ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME “Orientalisme Dan Hadis: Pandangan Ignaz Goldziher Dan Joseph Schact Tentang Hadis”


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Studi mengenai Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun baru pada abad ke 18 gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme[1]. Meski telah banyak studi tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim.
             Respon umat Islam terhadap eksistensi orientalisme menunjukkan pandangan yang beragam. Sebagian mereka berpandangan bahwa orientalis merupakan momok yang harus disingkirkan jauh-jauh, tetapi bagi sebagian kalangan tidaklah demikian. Bagi kalangan akademisi, tentu hal ini tidak menjadi persoalan, selama pemikiran yang dikemukakan kalangan orientalis ditunjang oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Harus diakui bahwa persoalan orientalis memiliki dua sisi yang saling bertentangan secara diametral, negatif dan positif. Diantara orientalis ada yang memiliki pandangan yang subyektif, dan sebagian lainnya, ada yang bersifat obyektif.
             Kajian yang dilakukan orientalis tentang  ketimuran, terutama Islam dan peradabannya antara lain meliputi: Alquran, hadis, sejarah Islam, fiqh, ushul fiqh, teologi, filsafat, bahasa dan sastra. Terlepas dari tujuan awalnya, mereka secara umum melakukan kajian-kajian tersebut secara serius dan sungguh-sungguh. Selain kajian yang sifatnya tendensius, tidak sedikit kajian-kajian orientalis tentang keislaman memberikan apresiasi positif, dengan argumentasi-argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat disebutkan bahwa kajian yang dilakukan Orentalis tentang studi ke-Islaman tidak terlepas dari pro-kontra baik dari kalangan umat Islam (insider) maupun dari kalangan Orientalis sendiri (outsider). Salah satu kajian yang menuai polemik dimaksud adalah studi dalam bidang hadis. Diantara tokoh-tokoh Orientalis yang cukup concern dalam melakukan studi terhadap hadis adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht.
B.     Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Biografi dan pandangan Ignaz Goldziher tentang Hadis?
2.      Bagaimana Biografi dan pandangan Joseph Schact tentang Hadis?
3.      Bagaimana Respon Muhammad Mustafa Al-Azami terhadap pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact mengenai Hadis?


BAB II
PEMBAHASAN

1.         Biografi dan pandangan Ignaz Goldziher tentang Hadis

Ignaz Goldziher lahir di Szekesfehervar, Hongaria, pada bulan Juni 1850 dan wafat tahun 1921. Ia adalah salah seorang sarjana Barat yang sangat dipertimbangkan di antara para pendiri kajian Islam modern di Eropa. Dari segi pendidikannya, ia pernah belajar di beberapa Universitas. Di antaranya adalah Budapest, Berlin, Leipzig, dan Leiden, atas dorongan Baron Eotvos, mentri kebudayaan Hongaria. Dengan beasiswa dari negaranya, di Berlin ia belajar dengan Prof. Rodiger tahun 1868. Pada tahun yang sama, di Leipzig ia belajar dengan H.L. Filscher dan G. Ebers. Di bawah bimbingan Rodiger inilah ia berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun.
Sesudah mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena, ia kemudian diangkat menjadi dosen tetap di Budapest sejak 1872. Pada tahun berikutnya, berkat bantuan pemerintah Hongaria, ia memulai perjalanan ke Siria, Palestina, dan Mesir. Di negara yang disebutkan terakhir inilah ia mendapat kesempatan untuk menghadiri kuliah-kuliah dari beberapa syaikh di masjid al-Azhar di Kairo
Luasnya keilmuan yang dimiliki oleh Ignaz Goldziher dapat dilihat dalam banyak karya tulisnya yang dianggap sebagai salah satu rujukan utama tidak saja mengenai mengenai studi Islam, tetapi juga sastra Arab. Di antara karyanya itu yang terpenting adalah:
a. Vorlesungen ungen Den Islam, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi: Introduction to Islamic Law. Buku ini berisi tentang perkembangan teologi dan hukum Islam secara umum, dan hadis khususnya.
b. Muhammedanische Studien, tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang hadis. Diterjemahkan kemudian dengan judul Muslim Studies. Pada volume II dari buku ini Goldziher memperlihatkan kajiannya yang mendalam tentang hadis, berangkat dari konsepsi pemikirannya tentang sejarah sebelum Islam pada volume I dari bukunya ini.
c. Die Zahiriten, Iihr Lhrsystem und Geschitchicte (Leipzig 1884), membahas perkembangan sejarah mazhab Zahiri. Buku ini terbit dalam versi bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Wolfgang Behn dengan judul The Zahiris; Their Doctrin and Their History, A Contribution to the History of Islamic Theology.
d. Die Richtungen Der Islmichen Koran Auslegung (Leiden 1920), yang  kandungan isinya hampir sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam.15 Adapun di bidang sastra, ia banyak mengedit dan mempublikasikan manuskrip Arab kuno di samping menulis sendiri sejarah sastra Arab.

Diantara pandangan Goldziher tentang hadis adalah bahwa sebagian besar hadis tidak bisa dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran yang bersumber dari Nabi. Sebagian besar materi hadis yang ada dalam koleksi kitab hadis bersumber dari hasil perkembangan keagamaan, historis dan sosial Islam yang bersumber dari tokoh-tokoh hadis pada dua abad pertama (abad I dan II H).[2]Dalam bukunya, Muhammedanische studien, Goldziher menyatakan keraguannya atas kesejarahan dan kesahihan hadis, dan ia cenderung skeptik. Alasan meragukan kesahihan hadis: Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya. Kedua, adanya hadis yang kontradiksi satu sama lain. Ketiga, koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Keempat, sahabat kecil yang lebih banyak meriwayatkan hadis daripada sahabat besar. Atas dasar ini juga ia merasa lebih yakin telah terjadi pemalsuan hadis dalam skala besar.
Para ulama hadits menetapkan lima syarat bagi shahihnya sebuah hadits. Di antara kelima syarat tersebut, tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matan. Yang berkenaan dengan sanad, di samping sanad harus bersambung, semua perawinya juga harus siqat dan dhabit. Sedangkan yang berkaitan dengan matan adalah keharusan tidak adanya syaz dan ‘illat pada hadits tersebut. Goldziher memandang bahwa secara faktual penelitian keabsahan hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kesalahan metode yang dipakainya. Hal itu karena para ulama, menurutnya, lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan kritik matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan metode baru yaitu kritik matan saja.[3]
Ia menyatakan bahwa untuk memahami dan menetapkan keshahihan hadits, tidak hanya disandarkan pada analisa terhadap sanad hadits saja, lebih jauh hal tersebut dilakukan guna menggambarkan sampai sejauh mana hubungan teks hadits dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi sosial politik di mana hadits tersebut muncul.
Ia menyarankan bahwa studi hadits juga harus diupayakan untuk mengetahui atau tidak adanya hubungan materi hadits dengan situasi yang sedang terjadi saat itu.
Kesemua pandangan-pandangan Goldziher tersebut, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa hadits sebagai corpus yang berisikan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw., jika dilihat dari sejarah perkembangan yang kerapkali berbaur dengan kepentingan politik, maka akan sulit meyakinkan bahwa otentisitas hadits dapat dipertanggungjawabkan.
Diantara hadis yang diragukan Goldziher, yang dalam pandangannya hadis tersebut bukan sabda Nabi saw, tetapi merupakan hasil buatan Ibnu Shihab al-Zuhri, yakni hadis tentang perintah menuju tiga masjid. Dalam Sahih Bukhari, ada hadis yang berbunyi:  “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, yakni mesjid al-Haram, mesjid Nabawi dan mesjid al-Aqsha.” Hadis ini bernuansa politis, yang dibuat oleh al-Zuhri atas perintah Abdul Malik bin Marwan (Khalifah Bani Umayah di Damaskus). Khalifah khawatir orang-orang Syam berbondong-bondong menuju Mekkah, yang kemudian dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zuber, sebagai oposisinya yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Mekkah, agar berbaiat kepadanya. Melalui hadis ini diharapkan orang-orang Syam dapat berhaji di Syam, dan tidak pergi ke Mekkah. Untuk mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan Ibnu Syihab al-Zuhri agar ia membuat hadis dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah, hadis yang berisi tentang perintah untuk pergi ke tiga masjid, yakni Masjid al-Haram (Mekkah), Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjid al-Aqsha (Yerusalem/Syam).

2.        Biografi dan pandangan Joseph Schacht tentang Hadis
Joseph Schacht atau Joseph Franz Schacht dilahirkan pada 15 Maret 1902 di Rottburg (Sisille), Jerman. Dan ia meninggal pada 1 Agustus 1969 di Englewood New Jersey Amerika Serikat. Schacht adalah seorang professor berkebangsaan Inggris dan Jerman dalam bidang Bahasa Arab dan Islam di Universitas Columbia New York Amerika Serikat. Dia adalah sarjana Barat terkemuka dalam bidang hukum Islam. Bukunya yang berjudul The Origins of Muhammad Jurisprudence (1950) merupakan karya yang sampai saat ini disebut-sebut sebagai “Kitab Suci Kedua” di kalangan orientalis sesudah buku karangan Ignaz Goldziher yang berjudul Muhammedanische Studien (1889).
Schacht dilahirkan dalam keluarga Katolik, dengan didikan yang fanatik di usia awal sekolah pada sebuah Sekolah Yahudi. Ia memulai studinya pada tingkat perguruan tinggi dengan mendalami ilmu filologi klasik, teologi, dan bahasa-bahasa timur di Universitas Prusla dan Leipzig. Pada tahun 1925, Schacht mendapat jabatan akademik pertamanya sebagai pengajar di Universitas Albert-Ludwigs Freiburg, Breisgau Jerman. Dan pada usia 27 tahun, tepatnya pada tahun 1929, dia menyandang guru besar dalam bidang Bahasa Semit. Kemudian pada tahun 1932, Schacht pindah ke Universitas Kingsburg. Namun, pada tahun 1934, tanpa rasa takut akan terancam jiwanya, dia termasuk seorang yang sangat menentang rezim Nazi, hingga ia memutuskan untuk pergi ke Kairo dan mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo, Mesir) hingga tahun 1939. Dan pada saat Perang Dunia II pecah, ia menetap di Inggris dan bekerja di Kantor Berita BBC. Dan pada tahun 1947 ia resmi menjadi warga Negara Inggris.
Schacht juga tercatat sebagai pengajar di Universitas Oxford sejak tahun 1946. Dan pada tahun 1954 ia pindah mengajar di Universitas Leiden Belanda. Pada tahun akademik 1957-1958 ia mengajar di Universitas Columbia, dan pada tahun 1959 ia memperoleh gelar professor Bahasa Arab dan Kajian Islam. Dia tetap mengajar di Universitas Columbia hingga ia meninggal pada tahun 1969 sebagai professor emeritus.
Sebagai akademisi, Schacht tergolong produktif, kendati ia seorang pakar hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis, Antara lain, Kajian tentang Manuskrip Arab, Tahqîq (Edit-Kritikal) atas Manuskrip-Manuskrip Fiqih Islam, Kajian tentang Ilmu Kalam, Kajian tentang Fiqih Islam, Kajian tentang Sains dan Filsafat dan Kajian-kajian keislaman lainnya. Karya Joseph Schacht yang paling menonjol adalah “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang terbit pada tahun 1950, dan “An Introduction to Islamic Law” yang terbit pada tahun 1964.

Secara umum, melalui buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence” (terbit tahun 1950) yang sangat monumental bahkan disebut sebagai “kitab suci” kedua bagi Orientalis, Schacht mengajukan a skeptical method terhadap bentuk-bentuk kritik periwayatan hadis, bahkan Schacht memandang bahwa secara keseluruhan sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadishadis sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan para sahabat adalah tidak asli (not genuine). Sehingga, ia berkesimpulan bahwa Hadis Nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriah.
Dengan merujuk pada tiga tulisan Schacht di atas, pemikiran Schacht tentang keaslian hadis dapat dapat diringkas dalam lima poin: Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumbersumber klasik. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
Schacht mengemukakan tiga teori besar yang dapat digunakan untuk menguji keaslian hadis, yaitu: (1) Teori Projecting Back, (2) Teori E Siliento, dan (3) Teori Common link. Terkait teori-teori ini, H.A.R.Gibb (1895-1971) pernah berkomentar: “Buku itu (teori-teori yang dibangun Schacht) akan menjadi pondasi bagi seluruh kajian masyarakat dan hukum Islam di masa mendatang, paling tidak, di Barat”[4]


a.       Teori Projecting Back
Menurut teori yang pertama ini, untuk membuktikan otentisitas suatu hadis dapat dilakukan dengan merekonstruksi hadis tersebut melalui penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam dengan hadis tersebut. Yakni, dalam pembentukkan hukum Islam ada upaya memproyeksikan pendapat-pendapat qadhi (hakim agama) kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Teori Schacht ini dilandasi hasil penelusuran sejarah bahwa “Khalifah-khalifah pertama tidak menunjuk para qadhi”. Dia kemudian menegaskan bahwa Bani Umayyah “mengambil langkah penting dengan menunjuk para hakim atau qadhi”. Hal ini mengarahkannya untuk berkesimpulan bahwa “sebagian besar abad pertama Hijrah, hukum Islam, dalam artian teknis belum ada”.[5]
Teori Schacht ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi (w.104 H). Sehingga, sanad lengkap dalam hadis tersebut yang sampai ke Rasulullah SAW dapat dianggap pula sebagai ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan memberi legitimasi hadis tersebut sebagai hadis nabi.
b.      Teori E Siliento
Menurut teori ini, “That legal hadith not adduced in a juristic dispute did not exist prior to that dispute” Yakni, untuk membuktikan hadis itu asli (ada) atau tidak, cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Dan, seandainya hadis tersebut pernah ada pasti hadis itu akan dijadikan sebagai referensi. Teori ini juga menyebutkan bahwa bila seorang perawi pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya, atau jika satu hadis oleh ulama atau perawi yang datang kemudian yang mana para perawi sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Atau dengan kata lain, Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan.
c.       Teori Common link
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu Hadis dari seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya kembali kepada dua atau lebih dari muridnya. Keberadaan Common link (tokoh penghubung/common trasmitter) dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa Hadis itu berasal dari masa tokoh tersebut. Dengan kata lain, Common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam bundel isnad yang meneruskan Hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika bundel isnad Hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan Common link-nya. [6]Teori ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat Hadis), maka semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan atau shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara otentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur, sementara yang hanya bercabang satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya kebenarannya (dhaif).

3.      Respon Muhammad Mustafa Al-Azami terhadap pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schact mengenai Hadis
Muhammad Mustafa Al-Azami nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad Mustafa al-A’zami. Pakar Hadis masa kini ini lahir di Kota Mano, Azamgarh Uttar Pradesh, India Utara, pada tahun 1932. Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Islam (setara SLTA), Azami kemudian melanjutkan studi di College of Science Deoband. Kampus ini merupakan sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam (Islamic studies).[7]
Keinginannya yang kuat akan intelektualitas sangat mendorong dirinya untuk melanjutkan studi lagi ke Fakultas Bahasa Arab Jurusan Tadris di Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Ia lulus tahun 1955.
Setelah memperoleh ijazah al-’Alimiyyah Universitas al-Azhar, lalu ia kembali ke negaranya. Pada tahun 1956, Azami diangkat sebagai dosen bahasa Arab untuk orang-orang non-Arab di Qatar. Berikutnya, pada tahun 1957, ia ditunjuk menjadi Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Dan pada tahun 1964, Azami melanjutkan studi di Universitas Cambridge Inggris, hingga meraih gelar doktor pada tahun 1966 dengan disertasi berjudul “Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts” (Kajian seputar Literatur Hadis Masa Dini dengan KritikalEdisi sejumlah Naskah Kuno) atau “Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih” (Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya). Disertasi ini telah dijadikan buku dan diterbitkan oleh penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta.
Terkait dengan hadis tentang perintah pergi ke tiga masjid, yang menurut Goldziher dibuat oleh al-Zuhri, Menurut Mustafa Ya’qub, dengan mengutip pendapat Azami, bahwa para ahli
tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al- Zuhri antara tahun 50 – 58 H. al-Zuhri belum ketemu Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Mekkah menjalankan ibadah haji. Dapat diperkirakan Abdul Malik baru berfikir untuk membangun Qubah Shakhra (Masjid al-Aqsha) sekitar tahun 68 H. Apabila demikian halnya, maka al-Zuhri ketika itu baru berumur 10-18 tahun, hal ini tidak logis popularitasnya sampai ke luar wilayahnya sendiri, di mana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Syam (Jerusalem). Lagi pula di Syam saat itu masih banyak para sahabat dan tabi'in, dimana mereka tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu
Terkait pendapat Schacht, bahwa transmisi (silsilah) sanad dan materi hadis, khususnya berkaitan dengan hukum Islam, dibuat dan dirumuskan oleh para ulama fikih/hadis yang hidup pada abad II dan III H. Oleh karenanya dalam pandangan Schacht, tidak akan menemukan satu buah hadispun yang benarbenar otentik bersumber dari Nabi. Dengan mengutip pendapat Azami, Ali Mustafa Ya’qub menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian Azami telah ditemukan naskah-naskah klasik, antara lain milik Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Dia adalah murid Abu Hurairah, karenanya sanad naskah hadis tersebut adalah Nabi saw Abu Hurairah-Abu Shalih- Suhail. Pada tabaqat Suhail jumlah rawinya sekitar 20-30 orang yang terpencar di berbagai tempat. Oleh karenanya sangat sulit diterima untuk ukuran ketika itu mereka berkumpul untuk membuat hadis palsu yang memiliki makna dan redaksi yang sama. Demikian halnya naskah hadis lainnya, yang pada setiap tabaqatnya memiliki periwayat yang banyak dan domisili yang berbeda-beda.

Kegigihan  Azami untuk mempertahankan kesahihan hadis. Dalam  karyanya, Studies in Early Hadith Literature dan On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisfrudence, ia mengoreksi pendapat para pengkaji hadis di Barat terutama Schacht. Azami berpendapat bahwa hadis yang terdapat dalam koleksi hadis klasik dapat dipercaya kesahihannnya dan tidak ada alasan untuk menolak system isnad, karena isnad termasuk system yang dapat dipercaya. Menurut hasil penelitian Azami kegiatan tulis menulis secara intensif sudah ada sejak masa Nabi saw dan kegiatan ini dilanjutkan pada masa Bani Umayah. Untuk mempertahankan reliabilitas isnad, Azami menyatakan bahwa sejak masa Nabi, para sahabat secara umum sudah terbiasa meriwayatkan hadis Nabi kepada orang yang tidak mendengar atau mendatangi majlis Nabi dan secaara alami mereka mengatakan, "Nabi saw mengatakan demikian" atau "Nabi saw berbuat demikian".[8]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dua tokoh orientalis yang sangat terkemuka yakni Ignaz Goldziher dan Joseph Schact concern pada pembahasan Hadis Nabawi. Kedua tokoh ini sangat disegani apalagi dengan karya-karya mereka yang menjadi rujukan para orientalis lain setelah mereka.
Ignaz Goldziher lahir di Szekesfehervar, Hongaria, pada bulan Juni 1850 dan wafat tahun 1921. Ia adalah salah seorang sarjana Barat yang sangat dipertimbangkan di antara para pendiri kajian Islam modern di Eropa.
Joseph Schacht atau Joseph Franz Schacht dilahirkan pada 15 Maret 1902 di Rottburg (Sisille), Jerman. Dan ia meninggal pada 1 Agustus 1969 di Englewood New Jersey Amerika Serikat.
Ignaz Goldziher lebih memprioritaskan pada kajian kritik matan Hadis yang bernuansa politik. Sedangkan Joseph Schact lebih memprioritaskan pada Hadis yang bernuansa hukum Islam. Dia juga mengemukakan tiga teori yakni, teori Projecting Back, teori E. Siliento, dan teori Common Link.
Respon terhadap pandangan mereka terhadap hadis di counter oleh Ulama Hadis terkemuka yakni  Syekh Muhammad Mustafa al-Azami yang berasal dari India Utara.
       B. Saran
Makalah ini kami buat memang sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan saran pada semua pembaca agar nantinya makalah   ini bisa diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi bahan kajian atau bahkan bisa dijadikan bahan untuk dikoreksi.





DAFTAR PUSTAKA

Aan Supian, studi hadis di kalangan orientalisme. NUANSA Vol. IX, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, pemikiran orientalis terhadap kajian tafsir hadis,  ADDIN, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.

Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Yogyakarta: LkiS,  2007.

Azami, M. M. 2004. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum (terj. Asrofi Shodri dari buku asli On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence oleh). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Cahya Edi Setyawan,  Studi hadis: analisis terhadap pemikiran schacht dan a'zami. Zawiyah, jurnal pemikiran Islam  Vol. 4 No. 1 Juli 2018

H.A.R.Gibb. 1951. Journal Of Comparative Legislation and International Law. Seri ke3.Vol. 34. Bagian 3-4.

Hanafi,  1981. Orientalisme, Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Syarifah, Umaiyatus. 2014. Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadis (Counter atas Kritik Orientalis), Jurnal Ulul Albab, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 15, No.2.



[1] Lihat The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hlm. 200. “Orientalisme” berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berarti terbit. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda yang berarti pendirian, ilmu, paham keyakinan dan sistem. Jadi menurut bahasa, “orientalisme” dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. Secara terminologis, Istilah orientalisme mengandung banyak pengertian. Orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya. Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais dalam bukunya Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1986, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Suatu pengertian lainnya tentang orientalisme suatu bidang kajian keilmuan, atau dalam pengertian sebagai suatu cara, metodologi yang memiliki kecenderungan muatan integral antara orientalisme dengankegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menguasai, memanipulasi bahkan mendominasi dunia Timur. Orientalis merupakan segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadat dan ilmu-ilmunya. Lihat: A. Hanafi,  Orientalisme, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981, hlm. 9,
[2] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, Yogyakarta: LkiS,  2007, .hlm. 2.
[3] Abdul Karim, pemikiran orientalis terhadap kajian tafsir hadis,  ADDIN, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013. Hlm. 324
[4] H.A.R.Gibb. 1951. Journal Of Comparative Legislation and International Law. Seri ke3.Vol. 34. Bagian 3-4. Hlm. 114
[5] Azami, M. M. 2004. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum (terj. Asrofi Shodri dari buku asli On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence oleh). Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm. 23
[6] Syarifah, Umaiyatus. 2014. Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadis (Counter atas Kritik Orientalis), Jurnal Ulul Albab, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 15, No.2, hlm. 234 
[7] Cahya Edi Setyawan,  Studi hadis: analisis terhadap pemikiran schacht dan a'zami. Zawiyah, jurnal pemikiran Islam  Vol. 4 No. 1 Juli 2018. Hlm. 4
[8] Aan Supian, studi hadis di kalangan orientalisme. NUANSA Vol. IX, No. 1, Juni 2016. Hlm. 32

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA BERFIKIR (MANTIQ) TA'RIF ATAU DEFINISI

ULUMUL QURAN "ILMU FAWATIHUS SUWAR" (PEMBUKA SURAH-SURAH)

ADAB DAN SYARAT MUFASSIR