ALIRAN SALAFISME DAN KONSEP TEOLOGINYA


PERKEMBANGAN ALIRAN MODERN DALAM ISLAM
(Kajian  Aliran Salafisme Dan Konsep Teologinya)
Oleh : Anang Bustami (11634002)

A.    PENDAHULUAN
Kajian-kajian yang terkait dengan urgensi subject matter “salafisme” mempresentasikan dialog idealisme dengan realitas yang sekaligus memuat faktor-faktor signifikan yang menyekitarinya serta impikasi-implikasi yang ditimbulkannya. Kajian-kajian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama kajian yang membahas idealisme dan faktor signifikan tentang radikalisme, salafisme dan jihadisme, kedua, kelompok kajian tentang implikasi salafisme yang secara tandas tampak dalam berbagai kekerasan dan terror yang memuat didalamnya mitos, realitas dan respon, serta jaringan.[1]
Dunia Barat dewasa ini sangat memperhatikan aliran tersebut. Kata salafisme dikenal sebagai salah satu varian gerakan Islam yang transnasional yang tidak toleran dengan agama lain, bahkan sesama umat Islam di luar golongan mereka, radikal, fundamental, dan revivalis, dan cenderung menggunakan jalan kekerasan.[2] Menurut Gilles Kepel, Jihadi Salafisme merupakan kombinasi antara penghormatan terhadap teks-teks suci dalam bentuk pemahaman yang paling literal dan komitmen berjihad melawan Amerika sebagai sasaran utamanya. Memasuki tahun 1990-an, salafisme sudah menjadi pusat perhatian di kalangan akademisi, akan tetapi penelitian tentang salafisme masih bersifat sangat lokal atau sebaliknya, sangat luas wilayah cakupannya ketika dihubungkan dengan radikalisme.[3]
Kajian tentang salafisme benar-benar dianggap penting karena dalam realtas historis telah mengubah idealism Islam sebagai rahmat bagi msyarakat dunia menjadi ancaman dunia. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Quintan Wiktorowicz.[4]
Terkait dengan makna "salafisme" dan pandangan orang-orang di Barat dan Timur tentang gerakan Islam ini, penulis mencoba membahas sejarah dan ideologi gerakan ini, serta yang menyebabkan mereka dikenal sebagai gerakan Islam garis keras, transnasional yang tidak toleran dengan agama lain, bahkan sesama umat Islam di luar golongan mereka, radikal, fundamental, dan revivalis. Selain itu, tulisan ini juga mendeskripsikan upaya gerakan Salafisme dalam menyebarkan ideologinya di seluruh dunia  serta sampai di Indonesia.
B.     PEMBAHASAN
1.      Hakikat Makna Salafisme
Secara etimologis, kata “salaf” berarti “yang lampau”. Kata tersebut biasa dikontestasikan dengan kata “khalaf” yang makna harfiahnya adalah “yang belakangan”. Kata ini kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk kepada generasi keemasan Islam, yakni tiga generasi pertama (para sahabat, tâbi‘în, dan tâbi‘ al-tâbi‘în) yang biasa disebut al-salaf al-shalih.
Kata “salafisme” adalah sebuah bentuk penisbatan kepada kata al-salaf. Kata al-salaf sendiri secara bahasa bermakna ‘orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita’. Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang masa hidupnya dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. dalam haditsnya:
خَيْرُ النَّاسِ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْ نَهُمْ ....
“Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka …. ”[5]
Berdasarkan hadits ini, yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Rasulullah saw, kemudian tabi’in, serta tabi’ al-tabi’in. Lalu, sebagian ulama menambahkan label al-Shalih (menjadi al-Salaf al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang hidup setelah tabi’ al-tabi’in.
Dalam keterangan dari literatur lain, Salafisme diserap dari terma al-salaf al-shalih yakni tiga generasi pertama muslim yang dipandang sebagai uswah bagi masa depan umat Islam. Bernard Heykel mengemukakan bahwa salafisme mereferensi pada Ahl-Al-Hadith sejak masa kekhalifahan Abbasiyah, yang mengonsentrasikan pada pada studi hadis dengan maksud untuk membersihkan Islam dari campur tangan non-muslim. Sebagai gerakan pemurnian Islam, salafisme mengajarkan untuk kembali kepada sumber-sumber pokoknya yakni Al-Quran dan Hadis dan menolak taklid kepada empat empat Mazhab hukum Islam, dan karenanya menerima Ijtihad.[6]
Sementara Internasional Crisis Group (ICG) yang dikutip Luthfi Asy-Syaukani mendefinisikan salafisme sebagai gerakan internasional yang berusaha kembali kepada zaman yang dianggap sebagai era Islam suci yang diaktualisir Nabi dan dua generasi setelahnya. Dua pemikir Muslim, Jurj Tharabishi dan Aziz al-Azmah, menggunakan istilah salafisme untuk menunjuk arus pemikiran atau kelompok yang anti-modernitas dan pembaruan. Pemikir lain seperti Muhammad Abid al-Jabiri dan Fahmi Jadan menggunakan istilah ini untuk menunjuk pada setiap gerakan yang menjadikan Al-Quran dan hadis sebagai sistematika pemikirannya.[7]
Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi Saw, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
2.      Salafisme Dalam Lintas Sejarah
                        Gerakan Salafi pada awalnya muncul sekitar abad ke-4 H, yang dipelopori oleh ulama ulama dari mazhab Hambali yang ingin menghidupkan kembali tradisi-tradisi ulama-ulama terdahulu (salaf al-shālih). Kemunculan gerakan ini sangat terkait dengan permasalahan teologis, yaitu peristiwa inkuisasi Al-Quran dan terjadinya pengekangan dan intimidasi terhadap Imām Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) oleh penguasa Abbasiyyah yang menganut paham Mu’tazilah.
Kemudian, sekitar akhir abad ke-7 H, gerakan ini dihidupkan kembali oleh Ibn Taymiah (w. 729 H/1329 M) sebagai respons terhadap berkembangnya paham-paham rasional di kalangan umat Islam dan munculnya kecenderungan umat Islam terhadap filsafat dan ilmu kalam yang dianggap telah menyimpang dari Al-Quran dan Hadis serta tradisi-tradisi ulama-ulama salaf. Pada pertengahan abad ke-12 H atau akhir abad ke-17 M, paham Salafi mengkristal dalam sebuah gerakan yang dinamakan Wahabiyyah yang dinisbahkan kepada pelopornya yaitu Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb (w. 1201 H/1787 M). Kemunculan kembali gerakan Salafi melalui tangan Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan kepada gerakan ini karakter khusus yaitu memerangi segala bentuk kemusyrikan dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid serta melindungi ketauhidan dari segala penyimpangannya. Ia berusaha membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk dalam Islam. Ia juga menerapkan literalisme yang ketat dan menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah serta menampilkan permusuhan yang ekstrem kepada intelektualisme, mistisme, dan semua perbedaan sekte yang ada dalam Islam. Ia ingin membebaskan ummat Islam dari keterkungkungan dalam bid’ah zaman kemunduran.
                        Menurut doktrin Wahabi, penting artinya kembali pada kemurnian, kesederhanaan, dan kelurusan Islam yang sepenuhnya diperoleh dengan cara menaati perintah Nabi  secara harfiah dan dengan ketaatan penuh terhadap praktik ritual yang benar. Wahabi menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan kontekstual karena dapat menimbulkan multitafsir dan interpretasi seiring dengan perkembangan zaman. Wahabi menganggap sebagian besar sejarah ummat Islam adalah unsur perusak Islam dari kemurniannya. Wahabi juga mendefinisikan ortodoksi secara sempit dan sangat tidak toleran terhadap semua kepercayaan adat (lokal) yang bertentangan dengan kepercayaannya.
                        Paham mereka yang mengatasnamakan pemurnian akidah dengan cara menghancurkan segala bentuk inovasi dalam beragama meskipun dengan kekerasan dan pembantaian, juga menolak pahampaham madzhab dengan mengembalikan seluruh hukum Islam langsung kepada Al-Quran dan Sunnah ini, sering disebut juga sebagai gerakan Salafi. Mereka nyaman dengan menyebut diri mereka sebagai "salafi", yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Sunnah.[8]
                        Menurut Imarah, ada tiga hal yang sangat mendasar dan menjadi karaktristik gerakan Wahabi. Pertama, menentang dengan keras segala pemikiran yang berbau filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf (mistik). Kedua, menentang dengan keras segala keyakinan yang bersifat bid’ah dan khurafat. Ketiga, menentang segala bentuk interpretasi rasional (intelektualitas).
Ironisnya, sebagai sebuah gerakan, Salafisme justru dimunculkan kembali pada awal abad 19 M oleh Jamaluddin al-Afghani dan kawan-kawannya yang berorientasi liberal. Kemunculannya sebagai respons terhadap modernitas yang mengajak kaum muslimin untuk kembali kepada sumber murni yaitu al-Qur’an dan hadis. Motor utama gerakan Salafi ini adalah Jamaluddin al-Afghani (w. 1314 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M), Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M) dan Muhammad Syawkani (w. 1250 H/1834 M).
                        Gerakan Salafi yang pada awalnya memfokuskan diri pada permasalahan-permasalahan akidah (teologi), pada abad-abad belakangan seperti yang dikatakan oleh Ibrahim Madkur mengalami pergeseran dengan memfokuskan diri pada permasalahan-permasalahan ibadah (furū’iyyat) dengan mengajak menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, seperti menetapkan bahwa merokok hukumnya haram, memotong jenggot hukumnya makruh, merayakan peringatan maulid Nabi, pembacaan talkin bagi yang telah meninggal, melakukan zikir jahr setelah shalat, perayaan dan doa nishf Sya’bān (doa pertengahan bulan Sya’ban) hukumnya bid’ah serta menganjurkan membongkar bangunan di atas kuburan dan lain-lain.
                        Di Indonesia, ide-ide gerakan pemikiran Salafi berkembang sejak era Kolonial Belanda. Salah satu gerakan pemikiran Salafi awal di Indonesia terdapat di Minangkabau. Gerakan ini dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, tokoh kaum Paderi dari Koto Tuo Ampek Angkek Candung (1784-1803). Dari nama kaum inilah maka pertempuran antara kaum Paderi melawan Belanda dinamakan dengan perang Paderi. Sumber kepustakaan menjelaskan bahwa gerakan Paderi ini dipengaruhi oleh gerakan keagamaan Wahabi (1703-1792) yang sangat mempengaruhi para jama’ah haji dari ranah Minang yang belajar ke Makkah.
3.      Konsep Teologi Salafisme
                        Ibrahim Madhkur menjabarkan bahwa ulama Salaf atau Salafiyyah  mempunyai beberapa karakteristik, di antaranya yaitu: lebih mendahulukan  riwayat (naql) daripada dirayah (aql); dalam persoalan pokok-pokok agama  (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu‟ al-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan Al-Sunnah; mengimani Allah tanpa  perenungan lebih lanjut (tentang dzatNya) tidak pula mempunyai paham  antropomorfisme; dan memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan makna  lahirnya, tidak berupaya untuk menakwilnya.
                        Ibn Taimiyah, yang merupakan perumus metode kaum Salaf, menyatakan  bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui, aqidah, hukum-hukum, dan segala  sesuatu yang berhubungan dengan kedua hal tersebut, baik dari segi I’tiqad  maupun istidlalnya kecuali dari Al-Quran dan Sunnah yang menjelaskannya. Segala hal yang ditegaskan di dalam Alquran dan segala hal yang diterangkan di  dalam Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak guna menghilangkan keraguan. Akal tidak mempunyai otoritas untuk menta’wilkan Al-Quran,  menginterpretasikannya, atau men-takhrij-nya, kecuali hanya sekedar yang  ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah.
                        Salah satu hal yang khas dalam pola pemikiran ulama Salaf adalah tentang  teologi. Kaum Salaf membahas tentang beberapa hal yang berhubungan dengan  teologi di antaranya yaitu tentang keesaan Tuhan, keesaan dzat dan sifatNya,  tentang kedudukan Al-Quran, dan ayat-ayat mutasybihat.
Keesaan Tuhan dalam  pandangan kaum Salaf merupakan asas pertama Islam. Keesaan Tuhan merupakan  kebenaran yang tidak lagi dapat diragukan. Keesaan Tuhan dalam interpreasi  kaum Salaf secara keseluruhan sesuai dengan yang diinterpretasikan oleh kaum  Muslimin pada umumnya.
Kaum Salaf menetapkan apa saja yang disebutkan dalam Al-Quran atau Sunnah yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah atau keadaanNya. Mereka menetapkan bagiNya sifat-sifat, di antaranya yaitu ridha, cinta, menyeru, murka, benci, turun kepada manusia di bawah naungan awan, berbicara, bersemayam di arsy, dan mempunyai wajah serta tangan tanpa menta’wilkan dan tanpa menafsirkan dengan selain pengertian yang dzahir tersebut. Namun perlu digaris bawahi bahwa seluruh sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk. Wajah, tangan, dan turunnya Allah tidak sama dengan makhluk. Maha Suci Allah dari persamaan-persamaan tersebut. Mereka mempercayai sepenuhnya pada ayat-ayat yang mutasyabihat namun mereka tidak  menakwilkannya, mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah.[9]
Abu A’la Sh’id ibn Muhammad menukil pendapat Abu Yusuf, dalam kitab “Al-I’tiqad”, bahwa Abu Hanifah berkata, “Seseorang tidak boleh berbicara tentang Allah dengan sesuatu yang ada pada DzatNya. Namun, dia harus menyifati Allah sesuai dengan sifat yang Dia sifati tentang DiriNya. Dia tidak boleh berbicara dengan akalnya sedikit pun. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam.[10]
Al-Baidhawi berkata dalam “Al-Thawali”, “Dalam hal mutasyabihat, yang utama adalah mengikuti pendapat kaum Salaf, mengembalikan maknanya kepada Allah dengan cara menafikan penyerupaan dan penjasadan terhadap Allah.”
Al-Alusi menjelaskan bahwa, “Hal itulah yang juga ditempuh oleh para sufi. Mereka mengatakan; Manusia sebenarnya tidak perlu menakwil ayat-ayat sifat Allah kecuali jika mereka bingung terhadap keyakinan bahwasannya Allah berbeda dengan seluruh makhluk. Dengan demikian, jika Dia berbeda, ayat-ayat sifat Allah tidak boleh ditafsirkan dengan penyerupaan. Karena penyerupaan tidak akan terjadi kecuali Allah harus disamakan dengan makhlukNya. Dan hal itu adalah mustahil.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa yang benar adalah pendapat para imam yang mendapatkan petunjuk. Pendapat tersebut adalah Allah disifati dengan apa saja yang disifatkanNya kepada diriNya sendiri atau disifatkan oleh RasulNya tanpa melampaui Alquran dan Sunnah. Jadi dengan begitu, mereka bukanlah termasuk orang-orang yang mengubah Kalam Allah dari tempatnya, bukanlah termasuk orang-orang yang jika dibacakan ayat-ayat Tuhan maka mereka tidak menundukkan diri karena tuli dan buta, serta bukanlah pula orang-orang yang tidak mengetahui Alquran kecuali hanya sekedar mereka-reka Menurut Ibn Taimiyah, mazhab Salaf bukan antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan makhlukNya) dan bukan nihilisme (meniadakan persamaan dengan dengan makhlukNya). Ibn Taimiyah menyatakan bahwa mazhab Salaf berada diantara paham nihilisme dan antropomorfisme.
C.    PENUTUP
                        Kata "salafi", sebutan yang mereka sukai, merujuk kepada perbuatan al-salaf al-shlih yang berpegang teguh pada kemurnian Al-Quran dan Sunnah. Namun, fakta sejarah menunjukkan sebutan itu kurang sejalan dengan paham dan berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan terhadap umat Islam lain. Mereka memahami isi kandungan Al-Qur`an dan Sunnah secara tekstual tanpa penalaran dan konteks yang memadai. Cara berpikir semacam ini, menurut Abid al-Jabiri, disebut dengan cara berpikir bayani, yang setia pada teks-teks tanpa perlu dirasionalkan lagi dalam tataran burhani. Lebih ironis lagi, mereka memaksakan seluruh umat Islam yang ada di dunia ini memiliki pola pikir seperti mereka dalam memahami teks-teks suci agama Islam.
Tokoh-tokoh yang memberikan kontribusi terhadap formasi salafisme sebagai doktrin adalah Ahmad bin Hambal (78—855 M) dan Taqy al-Din Ibn Taymiyah (1263-1328 M), dan dipertegas dalam wahabisme oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab (1703-1792 M). Salah satu gerakan pemikiran Salafi awal di Indonesia terdapat di Minangkabau. Gerakan ini dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, tokoh kaum Paderi dari Koto Tuo Ampek Angkek Candung (1784-1803).
Salah satu hal yang khas dalam pola pemikiran ulama Salaf adalah tentang  teologi. Kaum Salaf membahas tentang beberapa hal yang berhubungan dengan  teologi di antaranya yaitu tentang keesaan Tuhan, keesaan dzat dan sifatNya,  tentang kedudukan Al-Quran, dan ayat-ayat mutasybihat.
D.    DAFTAR PUSTAKA
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2017)
Ubaidillah. Global Salafism Dan Pengaruhnya Di Indonsia. Jurnal THAQAFIYYAT, Vol 13. No 1, Juni 2013
Iffah Muzammil. Global Salafisme Antara Gerakan Dan Kekerasan. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013.
Quintan Wiktorowicz, The New Global Threat : Transnational Salafis And Jihad, dalam Jurnal Midle East Policy, Vol VIII, No.4 Desember 2001 (kutipan dari buku M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider. )
Al-Kutub At-Tis’ah: Shahih al-Bukhari, no: 2458 dan Shahih Muslim, no: 4601. 
Sahilun A.Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: PT Rajagrafindo, 1996), 23.
Yusuf Al-Qardhawi, Akidah Salaf dan Khalaf (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 72.




[1] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2017) hlm. 307
[2] Ubaidillah. Global Salafism Dan Pengaruhnya Di Indonsia. Jurnal THAQAFIYYAT, Vol 13. No 1, Juni 2013. Hlm. 36
[3] Iffah Muzammil. Global Salafisme Antara Gerakan Dan Kekerasan. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013. Hlm. 212
[4] Quintan Wiktorowicz, The New Global Threat : Transnational Salafis And Jihad, dalam Jurnal Midle East Policy, Vol VIII, No.4 Desember 2001 (kutipan dari buku M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider. ) hlm.307
[5] al-Kutub at-Tis’ah: Shahih al-Bukhari, no: 2458 dan Shahih Muslim, no: 4601. 
[6] M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2017) hlm. 308

[7] Iffah Muzammil. Global Salafisme Antara Gerakan Dan Kekerasan. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013. Hlm. 215
[8] Ubaidillah. Global Salafism Dan Pengaruhnya Di Indonsia. Jurnal THAQAFIYYAT, Vol 13. No 1, Juni 2013. Hlm. 40

[9] Sahilun A.Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: PT Rajagrafindo, 1996), 23.
[10] Yusuf Al-Qardhawi, Akidah Salaf dan Khalaf (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 72.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR