“Naskah Tafsir Surah Tujuh karya Muhammad Basuni Imran (1883-1976)”


ANANG BUSTAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab universal yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di dalamnya banyak mengandung petunjuk-petunjuk ilahi yang menarik untuk dikaji, termasuk juga tentang kemasyarakatan. Salah satu tokoh yang ikut mengkaji kandungan Al-Quran adalah Muhammad Basuni Imran. Dengan karya tafsir yang sederhana yang beliau tulis dan beliau ajarkan kepada masyarakat Sambas kala itu, yakni Tafsir Surah Tujuh. Ia mencoba menafsirkan al-Quran, yakni tujuh surah pendek sesuai dengan kondisi masyarakat Sambas pada masanya. Sehingga tokoh yang satu ini menarik untuk diteliti.
Naskah tafsir surat tujuh ini merupakan salah satu mahakarya ulama Kalimantan Barat pada bidang studi Al-Quran di awal abad 20, selain tafsir ayat puasa. Naskah ini dikarang oleh Maharaja Imam, Muhammad Basuni Imran yang ditulis tangan langsung dengan menggunakan bahasa Melayu beraksara Arab Melayu (Jawi) yang ditemukan di museum Tamadun Islam, yang dulunya adalah rumah tempat tinggal Maharaja Imam Sambas, kini masih tersimpan dan dapat kita jumpai hingga saat ini. Keberadaan hasil karya tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur masyarakat yang membangunnya, sehingga apa yang dihasilkan dalam karya tersebut merupakan replika atau sebuah deskripsi dari keadaan masyarakat pada waktu itu, yang berupa ajaran moral, filsafat, religiusitas dan unsur-unsur lain yang bernilai luhur. Peranan ulama beserta karyanya memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat, terutama dalam pembentukan kepribadian atau watak bangsa. Dengan demikian maka hasil karya ulama-ulama, perlu dikaji dan dipelajari kembali agar dapat diketahui dan dimengerti aspek-aspek atau nilai-nilai penting yang terkandung di dalam karya  tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga kegunaan karya tersebut benar-benar diketahui dan bermanfaat.
Oleh sebab itu adanya naskah penafsiran dari ulama tersebut kita bisa melmahami dan mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dalam menafsirkan ayat dengan menghubungkan dengan masalah sosial di tempat mereka atau kondisi sosial budaya di lingkungan  sekeliling mereka. Termasuklah pemikiran tokoh tafsir Indonesia yang difokuskan dengan membahas pemikiran tokoh tafsir Kalimantan barat asal kabupaten Sambas,maharaja imam Muhammad Basuni Imran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa yang dimaksud dengan  Muhammad Basuni Imran ?
2.      Bagaimana kondisi Naskah dari kitab Tafsir Surah Tujuh karya Muhammad Basuni Imran ?
3.      Bagaimana isi pembahasan yang ada  didalam naskah kitab Tafsir Surah Tujuh karya Muhammad Basuni Imran
4.      Bagaimana Metode penafsiran didalam kitab tafsir Surh Tujuh karya Muhammad Basuni Imran ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Muhammad Basuni Imran (1883-1976)
Muhammad Basuni  Imran adalah putra pertama (dari empat bersaudara) H. Imran Maharaja Imam bin H. Muhammad Arif  Maharaja Imam bin Imam H. Nuruddin bin Imam Mustafa. Lahir pada tanggal 25 Zulhijjah 1302 H bersamaan dengan tanggal 4 November 1883 M di Sambas (Badran, tt: 8). Ibunya bernama Sa’mi, wafat pada saat Basuni Imran dan ketiga adiknya masih kecil. Mereka kemudian diasuh oleh ibu tirinya bernama Badriyah (G.M. Ardhi, 2001: 4).
Berdasarkan keterangan Badran (salah seorang anak Basuni Imran), saat berusia enam hingga tujuh tahun Basuni Imran belajar Al-Quran dengan ayahnya sendiri dan kemudian disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR), dan sejak saat itu beliau telah memahami ilmu Nahwu dan Sharaf (kaidah bahasa Arab). Hal yang sama dikemukakan oleh Pijper[1]  bahwa Basuni Imran dalam suratnya menjelaskan: “Pada waktu saya berumur enam atau tujuh tahun, ayah saya mengajar saya membaca Al-Quran dan menyekolahkan saya di Sekolah Rakyat (volkschool). Kemudian saya diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu kitab al-Jurumiyah dan Kaylani”. Selain belajar dengan ayahnya, Basuni Imran juga belajar agama kepada Haji Muhammad Djabir[2]. Di SR beliau hanya sekolah selama dua tahun, untuk selanjutnya masuk ke Madrasah al-Sulthaniah dan belajar di sana selama 10 tahun.[3]
Setelah tamat mengaji Al-Quran dan sekolah di sekolah Melayu (Madrasah al-Sulthaniah) di Sambas, pada tahun 1317 H/1898 M Basuni Imran melanjutkan pelajaran agama Islamnya ke Mekkah.[4] Selain untuk menuntut ilmu agama Islam, di Mekkah beliau juga melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Di Mekkah, selama lima tahun Basuni Imran belajar kepada beberapa orang guru yaitu Tuang Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki (Arab). Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak, Basioeni Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau beliau belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa ilmu pengetahuan lain seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid beliau  belajar dari Syaikh Ali Maliki (seorang Arab).[5]
Pada tahun 1324 H/1905 M beliau disuruh pulang ke Sambas oleh orang tuanya. Sejak pulang dari Mekkah beliau secara rutin berlangganan majalah al-Manar.[6] Selain itu beliau juga mempelajari berbagai kitab berbahasa Arab dari Mesir.[7] Mulai tahun 1324 H/1905 M (setelah pulang dari Mekkah), Basuni Imran diangkat oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ (masjid Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas kepada putri-putri dan ahli istana.
Setelah tiga tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana Sultan Sambas, pada tahun 1327 H/1908 M Basuni Imran berangkant ke Cairo Mesir ditemani oleh saudaranya H. Achmad Fauzi Imran dan temannya H. Achmad Sood. Tujuan keberangkatannya adalah untuk melanjutkan pelajaran agama Islamnya pada sekolah menengah al-Azhar di Cairo, Mesir. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah tersebut beliau melanjutkan pendidikannya di  Madrasah Darudda’wah wal Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.[8] Di samping belajar secara formal di kedua lembaga pendidikan tersebut, Basuni Imran dan saudaranya bersama beberapa mahasiswa lainnya dari juga belajar secara privat kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar Sayyid Ali Surur al-Zankaluni[9]. Dari Muhammad Rasyid Ridha,  Basuni Imran banyak belajar ilmu tasir dan ilmu tauhid.  Menurut Badran[10] di Mesir BasUni Imran banyak menulis di majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad yang diterbitkan  oleh para penuntut ilmu di Mesir dengan pimpinan redaksi Muhammad Fadullah Suhaimi. 
Pada bulan Sya’ban 1331 H/1913 M Basuni Imran kembali ke Sambas karena ayahnya sakit keras. Pada tanggal 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913 H. Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah pulang dari Mesir, Basuni Imran tetap mendalami kitab-kitab fikih maupun kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar. Untuk meningkatkan kemampuannya, maka ia melatih diri dengan menulis beberapa kitab dan/atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga sering mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama melalui surat kepada redaksi majalah al-Manar.[11]
Setelah ayahnya wafat, maka jabatan Maharaja Imam mengalami kekosongan. Selanjutnya dengan besluit Sultan Muhammad Tsafiuddin tertanggal 9 November 1913 M, Basuni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas[12] menggantikan ayahnya. Jabatan sebagai Maharaja Imam ini diemban beliau hingga masa kemerdekaan Indoensia, saat kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-administratif.
Pada tahun 1974 M beliau menderita penyakit darah tinggi selama dua tahun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 M Haji Muhammad Basuni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari yang sama jenazah beliau dibawa ke Sambas dan dimakamkan di Kampung Dagang Timur Sambas.

