidupannya. Dan seorang lelaki yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat dalam kaumnya mengatakan bahwa sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga beroleh pegangan kehidupan atau ke­cukupan bagi penghidupannya. Adapun meminta-minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya”. Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Dari Abu Sa'id,  disebutkan  bahwa  di  masa  Rasulullah Saw. pernah ada seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah, karena buah-buahan yang dibelinya busuk semua, hingga ia berutang banyak. Maka Nabi Saw. bersabda,
تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ". فَتَصَدَّقَ النَّاسُ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ: "خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ، وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِك
"Bersedekahlah kalian untuknya." Maka orang-orang (para sahabat) memberikan sedekah mereka kepadanya, tetapi hal tersebut masih juga belum dapat melunasi utangnya. Lalu Nabi Saw. bersabda kepada para pemilik piutangnya: Ambillah apa yang kalian jumpai, dan tidak ada lagi bagi kalian kecuali hanya itu (Riwayat Muslim).[17]
·         Ketujuh,  وَفِي سَبِيلِ اللَّه

Kata  (وَفِي سَبِيلِ اللَّه ) dipahami oleh mayoritas ulama dalam arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung maupuntidak. Termasuk pula didalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng dan lain-lain yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Ada pula yang berpendapat bahwa yang termasuk pula dalam kelompok ini jamaah haji atau umroh.

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :
  • Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di  dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
  • Muhammad, “Orang yang berhaji.”
  • Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
  • Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu ‘alam bi Shawab.[18]
Kini sekian banya ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisai-organisai islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, dan lain-lain dengan alasan bahwa kata (سَبِيلِ اللَّه ) dari segi kebahasaan mencakup segala aktifitas yang mengantar menuju jalan dan keridhaan Allah. “ini adalah pintu yang sangat luas mencakup semua kemaslahatan umum”. Demikian tulis Sayyid Quthub dalam tafsirnya.[19]
·         Kedelapan, وَاِبْنِ السَّبِيلِ

Adapun (وَاِبْنِ السَّبِيلِ ) ibnu as-sabil yang secara harfiah berarti anak jalanan, maka para ulama terdahulu memahaminya dalam arti siapa pun yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di negri asalnya. Sementara sementara ulama tidak memasukkan dalam kelompok ini siapa diantara mereka yang kehabisan bekal tetapi dapat berhutang. Tetapipendapat ini tidak didukung oleh banyak ulama. Mengapa dia harus mengandalkan manusia, kalauAllah telah menjaminnya? Begitu tulis al-Qurthubimembantah pendapat tersebut.adapun anak jalanan dalam pengertian anak-anak yang berada di jalan dantidak memiliki rumah tempat tinggal sehingga hampir sepanjang hari berada di jalan, maka mereka tidak termasuk dalam kelompok ini. Mereka berhak mendapat zakat dari bagian fakir dan miskin.[20]

Jadi, ibnu as-sabil Ialah  seorang  musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak  mencukupi  untuk  dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula  dengan  orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal,  maka ia diberi dari bagian  zakat  untuk  perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.[21]

Dalil yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yazar, dari Abu Sa'id r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: الْعَامِلِ عَلَيْهَا، أَوْ رَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ غَارِمٍ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ مِسْكِينٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ
“Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan kecuali lima macam orang, yaitu orang yang mengurusi zakat. atau seorang lelaki yang membelinya dari hartanya, atau orang yang berutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dari harta zakat, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang kaya”.
Kedua Sufyan telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam. dari Ata secara mursal.
Menurut riwayat Imam Abu Daud dari Atiyyah Al-Aufi. dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ فيُهدي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ"
“Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya)”.
ü  فَرِيضَةً مِن اللَّهِ   Maksudnya  ialah  pembagian  ini adalah  langsung  dari Allah SWT yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah Maha  Mengetahui kemaslahatan mahluknya terhadapa apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah SWT  mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya.

ü  وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.[22]
“dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (At-Taubah: 60)
Maksudnya, mengetahui lahiriah semua perkara, juga batiniahnya serta mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya:
ü  حَكِيمٌ  lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 60)
dalam semua ucapan-Nya. perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan seiain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali Dia.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ayat ini merupakan perintah Allah SWT agar setiap orang Islam mengeluarkan zakat kerena dalam zakat itu banyak hikmah baik dzahir dan batin terhadap harta dan diri seseorang Insan.
Zakat secara bahasa berarti berkah, tumbuh, bertambah, suci, baik danbersih. Sedangkan secara istilah, zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :
  1. Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.
  2. Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.
Diantara hikmah-hikmah yang dapat kita ambil tersebut adalah:
a) Zakat adalah merupakan rukun Islam yang ditunaikan oleh setiap orang Islam.
b) Amil zakat disunatkan supaya mendoakan orang yang menunaikan zakat sebagaimana sunnah Rasulullah S.A.W.
c) Zakat dapat membesihkan kekotoran dzahir harta yang dimiliki oleh seseorang Islam.
d) Zakat dapat mensucikan kekotoran batin dalam diri seseorang Islam dari akhlak buruk seperti kikir, takbur dan ria' yang bercampur dengan amal soleh.
e) Zakat ini disamping melambangkan hubungan seseorang muslim dengan Allah dengan melaksanakan perintah-Nya untuk mengeluarkan juga hubungan dengan manusia lain dengan memberikan bantuan harta dan membersihakn diri dari segala penyakit hati sesama manusia.
f) Zakat memberikan ketenangan dan kebahagian ke dalam diri dan keluarga mereka yang mengeluarkan zakat.



DAFTAR PUSTAKA
Alqur’anul Karim.
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5.Cetakan kedua  Dar As-Salam.
Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.
Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. Darus Sunnah. Cetakan kedua.
Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5.Cetakan kedua  Dar As-Salam.
M. Quraish Shihab. “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002)
Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, Muasasah Risalah. Cetakan pertama.
Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i..
Ruhul Ma’ani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.


[1] Al-Qur’an Al-Karim, At-Taubah : 60
[2] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 629
[3] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah

[4] Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari oleh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam.
[5] Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4 hal 222. Dar Al-Fikr.
[6] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah.
[7] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 630
[8] Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri hal 776.  Darus Sunnah.
[9] Terjemahan Tafsir Ibnu Katrsir jilid 4 hal 151. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

[10] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, hal 341.
[11] Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4026.
[12] Ruhul Ma’ani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 169. Maktabah Taufiqiyah.
[13] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 633
[14] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 634
[15] Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4029.
[16] .  Ensiklopedi Islam Al-Kamil hal 776.
[17] Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 153-254.
[18] Ruhul Ma’ani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 171. Maktabah Taufiqiyah
[19] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 634
[20] M. Quraiish Shihab, “Tafsir Al-Misbah”. (Jakarta : lentera hati, 2002). Hlm. 635
[21] Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 154.
[22] Tafisr At-Tobari jilid 5 hal 4031.

Komentar

  1. Nice Post..
    Perdana nih ya putra sambas..
    Hhe..
    Lanjutkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaa iya perdana, maklum baru kepikir bahwa Blog itu juga penting bang..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR