KONSEP UMMATAN WASHATAN MENURUT MAHARAJA IMAM BAISUNI IMRAN


ISLAM DAN PEMBAHARUAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN
“Konsep Ummatan Washatan Menurut Baisuni Imran”
Oleh : Anang Bustami, Ahmad Ghozali
Abdur Raup, Kurniawati, Fitriyah

ABSTRAK
Al-Quran merupakan kitab hidayah bagi seluruh umat yang tidak terbatasi oleh ruang  dan waktu. Salah satu tntunan AL-Quran bagi kehidupan  umat terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 143. Umat ini adalah umat yang tawassuth, bersikap pertengahan., dan Allah menyifati mereka dengan ini, karena perkara yang paling dicintai oleh Allah adalah pertengahannya. Seiring dengan berjalannya waktu timbullah beberapa pembaharuan pemikiran keagamaan ditengah-tengah umat dan akhirnya menimbulkan beberapa pemikiran yang sifatnya sangat keras, seperti kriminalisasi atas dasar agama, pemaksaan keyakinan, selalu ingin benar sendiri dan tidak segan-segan menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain padahal masih dalam ikan saudara seaqidah. Peristiwa ini ternyata juga mendapatkan perhatian khusus oleh seorang ulama asal Kalimantan barat yang bernama Haji Moehamad Basioeni Imran (1885-1976) ulama pembaharu dari kerajaan sambas. Oleh sebab itu tulisan ini akan mengupas dengan tuntas mengenai Ummatan Washatan penafsiran pemikiran Basioeni Imran dengan beberapa pembahasan pendukung seperti Pandangan Beberapa ulama Tafsir Tentang Ummatan washatan, Pemikiran Beberapa Tokoh Tentang Pembaharuan Dan Moderasi Agama, Konsep Pemikiran Sang Maharaja Basioeni Imran Tentang Ummatan Washatan Dan Pembaharuan Pemikiran Keagamaan.
Keyword : Pembaharuan, Tafsir,  Ummatan Washatan, Modern





A. Latar Belakang
Semakin maraknya gerakan-gerakan moderasi agama/mewujudkan umatan wasatan dari beberapa organisasi di Indonesia. Hal ini sebenarnya mengembalikan marwah islam yang di dunia internasional dituding sebagai agama yang radikal. Menyebabkan islam menjadi agam yang dibenci oleh agama-agama yang lain. Padahal kenyataannya Islam sangat memegang teguh dan mengajarkan akan arti ummat pertengahn dan biasa di sebut umat pertengahan, artinya islam tidak radikal, tidak belok ke kanan ataupun belok ke kiri.
Namun sangat di sayingkan banayak para pemikir dan penggerak organisasi , yang saat itu menamakan dirinya moderasi agama tapi tak sadar dirinya telah tenggelam dalam dunia liberal, maka seperti apa hakikatnya umat yang moderasi itu? Maka dari itu tulisan ini akan menjadi mengupas kekaburan makna moderasi agama yang akan di tampilkan padandangan tokoh-tokoh pembaharu.
Issu moderasi agama adalah hasil dari buah pemikiran para tokoh agama, sebagai pelurusan makna ajaran agama. Keberagaman ini merupakan symbol bahwa Islam tak lagi menutup diri dengan perkembangan zaman.
Kalbar yang merupakan tempat yang sangat multi agama dan etnis juga terdesak untuk melahirkan pemikiran-pemikiran pembaharu yang sama. Maka ralevansi sangat dituntut sehingga agama dapat terjemahkan dengan baik di daerah dimana Islam ada. Salah satu tokoh ulama nusantara yang ada di Kalimantan barat adalah baisuni Imran, tokohnya yang pemikiran pembaharuannya juga bersambung kepada ulama-ulama timur tengah namun pemikirannya sangat ralevan dengan kebudayaan yang berkembang di Kalimantan Barat.
Oleh karena itu tulisan ini dibuat selain menjawab tudingan-tudingan miring terhadap Islam ini juga menjadi sumbangan kebangkitan pemikiran Islam di Kalimantan Barat, sebagai khazanah keilmuan yang mulai terlupakan oleh generasi masa sekarang ini.



B.  Pandangan Beberapa Ulama Tafsir Tentang Ummatan washatan
1. Al-Jaza’iriy : sebagai mufassir yang tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai luhur tafsir ma’tsur, indikatornya adalah masih tetap dengan penafsiran yang dikemukakan oleh para ulama-ulama seniornya seperti Ibnu Katsir yang menafsirkan makna “wassthan” ini dengan mengaitkannya dengan qiblat Ibrahim : beliau menyatakan : “ sesungguhnya kami mengubah arah kiblat kalian ke kiblat Ibrahim a.s dan kami pilih kiblat itu untuk kalian agar kami dapat menjadikan kalian umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain, sebab semua umat akan mengakui keutamaan mereka.
Yang dimaksud dengan kata “wasath” disini adalah pilihan yang terbaik. sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang-orang Quraisy adalah orang Arab pilihan, baik dari segi nasab ataupun tempat tinggal. artinya adalah yang terbaik. Ketika Allah menjadikan umat ini sebagai “Ummatan Wasthan” maka dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas. (Ibnu Katsir 1 :451)
2. Ibnu ‘ Asyur, beliau menjelaskan secara luas tentang “Ummatan Wasthan”. Secara etimologi kata wasath berarti sesuatu yang ada ditengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kedua, definisi terminologi bahasa, mkna washat adalah nilai-nilai Isalam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu.
Adapun makna “Umatan Wasathan” pada surat Al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling uatama amalnya.
Dari paparan tersebut kami pengambil dua poit penting yang ibnu asyur sampaikan diantaranya adalah :
a. Kemoderatan Islam menjelaskan bahwa teks-teks syariat (Al-Qur’an & sunah) adalah terbatas. Sedangkan peristiwa selalu berganti-ganti dan pengalaman (hasil percobaan) tidak tetap dan selalu berubah
b. Para ahli hikmah dari setiap agama berhak untuk mendapatkan ucapan terimakasih dan penghargaan.
Melihat dua definisi tersebut kami menganggap bahwa merupakan Terobosan bagus dari Ibnu ‘Asyur tenyang konsep “Ummatan Washatan”. Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dikeluarkan seluruh umat manusia. Mereka adalah umat yang moderat sebagaimana yang difirmankan Allah Swt.,“Demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang pertengahan (adil dan terbaik) agar menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Q.S. Al-Baqarah: 143).[1]
            3. Muhammad Talibi, menurutnya posisi atau kedudukan umat washat ditunjukkan kepada siapa saja yang berkehendak tanpa membedakan warna kulit, etnis daerah asal maupun kebangsaan.mereka memiliki beberapa tugas seperti mengemban amanah, berdakwah, menyaksikan, seimbang dalam memenuhi dua kebutuhan dasar manusia (jasmani dan rohani), menyaksikan atas risalah nabi dan menjaga kalam Allah dalam perjalan ejarah peradaban islam ummah washat pernah ada yaitu umat yang berada dibawah masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah.[2]
C. Pemikiran Beberapa Tokoh Muslim  Tentang Pembaharuan Dan Moderasi Agama
1. Pandangan Tokoh Muslim Timur Tengah Tentang Pembaharuan Dan Moderasi Agama
a. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah merupakan salah seorang tokoh pemikir, pembaharu Islam pada awal abad 19 M. Beliau lahir pada tahun 1266 H/1849 M disebuah distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr di provinsi al Bahirah, Mesir.
Sebagaimana umumnya keluarga Islam, pendidikan agama pertama didapat dari lingkungan keluarga. Pendidikan pertama ditempa dari ayahnya, Abduh Khair Allah, yang pertama menyentuh Abduh di ranah pendidikan. Keluarganya sangat memotivasi Abduh untuk menuntut ilmu terutama ayahnya. Guru pertama Abduh adalah ayahnya, ia belajar Al Qur’an dari ayahnya. Kondisi umat Islam pada masa hidup Abduh akhir abad 18 dan awal abad 19 adalah bagian dari rentetan sejarah kemunduran umat Islam.
Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh tidak terlepas dari karekter dan wataknya yang cinta pada ilmu pengetahuan. Gibb dalam Mukti Ali menyebutkan salah satu karya terkenalnya, Modern Trends in Islam, menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh. Keempat agenda itu adalah pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan amalan yang tidak benar[3]. Yaitu :
Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Kaum muslim tak perlu mempercayai adanyah karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Dalam pandangan Muhmmad Abduh, seorang muslim diwajibkan mengindarkan diri dari perbuatan dari perbuatan Syirik
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muahammad Abduh pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sain-sain modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebaba-sebab kemajuan yang telah mereka capai.[4]
Pembelaan islam, Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam.
Reformulasi, Agenda reformulasi tersebut dilasanakan Muhmmad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihadd. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Muhammad Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta dalam keadaan dalam keadaan tidak terkekang.
                          b. Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.[5] Gelar Sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh. Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya. Disinilah dia mulai membaca Alquran, menulis dan berhitung.[6] Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli.
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman.
Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria. Tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.
Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum tercemar unsur-unsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah teologi, Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh gerakan salafiyah.[7] Dalam hal ini, ada beberapa konsep pembaharuan yang dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu, sifat Tuhan, perbuatan manusia (Af’al Al-Ibad) dan konsep iman.
        a. Akal dan Wahyu
                           Menurut Rasyid Ridha, dalam masalah ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengikuti petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian, akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kepada mereka yang masih ragu-ragu.[8]
     b. Sifat Tuhan
                        Dalam menilai sifat Tuhan, di kalangan pakar teologi Islam terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan, terutama dari kalangan Mu’tazilah. dan Asy’ariyah. Mengenai masalah ini, Rasyid Ridha berpandangan sebagaimana pandangan kaum Salaf, menerima adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsiran maupun takwil.[9]
     c. Konsep Iman
                 Rasyid Ridha mempunyai dasar pemikiran bahwa kemunduran umat Islam disebabkan keyakinan dan amal perbuatan mereka yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karena itu, upaya pembahasan yang dilaksanakannya dititik beratkan kepada usaha untuk mengembalikan keberagamaan ummat kepada ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Pandangan Tokoh Muslim Indoneia Tentang Pembaharuan Dan Moderasi Agama
1.      Cak Nur (Nurcholis Madjid)
Cak Nur atau biasa di sebut Nurcholis Madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.
Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan.
2. K.H. Ahmad Dahlan 
Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy. adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib tetap Masjid Agung Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, tahun 1869.  Nama K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai menunaikan ibadah haji.
Setelah ia kembali ke Kauman, ia berniat ingin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Alasannya, karena ia merasa resah melihat keadaan umat Islam waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik. Dari kondisi inilah hatinya tergerak untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya menurut ajaran dari Al Quran dan Hadis.
Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini, didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tadjin (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab di Arab Saudi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir dan lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan nyata yang dilakukannya adalah memperbaiki arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul milik K.H. Ahmad Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.
 K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu dogma yang mati.
3. Syekh Muhammad Jamil Jambek
Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat.
Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