B.     Kondisi Naskah kitab Tafsir Surah Tujuh karya Muhammad Basuni Imran (1883-1976)
Naskah ini merupakan naskah tulis tangan yang ditulis langsung oleh Maharaja Imam Sambas, H. Muhammad Basuni Imran pada tahun 1935 M. Penamaan naskah ini dengan nama “Tafsir Surah Tujuh Karya Muhammad Basiuni Imran” adalah nama yang penulis beri sendiri[13] mengingat dikalimat pembuka tentang alasan beliau mempriorotaskan menafsirkan enam surah pendek ditambah al-Fatihah. Karya beliau yang terkait dengan studi Al-Quran (pemahaman teks Al-Quran) yang ditulis beliau ini, lebih dominan pada upaya interpretasi surah-surah pendek Al-Quran, meskipun dalam naskah ini tidak dipungkiri ada juga ayat-ayat tertentu yang terpilihkan oleh beliau.
   
Gambar 1
Salah satu lembaran naskah yang berisikan alasan singkat Maharaja Imam Sambas melakukan penafsiran

Kondisi fisik naskah tafsir surah-surah pendek ini secara jelas dapat dideskripsdikan sebagai berikut[14]:
No
Kondisi Naskah
Keterangan
1
Jumlah Naskah
1 (satu) rangkap
2
Publikasi Naskah
Dipublikasikan di Kerajaan Sambas dan sekitarnya.
3
Judul Naskah
Tidak terdapat judul khusus kecuali berdasarkan nama-nama surah yang ditafsirkan
4
Pengarang
H. Muhammad Basuni Imran
5
Tahun Penyalinan
1935 M
6
Tempat penyimpanan
Museum Tamadun Islam, Bekas rumah Basiuni Imran, Sambas
7
Asal
Sambas
8
Pemilik
Pemuda Kabupaten Sambas
9
Jenis alas
Kertas
10
Kondisi fisik
Tidak lengkap, terlihat pada surat al-Fatihah ditafsirkan hanya sampai ayat kedua.
11
Penjilidan
Tidak terjilidkan selayaknya sebuah naskan/buku, terkecuali hanya masih berbentuk lembaran.
12
Watermark & Countermark
Tidak terdapat Watermark & Countermark
13
Garis Tebal & Tipis
Tidak terdapat Garis Tebal & Tipis
14
Garis Panduan
Berbentuk speri layaknya garis buku tulis yang ada pada abad tersebut dengan warna kebiru-biruan
15
Jumlah Kuras
2 (dua) Kuras
16
Jumlah Lembar
9 lembar
17
Jumlah halaman
16 Halaman
18
Jumlah Baris perhalaman
Rata-rata utuh 18 baris
19
Panjang & Lebar Naskah
17 cm X 21,5 cm
20
Panjang & Lebar Tulisan
13,5 cm X 19 cm
21
Penomoran Halaman
Menggunakan penomoran angka Arab
22
Huruf
Arab Jawi
23
Bahasa
Melayu
24
Jenis Khat
Terkesan sejenis Riq’i
25
Warna
Hitam
26
Halaman kosong
Halaman 12 kosong separuh
27
Kolofon
Tidak terdapat Kolofon
           

C.    Isi pembahasan yang ada  didalam naskah kitab Tafsir Surah Tujuh karya Muhammad Basuni Imran (1883-1976)
Dipilihnya enam surat (al-‘Ashr, al-Kautsar, al-Kâfirûn , al-Ikhlâsh, al-Falaq, an-Nâs) selain al-Fâtihah, adalah didasarkan argumentasi bahwa keenam surat tersebut merupakan surat-surat yang pendek yang sering dibaca ketika shalat dan sangat mudah untuk dihafal. Karena itulah untuk membantu pemahaman umat dan semakin membantuk menjadikan umat paham atas apa yang mereka baca ketika shalat, maka dengan tafsiran ini dipandang dapat membantu untuk tujuan tersebut. Karena dengan paham atas apa yang dibaca ketika shalat, tentu akan menjadikan shalat mereka menjadi lebih khusyu’ dan lebih tenang serta sabar dalam melaksanakan shalat, terlebih pada diri manusia itu terdapat kecendrungan untuk tidak sabar dan berkeluh kesah. wasta’înu bi ash-shabri wa ash-shalâta wa innahâ lakabîratun illâ ‘alâ al-khâsyi’în. innâ al-Insâna khuliqa halû’â’. idzâ massahu asy-syarru jazû’â’. idzâ massahu al-khairu manû’â’. illâ al-mushallîn.
1. Tafsir surat al-‘Ashr
Surat ini Maharaja Imam Sambas, H. Muhammad Basuni Imran, menginterpretasikannya sebagai surat yang memiliki pesan yang mesti dipahamai secara mendalam (tadabbur: istilah yang dipakainya) oleh setiap orang. Dimana ia memahami akan pesan yang terkandung dalam surat ini bahwa seseorang akan mengalami kerugian (khusrin) serta ketidaksejahteraan bahkan dipertegas dengan kata “sejahat-jahatnya kerugian” di sepanjang pergaulan dan kehidupannya. Kecuali bagi mereka yang mukmin yang percaya kepada Allah dan “hari kemudian” disertai kepercayaan akan adanya balasan atas segala perbuatan. Kemudian yang terkecuali lainnya adalah mereka yang senantiasa berbuat kebajikan serta saling berwasiat (member peringatan) kepada yang benar, dengan cara menyuruh kepada sesama untuk melakukan kebajikan serta menghalang sesame dari perbuatan yang jelek.
2. Tafsir surat al-Kautsar
Pada surat ini, Muhammad Basuni Imran, mengawalinya dengan statement bahwa surat ini adalah surat terpendek di dalam Al-Quran. Dalam perspektif Muhammad Basuni Imran, pemaknaan surat ini merupakan surat yang lebih mengedepankan keimanan daripada pemikiran, karena itu ia mengistilahkannya sebagai sebesar-besar makanan iman. Surat ini dipahaminya sebagai pernyataan Tuhan dimana Ia telah memberikan nikmat yang begitu banyak kepada Nabi Muhammad saw., berupa segala macam kemudahan dan kebajikan di dunia dan di akhirat serta mengistimewakannya dengan nama yang terkenal baik disepanjang sejarah. Karena itu pula selayaknya bagi setiap orang yang shalat, untuk selalu mengingatnya memahaminya sebaik mungkin terlebih ketika membacanya pada saat shalat.
3. Tafsir surat al-Kâfirûn 
Pada surat ini, Muhammad Basuni Imran, memberikan pemahaman bahwa dalam surat ini terdapat pembedaan antara ibadah tauhid dan ibadah syirk. Dimana ibadah tauhid merupakan ibadah yang pada dasarnya telah diajarkan bersamaan datang dan diutusnya para Nabi terdahulu. Sementara ibadah syirk merupakan ibadah yang hadir sebelum adanya para Nabi dan bukan merupakan ajaran yang diajarkan oleh para Nabi sebelumnya, justru sebaliknya disinilah upaya pembedaan antara agama yang dibawa oleh para Nabi dengan agama orang-orang musyrik yang menyembah segala yang diserupakan.
Gambar 2
Salah satu lembaran naskah yang berisikan kutipan tafsiran surah al-Kâfirûn

4. Tafsir surat al-Ikhlâsh
Surat ini dipandang Muhammad Basuni Imran, sebagai surat tauhid, melengkapi pemaknaan yang terkandung dalam surat al-Kâfirûn. Dalam perspektifnya, mengutip pandangan imam Hanafi; bahwa keesaan Allah dan shamadiyah-Nya serta menyingkirkan segala hal yang bersifat bid’ah dalam teologis sebagaimana yang diajarkan dimanifestasikan oleh teologi agama watsaniyyah. Dimana agama watsaniyyah dalam pemahaman teologi mereka menjadi anak bagi Tuhan, bahkan dalam pemahaman lebih lanjut agama watsaniyyah ini, memahamkan adanya tradisi “keberanakan dan kebapakan” secara teologis, serta dengan menetapkan adanya gelar ibu Tuhan, ibu “rabb”. Surat ini dalam perspektif Muhammad Basuni Imran lebih lanjut, interpretasi ahad dan shamad adalah menginginkan tidak adanya perilaku bid’ah dengan menyerupakan Allah dalam ibadah, termasuk memberlakukan selain Allah dengan pamaknaan tawâshul atau istisyfâ’, justru sebaliknya ahad dan shamad adalah sebagai upaya pemurnian tauhid.
Kemudian, menurut Muhammad Basuni Imran, surat al-Ikhlâsh dan al-Kâfirûn ini merupakan pembeda kepada surat al-Lahab. Secara eksplisit ia memberikan pemaknaan untuk surat ini, sebagai argumentasi agama tauhid yang menolak teologi agama watsaniyyah.
Gambar 3
Salah satu lembaran naskah yang berisikan kutipan tafsiran surah al-Ikhlâsh

5. Tafsir surat al-Falaq
Pada surat ini Muhammad Basuni Imran, memandangnya sebagai salah satu dari dua mu’âwizatain (perlindungan) yang berkedudukan sebagai penutup Al-Quran. Dalam surat ini, menurutnya memiliki hikmah yang besar yang terkandung di dalamnya. Dimana agama yang dibawa oleh Nabi Muhammas saw., rasul yang tertinggi kedudukannya, yang merupakan penyempurna ajaran terdahulunya, yang jika tanpanya tidaklah sempurna kita. Ialah Muhammad yang mengajarkan katauhidan, pengesaan Tuhan. Dengan penjelasan yang begitu rinci, hingga tauhidiyyah dalam ajarannya dipandang sebagai ruh ajaran oleh Muhammad Basiuni Imran. Dalam surat al-Ikhlâsh tambah Muhammad Basuni Imran, merupakan ajaran global tentang rukun-rukun katauhidan serta menghancurkan proyek ajaran kemusyrikan sebagaimana yang berlaku pada ajaran agama watsaniyyah. Karena itu dalam dua surat isti’âdzah terdapat permohonan perlindungan kepada Allah atas segala bentuk kejahatan yang menjadi penghalang kebajikan manusia baik secara fisik (jasad) maupun psikis (ruh) sekaligus dengan sifat-sifat wahdaniyyah Allah ‘azza wa jallâ. Dengan demikian, dalam surat ini, dipahami dimana Allahlah yang menjaga segala yang ada di dunia dari kejahatan-kejahatan segala makhluq baik di siang hari maupun di malamnya. Yang mana seyogyanya kejahatan senatiasa lebih bebas bergerak di saat gelap telah tiba, dan berada secara tersembunyi. Termasuk kejahatan yang dimaksud secara eksplisit oleh surat ini, sebagai kejahatan para tukang sihir dan para pelaku kejahatan lainnya, yang hanya mungkin terlindungi oleh kekuatan Tuhan.


6. Tafsir surat an-Nâs
Surat ini dalam perspektif Muhammad Basuni Imran, dipandanga sebagai surat yang berfungsi sebagai penjagaan selain pemahaman dengan fungsi sebagai pengingat kepada manusia dari segala kejahatan terutama yang tersembunyi di dalam diri yang dapat merusak aqidah pikiran manusia. Yang dapat merusak dan membuat fitnah kepada manusia secara individu maupun kelompok yang dilakukan oleh setan, manusia dan jin dengan menimbulkan rasa was-was di dalam hati. Karena itulah tambah Basiuni Imran, agar setiap manusia harus lebih manjaga diri mereka dari rasa was-was yang tersembunyi yang bersifat psikis (nafsani) dan syaethani, yang dimunculkan oleh setan tersebut. Setan-setan manusia dalam perspektif Basuni Imran pada surat ini, dipahami dapat berbentuk manusia yang mengajak kepada keyakinan dan perilkau yang bathil, yang selayaknya bagi manusia meminta pertolongan perlindungan atasnya kepada Tuhannya.  Kemudian, pengulangan kata “an-Nâs” dalam bentuk idhâfah adalah mempertegas bahwa kejahatan-keejahatan tersebut berasal dari manusia itu sendiri bukan lainnya.

7. Tafsir surat al-Fâtihah
Surat ini dalam perspektif Muhammad Basuni Imran, memiliki nama lain yang terkenal seperti fâtihah al-kitâb (al-Fâtihah), umm al-kitâb dan as-sab’u al-matsâniy dan surat ini merupakan surat pertama yang turun berdasarkan pada pandangan Rasyid Ridha (guru Muhammad Basuni Imran) merujuk pada periwayatan Ali karrama al-lâhu wajhah. Dari ini pulalah dasar penempatan surat al-Fâtihah sebagai surat pertama dalam urutan penulisan Al-Quran, bahkan penetapannya dengan nama umm al-kitâb.  Muhammad Basuni Imran menambahkan, bahwa mayoritas ulama berpandangan bahwa yang pertama-tama turun adalah al-‘Alaq sebelum al-Fâtihah. Surat pertama ini, merupakan awal kenabian Muhammad saw. dimana beliau merupakan Rasul yang tahu membaca bismi al-lâhi ta’âlâ dan yang akan mengeluarkan orang-orang yang ummi (yang tak tahu membaca dan menulis), dan hal ini dipertegas dengan QS. Al-Baqarah: 128, yang merupakan doa Nabi Ibrahim yang mengharapkan adanya seorang yang mampu menyelematkan turunannya dari kebutaaksaraan serta menyelamatkan mereka dari kesesatan.


D.    Metode Penafsiran didalam kitab tafsir surah tujuh karya Muhammad Basuni Imran (1883-1976)
Dari sekian teks dan surat yang diinterpretasikan oleh Muhammad Basuni Imran, nyaris tidak terdapat upaya mengungkap asbâb an-nuzûl sebuah metode klasik yang lazim digunakan dalam metodologi pemahaman teks Al-Quran, dalam penafsiran yang dilakukannya. Dari sekian banyak metode pemahaman teks Al-Quran klasik, beliau memiliki kecendrungan metodologis menggunakan metode munasabah dan metode ijmali dengan mengedepankan pendekatan linguistic.[15]
Namun secara umum orientasi tema yang diusung oleh Muhammad Basuni Imran dalam tafsirnya ini lebih banyak berbicara pada tema teologis. Hal ini bisa dikarenakan kondisi social-politik masyarakat dan kerajaan Sambas yang relative masih berada dalam pengaruh colonial Belanda, yang notabene adalah kemunitas non muslim. Tetapi secara interaksi social dan lainnya, sebenarnya Muhammad Basuni Imran tidak bersifat protektif sebagaimana sikapnya dalam memahami aspek teologis, justru beliau jauh ebih terbuka. Hal ini dapat diketahui, sebagaimana penuturan Badran Hambi, bahwa adik beliau Fawzi Imran pernah belajar di sekolah Kristen Belanda di Sambas.  Aspek lain yang menarik dari paparan produk tafsir Muhammad Basuni Imran ini adalah meski karya ini relative pendek dan sederhana namun hasil interpretasinya sangat banyak dipelajari oleh masyarakat Sambas. Terbukti dari tuturan Badran Hambi di atas, menunjukkah respon dan antusias baik dari masyarakat Sambas yang ada pada masa itu. Dari aspek metodologis dan pesan, beliau tidak begitu mengikat diri dengan berbagai metodologi tafsir Al-Quran klasik, tetapi justru beliau melakukan interpretasi atas teks terkesan begitu bebas dengan berbagai pengetahuan yang beliau miliki dan tidak mengikat diri untuk merujuk pada berbagai referensi kitab klasik atau teks Al-Quran lainnya dengan tidak bermaksud menafikan sebab kurangnya referensi yang dimiliki, bahkan hanya satu dua hadits saja yang dikutip dalam membangun argumentasi beliau. Logika linguistic serta pengetahuan keilmuan yang melatarbelakangi serta kondisi social masyarakat termasuk tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.[16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia banyak sekali melahirkan ulama-ulama, salah satunya  ulama asal Kalimantan barat kabupaten sambas beliau adalah Muhammad Basuni  Imran adalah putra pertama (dari empat bersaudara) H. Imran Maharaja Imam bin H. Muhammad Arif  Maharaja Imam bin Imam H. Nuruddin bin Imam Mustafa. Lahir pada tanggal 25 Zulhijjah 1302 H bersamaan dengan tanggal 4 November 1883 di Sambas (Badran, tt: 8). Ibunya bernama Sa’mi, wafat pada saat Basuni Imran dan ketiga adiknya masih kecil. Mereka kemudian diasuh oleh ibu tirinya bernama Badriyah (G.M. Ardhi, 2001: 4). Pada tanggal 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913 H. Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia.
Pada tahun 1974 beliau menderita penyakit darah tinggi selama dua tahun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 Haji Muhammad Basuni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari yang sama jenazah beliau dibawa ke Sambas dan dimakamkan di Kampung Dagang Timur Sambas.
Dipilihnya enam surat (al-‘Ashr, al-Kautsar, al-Kâfirûn , al-Ikhlâsh, al-Falaq, an-Nâs) selain al-Fâtihah, adalah didasarkan argumentasi bahwa keenam surat tersebut merupakan surat-surat yang pendek yang sering dibaca ketika shalat dan sangat mudah untuk dihafal. Karena itulah untuk membantu pemahaman umat dan semakin membantuk menjadikan umat paham atas apa yang mereka baca ketika shalat, maka dengan tafsiran ini dipandang dapat membantu untuk tujuan tersebut.

B. Saran
Makalah ini kami buat memang sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan saran pada semua pembaca agar nantinya makalah   ini bisa diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi bahan kajian atau bahkan bisa dijadikan bahan untuk dikoreksi.


DAFTAR PUSTAKA
Badran  Basioeni Imran.  Mengenal H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. (naskah ketikan,tt, td.)
Haitami Salim, Mohammad, dkk. 2010. Sejarah Kerajaan Sambas. Pontianak: STAIN Pontianak.
Moehammad Basioeni Imran.  Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. (1950). (Naskah Ketikan).
Luqman Abdul Jabbar. “TAFSIR AL-QURAN PERTAMA DI KALIMANTAN BARAT (Studi Naskah Kuno Tafsir Surat Tujuh  Karya Maharaja Imam Kerajaan Sambas 1883-1976)”. (Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies. Volume 5 Nomor 1 Maret 2015)
Zulkifli Abdillah. “Haji Moehamad Basioeni Imran (1885-1976) Ulama Pembaharu  Dari Kerajaan Sambas Kalimantan Barat:  Biografi Singkat Dan Karyanya”


[1]    Pijper, G.F.  Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. (diterjemahkan oleh Tudjimah). (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 18.
[2]    Haji Muhammad Djabir adalah anak dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif atau paman Basioeni Imran. Pernah berguru kepada Syekh Abu Bakri Syatha, Syekh Muhammad bin Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Karyanya (yang baru ditemukan) adalah Risalah al-Hajj (selesai ditulis 12 Rabiul Awwal 1331 H) (Moh. Haitami Salim, dkk. Op. Cit. hal. 103).
[3]    Gusti Mahyudin Ardhi. Op.Cit. hal. 4.
[4]    Moehammad Basioeni Imran.  Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. (1950). (Naskah Ketikan).
[5]    Pijper. op.cit.
[6]    Majalah ini pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan berikutnya menjadi majalah bulanan hingga berhenti terbit tahuan 1935. Azyumardi Azra menyatakan  bahwa majalah ini adalah karya pribadi Ridha dan memilki pengaruh yang tidak dapat dipandang remeh sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaharu atau modernis di dunia Melayu-Indonesia. Lihat lebih lanjut: Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 183-186. Lihat Juga:  Harun Nasution, Op.Cit., hal 70.
[7]    Badran  Basioeni Imran.  Mengenal H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. (naskah ketikan,tt, td.), hal. 8-9.
[8]    Moehammad Basioeni Imran. op.cit. Lihat juga:  Haitami Salim, Op.Cit., hal. 85.
[9] Salah seorang murid Rasyid Ridha (Harun Nasution, Op.Cit. hal.68).
[10]  Badran, op.cit., hal. 10-11.
[11]  Pijper, op.cit. Hal 145.
[12]  Moehammad Basioeni Imran. op.cit.
[13] Luqman Abdul Jabar, Peneliti pertama naskah tafsir Surah Tujuh
[14] Luqman Abdul Jabbar. “TAFSIR AL-QURAN PERTAMA DI KALIMANTAN BARAT (Studi Naskah Kuno Tafsir Surat Tujuh  Karya Maharaja Imam Kerajaan Sambas 1883-1976)”. (Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies. Volume 5 Nomor 1 Maret 2015) hlm. 102
[15] Luqman Abdul Jabbar. “TAFSIR AL-QURAN PERTAMA DI KALIMANTAN BARAT (Studi Naskah Kuno Tafsir Surat Tujuh  Karya Maharaja Imam Kerajaan Sambas 1883-1976)”. (Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies. Volume 5 Nomor 1 Maret 2015) hlm. 109
[16] Luqman Abdul Jabbar. “TAFSIR AL-QURAN PERTAMA DI KALIMANTAN BARAT (Studi Naskah Kuno Tafsir Surat Tujuh  Karya Maharaja Imam Kerajaan Sambas 1883-1976)”. (Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies. Volume 5 Nomor 1 Maret 2015) hlm. 110

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR