Agama dan Politik ; berkaca pda sejarah pemikiran Islam
UTS Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Mukti., S.Ag., M.Ag
“Agama Dan
Politik ; Berkaca Pada Sejarah Pemikiran Islam”
Oleh : Anang Bustami (11634002)
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, IAIN
Pontianak
A. Pendahuluan
Islam adalah
agama yang dinamis. Sejak pertama turunnya, cepat atau lambat agama Allah ini
terus berkembang meski tidak selalu mulus. Merangkak dari kalangan Rasul
sendiri, hingga tersebar luas di seluruh dunia seperti pada hari ini.
Sejarah dan
peradaban Islam tidak dapat dipisahkan. Yang satu berkaitan dengan yang lain.
Lahirnya peradaban tidak pernah terlepas dari sejarah yang ada. Dan perdaban
hari inilah yang akan menjadi sejarah di masa depan. Sejarah ibarat cermin bagi
pejuang-pejuang peradaban. Menjadi hal yang sangat wajib dalam membangun suatu
bangsa untuk bercermin kepada apa yang telah berlalu, dari kesalahan-kesalahan
agar tidak terulang dan dari kejayaan-kejayaan agar dapat meraihnya kembali
serta meningkatkannya. Begitu pula dalam perkembangan Islam.
Namun dalam
perkembangannya, Islam sampai pada masa ketika Islam menjadi kekuatan nomor
satu di dunia, kekuatan terbesar yang menguasai dunia politik, dunia pendidikan
dan lain sebagainya. Sudah seharusnya kita selaku generasi penerus perjuangan
umat terdahulu, mampu meneladani apa yang baik untuk diteladani dan jangan
sampai mengulang kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau.
Di dunia Islam,
pertarungan Islam dan sekulerisme menjadi fenomena global yang masih terus
berlangsung. Menurut Nurcholis Madjid, pembahasan masalah ini, khususnya
pemisahan antara agama dan politik ibarat meminum air zamzam, tidak pernah ada
habisnya. Pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini, masih menurut
Nur Cholis, agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang
mau-tak-mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat,
khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
Oleh sebab itu,
penting kiranya penulis untuk membahas lebih lanjut mengenai Agama dan Politik
yang mana ini berkaca pada sejarah peradaban islam dalam sebuah cabang ilmu
pengetahuan.
B.
Pembahasan
Dalam bukunya, Tarikhuna
al-Muftara Alaihi, Yusuf Qaradhawi menjelaskan tentang kuatnya hubungan
antara agama dan negara (politik) dalam sejarah peradaban Islam. Menurutnya,
sejarah umat Islam masa lalu adalah sebuah sejarah yang tumbuh dari ruh robbani
yang bersandar pada nilai-nilai al-Qur’an dan as- Sunnah.
Maka tidak
mengherankan apabila kita mendapatkan faktor-faktor dan tujuan agama menjadi
penggerak awal dan pemicu utama terhadap perkembangan peradaban Islam. Hubungan
mesra itu salah satunya tercermin dari kebiasaan kaum muslimin yang mengawali
bacaannya dengan lafal “basmalah”. Menurut Qaradhawi, membaca adalah
kunci untuk mendapatkan ilmu, dan ilmu adalah penegak utama kejayaan sebuah
peradaban. Maka apabila dengan membaca ada unsur agama yang menyertainya, itu
berarti peradaban Islam memang tumbuh dari agama, betujuan untuk kejayaan agama,
mengabdikan diri untuk agama, dan yang paling utama adalah untuk mencapai ridho
Allah swt.
Dalam konteks bernegara, umat Islam
telah berjaya membangunkan penyatuan peraturan dan kekuasaan berdasarkan
prinsip hubungan yang harmoni antara umara (pihak yang berkuasa) dan ulama dengan
tujuan membangunkan kehidupan bermasyarakat yang adil dan saksama. Ia
dimulakan oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun pertama penghijrahannya ke Madinah.
Bagaimanapun, secara jelasnya
al-Quran dan hadis tidak menentukan secara jelas bentuk ketatanegaraan Islam
sehingga menimbulkan berbagai polemik pemikiran dalam kalangan umat Islam
sendiri sepanjang sejarah.
Dalam kalangan pemikiran tokoh-tokoh
ketatanegaraan Islam, doktrin politik berkembang berdasarkan anggapan bahawa
agama mempunyai dimensi politik secara lurus atau seiring dengan ritual
beragama atau al-Islam huwa ad-din wa ad-daulah.
Doktrin ini membawa kepada satu
rumusan bahawa tidak ada pemisahan antara kekuasaan politik dan agama. Agama
dan politik bukan sahaja saling memerlukan bahkan tidak bertentangan - politik
melindungi agama dan agama mengawal kuasa politik.
Perkembangan selanjutnya membawa
kepada istilah kekuasaan yang mana umara dan ulama berada dalam kedudukan yang
paling asas. Umara dan ulama melaksanakan fungsinya masing-masing.
Umara berperanan sebagai pemilik
autoriti politik, ekonomi dan ketenteraan manakala ulama mempunyai peranan sebagai
pemilik autoriti hukum dan sosial.
Bagaimanapun, berdasarkan perjalanan sejarah selepas
wafatnya Nabi Muhammad SAW, autoriti hukum telah dipindahkan kepada umara yang
mana ulama diberikan tanggung jawab sebagai pemegang autoriti sosial dan moral.
Doktrin ini kemudiannya mula
disanggah oleh perjalanan sejarah apabila segelintir pemikir Islam terpengaruh
dengan doktrin Kristian yang memisahkan secara radikal konsep negara dan agama
(milik Tuhan) serahkan kepada Tuhan, milik Kaisar serahkan kepada Kaisar,
ma lillah wa ma liqaishar liqaishar.
Atas asas pemikiran itulah menyebabkan lahirnya satu bentuk
penolakan terhadap khalifah sebagai institusi agama. Ali Abdul Raziq
(1888-1966) dianggap sebagai penganjur sekularisme atas percobaannya untuk
memisahkan politik dan agama.
Dengan mengemukakan hujah sejarah
dan dalil syara’, beliau memberi pendapat bahawa Islam tidak boleh campur
tangan dalam urusan kenegaraan dengan mengaitkan perjuangan kumpulan salafi.
Kehidupan berpolitik semakin
dipengaruhi oleh ragam kepercayaan kepada berbagai doktrin yang tidak berpijak
kepada asas agama, termasuklah doktrin politik yang membawa kepada penyelesaian
tidak bermoral, ketetapan menghalalkan cara.
Dalam konteks
pemikiran Islam di Indonesia, pembagian kelompok ini sudah sangat jelas
terlihat. Kelompok kedua sudah semakin nyaring bersuara. Melalui senjata media
massa mereka gencar menyebarkan paham sekularisme ini. Bahkan secara gegabah,
beberapa penulis menganggap mereka yang mencampurkan agama dengan politik
sebagai penderita schizophrenia dan delusi, suatu penyakit yang mengganggu
kejiwaan seseorang.
Alasannya, dia
ingin melindungi fitrah agama yang suci dari “kotor”nya dunia politik. Atau ada
unsur “gregetan” melihat beberapa orang yang berpolitik di bawah nama Islam,
tetapi tidak memiliki integritas Islam, dan bahkan mendompleng nama Islam untuk
kepentingan pragmatis.
Memang tidak
tidak berlebihan jika alasannya adalah menjaga kesucian agama kita, tapi jika
agama kemudian dipisahkan dari politik hingga membuat jurang pemisah antara
agama dan politik tentunya tidak bisa dibenarkan. Karena dengan demikian,
berarti telah mengurangi fitrah agama (Islam) yang tibyanan likulli syain.
Seharusnya,
agama tetap dipersilakan menjadi ideologi dalam politik, akan tetapi pada
aplikasinya bukan politik yang malah dengan seenaknya mengatur agama. Justru
agama yang harus dapat mengkontrol dan mengawal politik. Bahkan membersihkannya
dari intik-intrik jahat dan siasat licik.
Jika ada
anggapan bahwa politik itu kotor dan agama itu suci, lantas mengapa sesuatu
yang kotor itu tidak kita bersihkan dengan yang suci? Dalam hal ini, tentunya
semua tergantung pada aktor politik itu sendiri, dan seberapa besar dominasi
pengaruh antara keduanya.
Meminjam
istilah Adnin Armas, jika kalau ada partai yang berbasis Islam atau orang-orang
yang memperjuangkan politik Islam, tetapi belum memiliki integritas Islam,
menurut, hal ini tidaklah tepat untuk menyimpulkan bahwa politik Islam adalah
politisasi agama. Sebabnya, tindakan oknum-oknum bukanlah referensi bagi ajaran
Islam.
Politik Islam
justru memasukkan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh dengan nilai moral,
spiritual dan intelektual ke dalam politik yang kini sudah tersekularkan.
Dengan demikian akan dapat kita wujudkan politik yang berakhlak, jujur dan
bermartabat.
C.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas, mengenai Agama dan Politik berkaca pada sejarah pemikiran Islam dapat
kita simpulkan bahwa antara Agama dan Politik dalam sejarah pemikiran islam itu
tidak pernah bisA dipisahkan, walaupun ada sekelompok orang yang ingin
memisahkan angata Agama dan Politik dengan alas an bahwa Agama itu suci dan politik
itu sesuatu yang kotor oleh sebab itu maka harus dipisahkan. Akan tetapi
anggapan itu masih tetap terbantahkan sehingga dalam prakteknya dan
kenyataannya Agama dan Politik dalam Islam tidak akan terpisahkan yang mana jika
golongan yang “dituduh” menjual agama untuk kepentingan politik itu tidak baik,
maka golongan yang terlalu berlebihan dalam “menjaga” agama hingga
memisahkannya dari politik (sekularis) juga sangat berbahaya.
Komentar
Posting Komentar