4. Abdul Karim Amrullah (HAMKA)
Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir. Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.
5. KH. Hasyim Ashari
Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.
KH Hasyim Asy'ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’.[10]


D. Konsep Pemikiran Sang Maharaja Baisuni Imran Tentang Ummatan Washatan Dan Pembaharuan Pemikiran Keagamaan
Program pengiriman para pelajar dari Indonesia oleh para sultan ke timur tengah merupakan titik awal perkembangan pembaharuan agama di Indonesia. Selain memiliki ikatan kerjasama atau keluarga para sultan dengan timur tengah, mereka para sultan juga memiliki harapan besar setelah kepulagan para pelajar-pelajar dari daerahnya dapat kembali pulang dan mengembangkan kampung halamannya.
Maharaja Imam Baisuni Imran merupakan salah satu pelajar yang di kirim ke timur tengah untuk menuntut ilmu setelah melaksanakan ibadah haji. Bertahun-tahun baisuni Imran mengembara menuntut ilmu pengetahuan di mekah dan mesir. Di sinilah baisuni Imran di pertemukan dengan pemikiran-pemikiran pembaharu yang sangat berkembang. Pemikiran pembaharuannya tidak bisa di lepaskan oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab di Mekah, hal ini di buktikan dengan pembenarannya dan kesetujuannya terhadap keberadaan wahabi di Mekah sebagaimana yang tertuang di dalam surat-menyuratnya[11]. Dan berikutnya pemikiran baisuni Imran juga tidak lepas dari pemikiran pemabahru ulama mesir, seperti Rasyid Ridho dan Muhammad Abduh. Hal ini juga di buktikan dari seringnya dialok surat menyurat antara baisuni Imran dan rasyid ridha.
Pasca di mulainya revolusi industri Farancis dan Inggris di akhir abad ke-18 memberikan respon yang sangat besar terhadap dunia Islam. Sehingga berujung dengan merubah budaya dan pemikiran Islam untuk terbuka dan memperbaharui ajaran Islam yang terkesan tertinggal dari dunia barat.   Inilah yang menjadi dasar lahirnya para pembaharu-pembaharu umat Islam, seperti rasyid rihda, muhammad abduh, hasan al banna, muhammad bin abdul wahab, muhammad ali passa, jamaluddin al-afghani, Dll.
Pemikiran muhammad bin abdul wahab (1115 H / 1703 M) yang merupakan pembaharu dalam pemurnian aqidah sangatlah pula berpengaruh kepada baisuni Imran. Hal ini lah yang menjadi legitimasi kuat oleh baisuni Imran bahwa wahabi tidaklah sesat di beberapa surat-suratnya. Keberadaan muhammad bin abdul wahab sebagai pembaharu sebenarnya ini adalah dorongan dari Internal kaum muslimin itu sendiri yang saat itu kondisinya terkesan berlebihan. Berlebihan dalam mnyanjug  sehingga berimplikasi dalam beribadah.
Kerasnya tudingan muhammad bin abdul wahab terhadap faham selain apa yang beliau ajarkan adalah sebuah kebid’ahan atau kekafiran. Hal ini tidak bia di lepaskan pula dari tempat dan lingkungannya, kita ingat bahwa beliau terlahir di najed, dan di situlah sejarah mencatat banyaknya golongan-golongan yang bertipikal keras, seperti arab badui, khawarij, bahkan musailamah al kazzab (sang pembohong) yang mengaku dirinya nabi.
Beredarnya tudingan eksternal terhadap kelompok wahabi juga tidak dapat di pisahkan dari keterancaman kerajaan turki usmani. Kekuasaan Amir bin sa’ud ingin memisahkan diri dari kerajaan turki usmani, dan bekerja sama dengan Muhammad bin abdul wahab serta pengikutnya untuk berjuang dan birjihad melawan muslim yang lain. Ada kontrak simbiosis mutualisme dari perjanjian ini, yakni amir bin sa’ud harus membantu penyebaran paham wahabisme dan Muhammad bil abdul wahab berjanji pula bersama pengikutnya untuk membantu amir bin sa’ud menguasai arab dan bebas dari turki usmani[12]. Sehingga beberapa literature mengatakan turki usmani karena merasa terancam dengan keberadaan Muhammad bin abdul wahab, menyebabkan pihak kerajana turki usmani memerintahkan ulama-ulamanya untuk membuat tulisan propaganda yang berupa penyudutan dan penyesatana paham wahabi.
Di sisi lain pemikiran baisuni Imran sangat di pengaruhi oleh pemikiran pembaharuan rasyid ridha (1282 H / 1865 M). Secara utuh pada dasarnya pembaharuan rasyid ridha sangat lebih terfokus pada pembaharuan umat Islam untuk melepaskan diri dari dunia kurafat dan kebidahan dariajaran tasawuf. Kesadaran ini beliau termotofasi dari pemikiran pembaharuan sekh abduh dan jamaluddin al-Afghani, walaupun sebelumnya beliau adalah penganut tarikat nahsabandiah karena hatinya terpaut kepada al imam ghazali dengan kitab uhya ulumuddin-nya[13].
Secara utuh pemikiran baisuni Imran di pengaruhi oleh kedua tokoh ini. Dari analisis penulis jelas bahwa kedua pemikiran tokoh ini sama-sama pembaharu yang memiliki pemikiran yang sangat keras, dan tak bertoleran kepada perbedaan bahwkan seorang Muhammad bin abdul wahab siap memusuhi isla yang tak sepaham dengannya.
Namun pembaharuan pemikiran baisuni Imran ulama kalabar sangat moderat satu contoh kemoderatannya tercermin dalam kitab al janaiz yang di karang untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat sambas kala itu, yang sedang berselisih perkara ikhtilaf.

“…Ini masalah dari dahulu kala khilaf-perselisihan di antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Akan tetapi setengah dari pada penulis-penulis atau pengarang-pengarang dan lain dari pada mereka di masa kita ini di dalam surat-surat kabar, majalah-majalah dan kitab-kitab sangat mencela talqin dan mencela orang-orang yang mengerjakannya. Seolah-olah taqin itu terbit sari orang-orang yang jahil dan bodoh semata-mata taka ada alas an sama sekali da’if. Maka mereka tidak cukup mengatakan mana yang benar mana yang salah saja, tetapi mereka jadikan talqin itu tempat celaan dan kata nista. Oleh karena itu, timbul perbantahan dan perpecahan belah sama sendiri dan perseteruan yang hebat yang sangat dilarang Allah. Yang [14]terlebih besar mudarratnya dari pada mudarrat talqin, jika di katakana talqin itu muadarrat[15].

Pernyataan ini yang menjadi persetujuan risa terhadap pernyataam H. Pabali Musa bahwa baisuni imran merupakan pemikir yang unik yakni reformis, tradisionalisme dan neo sufisme.
Baisuni Imran seorang reformis sebab beliau dalam pemikirannya selalu berkembang dan memberikan perubahannya secara pasti terhadap perkembangan Islam di bumi sambas, moderenisasi yang dibawanya dari timur tengah diaplikasikan dalam membangun kampong halamannnya. Terubkti dari peningkatan pendidikan yang lebih tertata rapi. Namun kemoderenisasian baisuni imran tidak pernah menjadi boomerang dan penghancur kebudayaan dan kearifan lokal yang sedang berlangsung di sambas, walau pemikiran dari timur tengah banyak yang menetang tahlil atau kebiasaaan tasawuf yang lainnya.
Saat beliau di sambas tidak membawa kerasnya pembaharuan Muhammad bin abdul wahab untuk membubarkan budaya tahlil di sambas, bahkan di buku hariannya beliau melaksanakan tahlil ketika di hari jumat. Inilah yang menyebutkannya sebagai pembaharu yang neo sufisme.
Pemikiran moderasi agamanya seharusnya bisa menjadi cermin dan kehhasan Kalimantan barat yang hari ini telah banyak terlupakan oleh para generasi mudanya. Sudah seharusnya bukan perbedannya yang dikedepankan sebab benturan yang sering terjadi pasti akan saling melempar cacian dan makian sedang itu sebenarnya lebih besar mudarratnya, dibandingkan memenangkan salah satu pihak.
Pemaknaan ummatan wasatan / moderasi agama oleh baisuni imran sudah seharusnya tertanam pada generasi muda. Sehingga ketika dihadapkan permasalah ikhtilaf, tidak terlarut di dalamnya, akan tetapi  sudah seharsunya para  pemikir islam dan generasi muda bangkit untuk mengedapkan ukhuwah islamiah.
E. Penutup
Pada kesimpulannya dari pemaparan di atas jelas bahwa umatan wasatan memiliki banyak makna oleh par atokoh ulama dari Indonesia ataupun dari dunia internasional. Namun demikiran yang paling di titik tekankan adalah pemikiran baisuni Imran ulama Kalimantan barat. Yang memiliki pemikiran terhadap umatan wasatan yang sangat berbeda dengan yang lain.
Ciri has dari pemikiran moderasi agama oleh Baisuni Imran adalah terletak pada reformis dan tradisionalis sehingga melahirkan neo sufisme. Adanya keseimbangan antara pemikiran modern dan pemikiran tradisonal. Sehingga tidak ada ketimpangan. Betul-betul membawa agama sialm lurus tak berat dan tak miring karena kepentingan.
Terakhir, Kami menyadari bahwa dalam penyusunan karya ini masih banyak kekurangan dan masih banyak memerlukan pembenahan. Oleh karena itu kami mengharap kepada segenap pembaca yang budiman untuk memberikan masukan baik berupa kritik maupun saran, baik secara lisan mapun secara tertulis. Kami akan dengan senang hati menerimanya. Harapan kami semoga karya tulis ini menjadi manfaat. Amin.
F. Daftar Pustaka
Afrizal Nur Dan Mukhlis. Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran; Studi Konparatif  Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Tafsir Aisyar At-Tafsir ( Jurnal An-Nur, vol.4 no.2, 2015)
A. Mukti Ali,  Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,.  ( Jakarta : Djambatan, 1995),
Andi Mappiaswan, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha Dalam Pengembangan Islam (Suatu Tinjauan Historis), Skripsi diajukan kepada UIN Alaudin Makasar
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994)
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, ( Yogyakarta : Qalam, 2002),  cet. ke-1
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000)
Muhammad Syamsul Huda, Pengaruh pemikiran teologi Muhammad bin abdul wahab terhadap pemerintahan Saudi Arabia ketiga, Tesis diajukan pkepada pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Risa, Perkembangan Islam di Kesutanan Sambas, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015)
Muhammad Baisuni Imran, Kitab al-Jana’iz, (Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah 1943)
Nor Elysa Rahmawati. Penafsirah Muhammad Talibi Tentang Ummatan Washatan dalam Al-Quran. (SKRIPSI Yang diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam Universitas Islam  Negri Sunan Kali Jaga Ygyakarta. 2014)
Nasution, Harun.. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang,1994)


[1]Afrizal Nur Dan Mukhlis. Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran; Studi Konparatif  Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Tafsir Aisyar At-Tafsir ( Jurnal An-Nur, vol.4 no.2, 2015)
[2] Nor Elysa Rahmawati. Penafsirah Muhammad Talibi Tentang Ummatan Washatan dalam Al-Quran. (SKRIPSI Yang diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam Universitas Islam  Negri Sunan Kali Jaga Ygyakarta. 2014) hlm. 102
[3] A. Mukti Ali,  Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,.  ( Jakarta : Djambatan, 1995), hlm. 365

[4] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.. 265
[5] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 280
[6] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, ( Yogyakarta : Qalam, 2002),  cet. ke-1, hlm. 64.
[7] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hlm. 18.
[8] Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hlm. 23

[10] Nasution, Harun.. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
[11] Maharaja Baisuni Imran menulis surat ini setelah dia mendapat khitob dari rasyid ridho yang isinya mengokohkan permintaanmu terkait masalah aturan dakwah  di tanah jawa. Dengan itu MBI memberikan balasan tentang keadaan masyarakt jawa dan melayu yang dianggapny masih sangat jumud dalam beragama. Disana juga dikabarkan tidak ada madrasah diniyah, kecuali pada akhir-akhir ini. Begitu juga ulama sangat sedikit di banding dengan banyknya jumlah penduduknya. Maka dari kata MBI tidak heran kalo mereka membenci paham wahabi, hal ini karna mereka masih belum mendengar isi kitab sayyid dahlan mufti mekkah yang telah menjadi pedoman bagi mereka kecuali isiniya membenci tatacara beragama yang di bawa oleh Muhammad abdul wahhab dan lainnya. Ia juga melihat pada sebagian kitab di jawa, yang dengan jelas telah mengkafirkan golongan wahabi. Bhkan ada seseorang yang bertanya kepada MBI, apakah wahabi islam atau kafir??dan dia jawab bahwa wahabi adalah muslim yang paling baik, paling kokoh imannya, dan paling jauh dari kesyirikan. Kemudian dia jelaskan tata cara ziarah kubur dan hukumnya, dan apa yang di perintahkan syariat islam dan larangan untuk menjadi kuburan sebagai masjid, mmberi kubah, dan memberi semen padanya. Dan membuat kebohongan dan bid’ah dalam agma yang di ingkari wahabi. Maka pendapat MBI bagi mereka yang konsen dalam dakwah agar memberikan pemahaman pada masyarakt bahwa wahabi adalah golongan salaf sholih dan masih dalam rel madzhab yang empat yaitu imam ahmad hanbal. Ini semua dapat ditempuh dengan mengirim majalah dan surat kabar dengan bahasa daerah yang dapat di mngerti oleh penduduk setempat. Juga dengan mengirim guru-guru ke pelosok negeri muslim. Dan bagi penduduk mekkah, maka dengan mencari ulama yang dapat berbhasa daerah tertentu agar memberikn pemahaman kepada para haji yang datang. MBI juga memberikan anjuran kepada ulama jawa dan melayu dua aatau tiga orang untuk memberikan pemahaman tentang wahabi kepada jamaah haji yang datang dari jawa dan melayu.
Sambas 7 rabiul awal 1345

Muhammad Syamsul Huda, Pengaruh pemikiran teologi Muhammad bin abdul wahab terhadap pemerintahan Saudi Arabia ketiga (Tesis diajukan pkepada pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Tidak diterbitkan) h. 5-6
[13] Andi Mappiaswan, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha Dalam Pengembangan Islam (Suatu Tinjauan Historis) (Makasar: Skripsi diajukan kepada UIN Alaudin Makasar) h.20-27
[14] Risa, Perkembangan Islam di Kesutanan Sambas, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015) , h. 102
[15]Muhammad Baisuni Imran, Kitab al-Jana’iz, (Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah 1943), h. 30-31. Lihat Risa, dalam buku Perkembangan Islam di Kesutanan Sambas, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015) , h. 102-103

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR