STUDI NASKAH TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER “Imam Al-Qurtubi dan kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an”
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Tafsir menurut sebagian
ulama memiliki arti ilmu yang membahas tentang hal ihwal Al-Quran dari sisi
maksudnya sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, sesuai dengan kemampuan
manusia.[1] Salah satu tokoh tafsir yang terkenal
masyhur adalah Imam Al-Quthubi dengan kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Seorang tokoh yang terkenal dengan sifat zuhudnya dan
masih banyak lagi perilaku-perilaku beliau yang membuat kita kagum kepadanya.
Makalah ini terfokus kepada studi naskah tafsir al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an karya Imam Al-Qurthubi yaitu cuplikan dari penafsiran
al-Quthubi dan juga akan membahas secara singkat dan padat terkait dengan
biografi Imam Al-Qurthubi dan karya-karyanya yang lain hingga melahirkan
pokok-pokok pembahasan penting yang penulis sajikan di dalam makalah ini.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah
kehidupan imam al-Qurtubi ?
2.
Bagaimana Penjelasan Karya Imam Al-Qurthubi: al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an?
3.
Bagaimana
Penafsiran Al-Qurthubi Terhadap Qs Al-Baqarah 221 ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Al-Qurthubi
Imam
al-Qurthubi memiliki nama asli Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin
Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Quthubi al-Imam. Beliau wafat pada
tahun 671 H di kediamannya di Munyah Bani Khushaib, Mesir. Seperti orang-orang
pada umumnya pada saat itu, tahun kelahiran Imam Qurthubi tidak diketahui dan
belum dicatat dengan baik, karena orang-orang dahulu tidak begitu mempersoalkan
tahun kelahiran. Hanya saja ketika ia besar dan menjadi ulama besar,
orang-orang belakangan menuliskan tahun wafatnya.
Beberapa
komentar datang dari para ulama seperti Al-Dzahabi yang menyebut bahwa beliau
adalah pakar ilmu agama, mutafannin wa mutabahhir fi al-‘ilm (yang ahli
dan pakar keilmuan agama). Nama Al-Khazraj dalam rentetan nama Qurthubi adalah
nisbah atau keterkaitan dia dengan kabilah Khazraj, salah satu kabilah yang ada
di Madinah al-Munawwarah. Di Madinah sendiri terdapat dua kabilah , kabilah
Al-Khazraj dan Aus. Adapun al-Qurthubah (Kordoba) adalah sebuah negara yang
besar yang terletak di Andalusia, Spanyol. Tercatat dari sana banyak ulama
Islam yang lahir di masa lampau dan saat ini dalam berbagai bidang, termasuk
tafsir.
Imam
Al-Quthubi memiliki dua orang anak, yag pertama adalah ‘Abdullah dan yang kedua
adalah Shihab Al-Din Ahmad. Sejak kecil Imam al-Qurthubi telah dididik dan
menerima ilmu agama dari para ulama dan masyayikh, termasuk ayahnya. Dia
senantiasa dalam bimbingan ayahnya sampai ketika ayahnya meninggal karena suatu
peristiwa pada 627 H, ia menuliskan tentang peristiwa tersebut pada saat
menjelaskan firman Allah.
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati bahkan
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Imam al-Qurthubi semasa hidupnya, belajar banyak cabang ilmu
keagamaam, diantaranya adalah ilmu bahasa Arab, Fikih, Ushul fikih, Nahwu, Ulum
al-Qur’an, Qiraat, Hadis, Ilmu Rijal, dan lain sebagainya. Ia tidak hanya
belajar dari Masyayikhnya tetapi banyak sekali membuka-buka kitab para ulama
dan mengkajinya. Al-Qurthubi mengatakan bahwa ia banyak sekali membaca kitab
al-Muqri al-Fadhil Abu ‘Amr ‘Utsman bi Sa’id bin ‘Utsman yang wafat pada tahun
444 H. Ia juga membaca kitab Syarh Alfadh al-Gharib min al-Shahih li Muhammad
bin ‘Isma’il karya Abu al-Asbagh bin Sahl. Kemudian kitab Maraj al-Bahrain fi
Mazayid al-Maysriqin wa al-Maghribin karya Abu al-Khattab bin Dhayah. Ia juga
membaca kitab sunan al-Tirmidzi dan al-Nasa’i dan banyak lagi lainnya.
Ilmu yang diperolehnya di dapat
dari perjalanan panjangnya selama hidup. Dimulai dari kediamannya
sendiri, Kordoba, kemudian bepergian ke Iskandariyah, Fayyum, Mansyurah, dan
Kairo. Di antara guru-guru tempat ia menimba ilmu adalah Syekh Abu al-‘Abbas
bin ‘Umar al-Quthubi , pengarah al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim, Abu
‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Bakri dan lain sebagainya. Masyhur Hasan membagi al-Qurthubi
ke dalam dua wilayah.
Yang pertama adalah guru al-Qurthubi yang
berada di Andalusia, mereka adalah:
- Ibn abi Hujjah (w. 643 H/1245 M), nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qaisy dan terkenal dengan sebutan Ibn Abi Hujjah.
- Rabi’ bin’Abd al-Rahman bin Ahmad bin Ubay al-Asy’ary (w. 632 H/1235 M)
- Abu ‘Amir Yahya bin Abd al-Rahman bin Ahmad bin Rabi’ al-Asy’ary (w. 639 H/1241 M)
- Abu al-Hasan ‘Ali al-Quthralb(w. 651 H/ 1253 M)
- Abu Muhammad bin Hauthillah (w. 612 H/ 1214 M)
Yang kedua adalah guru
al-Qurthubi yang berada di Mesir, mereka adalah:
- Abu al-‘Abbas al-Qurthubi (w. 656 H/1258 M)
- Abu Muhammad bin Rawwaj (w. 648 H/1250 M)
- Abu Muhammad’ Abd al-Muthi ibn Abi al-Tsana’ al-Lakhami (w. 638 H/1241 M)
- Abu ‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Bakri (w. 656 H/1258 M)
- Abu Muhammad ‘Ali bin Hibatillah al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Jumaizy (w. 649 H/ 1251 M)
Dan gurunya yang lain yang
tidak masuk ke dalam dua wilayah tersebut adalah al-Imam al-Muhaddits Abu
al-Hasan ‘Ali bin Khalaf al-Tilmasani dan Syekh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad
bin’Ali bin Hafsh al-Yahshubi.
Dikisahkan oleh al-Dzahabi
dalam al-Tafsir wal Mufassirun bahwa ia adalah orang yang sangan zuhud,
orang yang alim dan Arif, hidupnya hanya untuk akhirat. Ia mengembara hanya
dengan satu pasang pakaian dan kopyah, kesehariannya hanya menulis dan
beribadah kepada Allah, hidupnya hanya
mengharapkan keridaan-Nya. Sampai pada akhirnya ia menghasilkan banyak karya
yang sangat bermutu dan bermanfaat bagi
umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya.
- Karya Imam Al-Qurthubi: al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
Al-Qurthubi menulis tafsir yang pertama al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, merupakan suatu
karya ensiklopedis yang menyatukan hadis dengan masalah-masalah ibadah, hukum
dan linguistik. Karyanya sangat teratur dan berguna. Selain karya tafsir
tersebut, Al-Dzahabi menyebut bahwa ia memiliki karya lain yang tidak kalah
menariknya, yaitu Syarh Asma’illah al-Husna, al-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar,
Kitab Syarh al-Taqshsha, Qam’al-Hirsh bi al-Zuhd wa al-Qana’ah, Radd Dzul
al-Su’al bi al-Kutub wa al-Syafa’ah.
Terkait karya tafsirnya, Imam al-Qurthubi tidak hanya membahas
tentang ayat-ayat hukum saja sebagaimana dalam judul kitabnya al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, akan tetapi secara berturut-turut ia juga membahas tentang
ashbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), membahas tentang i’rab dan qiraat,
menjelaskan tentang lafad-lafad yang gharib (asing), mengutib beberapa
pendapat ulama yang terkait, ia juga memasukkan banyak sekali kisah-kisah para mufassir , informasi sejarah dari para
sejarawan dan menukil banyak sekali informasi dari ulama terdahulu yang
terpercaya. Berkaitan dengan ayat-ayat hukum, Imam al-Qurthubi juga banyak
menukil dari ulama-ulama tafsir yang menulis tentang kitab-kitab hukum seperti
Ibn Jarir al-Thabari,Ibn ‘Athiyyah, Ibn al-‘Arabi, Abu Bakar al-Jashashah dan
al-Kiya al-Harras.
Dalam menjelaskan ayat-ayat hukum, Imam al-Qurthubi,
pertama-tama menyebutkan Khilafiyyah yang muncul dalam ayat tersebut,
menampilkan dalil-dalil yang digunakan. Baru kemudian ia memberikan komentarnya
sendiri dalam persoalan tersebut.
Al-Qurthubi adalah seorang ulama yang bermazhab Maliki. Meski
demikian, ia tidak fanatik dengan madzhab yang ia anut. Al-Qurthubi bahkan
tidak segan-segan menerima pendapat lain ketika itu mengandung kebenaran.[2]
C. Penafsiran
Al-Qurthubi Terhadap Qs Al-Baqarah 221
وَلَاتَنْكِحُوْااالمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلَامَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ
وَلَاتُنْكِحُوْاااتْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ
خَيْرٌمِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ
وَاللهُ يَدْعُوْااِلَى الجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِأِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ
اَيَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ (221)
Artinya : “dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang muknin
lebih baik dari wanita musyri, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
(Q.S Al-Baqarah [02] : 221)
Konteks
ayat ini diturunkan pada Abu Mirtsad al-Ghanawi, menurut satu pendapat ayat ini
diturunkan kepada Mirtsad bin Abu Mirtsad, dia mempunyai nama Kanaz bin Husain
al-Ghamawi. Diutus Rasulullah saw secara rahasia untuk berangkat ke Makkah guna
membebaskan dua orang sahabatnya, sementara di Makkah ia mempunyai seorang
istri yang dicintainya, pada masa Jahiliyyah. Wanita itu bernama Anaq,
mendengar kedatangan Mirtsad ke Makkah, maka kemudian Anas mendatangainya, dan
Mirtsad mengatakan kepadanya “sesungguhnya islam mengharamkan apa yang telah
terjadi pada masa Jahiliyyah”, Anaq menjawab, “maka kawinilah aku” Mirtsad berkata, “maka aku harus meminta izin
terlebih dahulu kepada Rasulullah saw”. Mirtsad kemudian mendatangi Rasulullah
dan meminta izin kepada beliau namun beliau melarangnya menikahi Anaq sebab dia
adalah pria muslim sedangkan Anaq adalah seorang wanita musyrik.[3]
Al-Qurtubi menjelaskan tentang firman
Allah SWT :
وَلَاتَنْكِحُوْااالمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ “dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” yang dimaksud
dengan wanita-wanita musyrik tersebut adalah wanita-wanita penyembah berhala
dan wanita-wanita beragama majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Malik,
asy-Syafi’I, Abu Hanifah, al-Auzai yang melarang menikah dengan wanita Majusi,
sedangkan Ibnu Hanbal berkata “hal itu tidak menarik untukku”. Diriwayatkan
bahwa Hudzaifah bin al-Yman pernah menikahi seorang wanita Majusi, lalu Umar
berkata “Ceraikan dia”!!.[4]
Al-Qurtubi menukil perkataan Ibnu Athiyah yang mengatakan “Ibnu Abbas
berkata pada sebagian keterangan yang diriwayatkan darinya, sesungguhnya ayat
ini (QS.Al-Baqarah 221) adalah umum (sehingga mencakup) setiap wanita penyembah
berhala, wanita Majusi dan wanita ahl-kitab. Setiap wanita yang memeluk agama
selain agama islam adalah musyrik.[5] Adapun perkataan Ibnu Umar
dalam al-Muwatha’ aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada
seorang wanita mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa.”senada dengan ha; ini
seperti apa yang diriwayatkan dari Umar bahwa dia memisahkan Thalhah bin
Ubaidillah dengan istrinya, dan Hudzaifah bin al-Yaman dengan istrinya.
Keduanya berkata “ kami akan menjatuhkan thalaq wahai Amirul Mu’minin. Dan
janganlah engkau marah, Umar berkata “seandainya talak kalian dibolehkan,
niscaya nikah kalianpun dibolehkan akan tetapi aku akan memisahkan kalian
secara paksa”.
Al-Qurtubi menambahkan bahwa an-Nuhaz mengatakan bahwa diantara hujjah
yang sah sanadnya diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Rayyan dia berkata
“ al-Laits menceritakan kepada kami dari an-Nafi’ bhwa Abdullah bin Umar ketika
ditanya tentang eorang laki-laki yang akan menikahi wanita nasrani atau Yahudi,
maka dia menjawab, Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik kepada
orang-orang yang beriman, sementara aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang
lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa,
atau salah satu dari hamba Allah.
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa alasan pengharaman tersebut telah
diterangkan Allah dalam ayat setelahnya, yaitu : أُولَئِكَ
يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ “mereka mengajak ke neraka”. Dimana ajakan ke
neraka dijadikan sebagai alas an hukum diharamkan menikahi mereka, maka
jawabannya adalah hal tersebut, (mengajak ke neraka) merupakan jawaban untuk
firman Allah :
وَلَامَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَّلَوْ
اَعْجَبَتْكُمْ “sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik”, sebab orang yang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum
ini berlaku pula untuk orang-orang kafir.[6]
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ketika ada pilihan antara wanita musyrik
dengan wanita budak mukmin, maka diharuskan untuk memilih wanita budak mukmin,
sebagaimana firman Allah swt : وَلَامَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ “sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik”. Firman Allah ini merupakan penegas bahwa budak
wanita beriman lebih baik dari pada seorang wanita musyrik, meskipun wanita
musyrik itu mempunyai kedudukan dan kekayaan, وَّلَوْ
أَعْجَبَكُمْ “walaupun dia menarik hatimu”.
Ayat ini diturunkan tentang Khansa, Ibu
Sauda budak perempuan Khuzaifah binal-Yaman. Khuzaifah berkata kepadanya,
“wahai khansa sesungguhnya engkau telah disebut di al-mala al a’la meskipun
engkau hitam dan legam.allah juga menurunkan namamu didalam-Nya. Hudzaifah
kemudian memerdekakan dan mengawininya.
Dalam riwayat yang dikemukakan oleh
as-sauddi berkata “ayat ini tentang Abdullah al-Rawahah, dia mempunyai seorang
budak perempuan yang ditamparnya saat sedang marah, namun kemudian dia
menyesal. Dia dating kepada Nabi saw dan menceritakan hal itu kepada beliau.
Beliau bertanya “siapa beliau wahai Abdullah”. Abdullah menjawab, “dia adalah
seorang budak yang berpuasa, sholat dan menyempurnakan wudhunya dan mengucapkan
dua kalimat syahadat. Rasulullah bersabda “wanita itu adalah wanita yang
beriman”. Ibnu Rauhah berkata, “sesungguhnya aku benar-benar akan
memerdekakannya dan menikahinya”, dia kemudian melakukan hal itu.
Dalam kitabnya Al-Jami’
Li Ahkam Quran, Al-Qurtubi memberi warna yang khas dan sangat relevan dalam
kajian pernikahan beda agama ini sehingga memperkaya khazanah pemahaman dan
penghayatan terhadap makna ayat-ayat Al-Quran khususnya pada yang bercorak
fiqh. Penyajiannya yang lengkap, (kajian kosa kata, munasabah, asbab
an-nuzul, menampilkan riwayat-riwayat baik dari hadis, sahabat maupun
tabi’in, bahkan tidak menolak pendapat dari pakar luar selagi itu berhubungan
apalagi membantu pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Auran dan lain-lain). Melalui
karyanya terebut Al-Qurtubi hendak mengusung tema yakni penghayatan terhadap
ayat-ayat Ilahi sehingga lahir hukum-hukum Allah swt sebagai penuntun bagi
manusia dalam kehidupannya.
Dalam
menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 221 Al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang
lebar mengenai berbagai persoalan hukum yang terkandung didalam ayat tersebut.
Al-Qurtubi menyatakan bahwa mukhatab surah Al-Baqarah ayat 221secara umum
adalah kaum muslimin. Namun dalam pembicaraan tentang perwalian dalam
perkawinan, para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berusaha membedakan, siapa yang
menjadi sasaran khitab (titah) dalam dua frase yang menjelaskan larangan
perkawinan beda agama dalam ayat tersebut.
Larangan menikah
dengan wanita musyrik merupakan salah satu bentuk dari aturan Al-Quran yang
cenderung menempatkan perkawinan sebagai tidak sepenuhnya menjadi urusan
privat. Lebih jauh Al-Qurtubi menjelaskan bahwa bangsa Arab sebelumnya tidak
mengenal agama sebagai halangan perkawinan. Orang-orang islam sampai pada tahun
ke-2 H, ketika suarah al-baqarah 221 itu turun, masih banyak yang menikah
dengan wanita musyrik. Riwayat asbab an-nuzul ayat tersebut menjelaskan
ketika Abdullah Ibnu Rawahah, seorang sahabat Nabi saw, menikah sengan salah
seorang budak yang telah dimerdekakannya, maka banyak orang Islam yang
mencelanya, mereka mencela karena meeka lebih memilih menikah dengan wanita
musyrik yang terhormat keturunannya ketimbang budak yang rendah meskipun telah
beriman.
Menurut
Al-Qurtubi ada tiga pendapat di kalangan para sahabat dan tabiin tentang
masalah itu. Pertama, mereka menyatakan pengertian al-musyrikat
pada ayat itu mencakup wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab dan bangsa
lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya dihapus (mansukh) oleh surah
Al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pria muslim menikah dengan wanita al-kitab.
Kedua, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikat dalam
ayat tersebut hanyalah wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak
memiliki kitab suci dan menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang
menyatakan bahwa kata al-musyrikat pada ayat itu mencakup semua prempuan
yang menganut agama syirik (politeisme) dalam segala bentuknya. Orang
islam, menurut pendapat lain tidak boleh menikah baik dngan wanita musyrik
Arab, maupun wanita Yahudi, Kristen dan Majusi.
Pembicaraan
tentang perkawinan dengan ahl-kitab dalam tradisi islam ternyat tidak
didasarkan pada Q.S. Al-Maidah ayat 5 saja, tetapi juga dikaitkan dengan Q.S.
Al-Baqarah ayat 221 sebagaimana yang dilakukan al-qurtubi yang mencoba
mentatjih untuk memilih penafsiran yang lebih mendekati kebenaran untuk
memahami penafsiran dari surah Al-Baqarah itu. Berdasarkan pentarjihannya itu,
dapat dikatakan bahwa wanita ahl-kitab tidak termasuk kedalam kelompok al-musyrikat
yang haram dinikahi oleh pria muslim.
Al-Qurtubi
memberikan pertimbangan yang mendukung bahwa wanita ahl-kitab tidak
termasuk dalam al-musyrikat, sehingga boleh dinikahi oleh pria muslim.
Dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang menggunakan kata al-musyrikat yang
jelas-jelas digunakan untuk menunjukkan kaum musyrikin arab, diantaranya Q.S.
Al-An’am ayat 137, yang menjelaskan adanya praktek pembunuhan bayi-bayi (infanticide).
Praktek ini hanya ada di kalangan mereka dan tidak ada dikalangan ahl-kitab.
Disamping itu ada beberapa ayat yang menyebutkan ahl-kitab dan al-musyrik
secara bersamaan diantarnya Q.S. Al-Bayyinah ayat 1 dan Q.S. Al-Hajj ayat 17,
penyebutan mereka secara bersamaan menunjukkan bahwa mereka adalah entitas yang
tersendiri dan berbeda dari yang lain. Karena itu sangat beralasan jika
dikatakan bahwa penggunaan kata al-musyrikin untuk kaum musyrikin Arab
itu merupakan bahasa yang biasa digunakan Al-Quran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam
al-Qurthubi memiliki nama asli Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin
Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Quthubi al-Imam. Beliau wafat pada
tahun 671 H di kediamannya di Munyah Bani Khushaib, Mesir. Seperti orang-orang
pada umumnya pada saat itu, tahun kelahiran Imam Qurthubi tidak diketahui dan
belum dicatat dengan baik, karena orang-orang dahulu tidak begitu mempersoalkan
tahun kelahiran. Hanya saja ketika ia besar dan menjadi ulama besar,
orang-orang belakangan menuliskan tahun wafatnya.
Ilmu yang diperolehnya di dapat dari perjalanan panjangnya selama hidup.
Dimulai dari kediamannya sendiri, Kordoba, kemudian bepergian ke Iskandariyah,
Fayyum, Mansyurah, dan Kairo. Di antara guru-guru tempat ia menimba ilmu adalah
Syekh Abu al-‘Abbas bin ‘Umar al-Quthubi , pengarah al-Mufhim fi Syarh
Shahih Muslim, Abu ‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Bakri dan lai sebagainya.
Al-Qurthubi menulis tafsir yang pertama al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, merupakan suatu
karya ensiklopedis yang menyatukan hadis dengan masalah-masalah ibadah, hukum
dan linguistik.
Terkait karya tafsirnya, Imam al-Qurthubi tidak hanya
membahas tentang ayat-ayat hukum saja sebagaimana dalam judul kitabnya al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, akan tetapi secara berturut-turut ia juga membahas
tentang ashbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), membahas tentang i’rab dan
qiraat, menjelaskan tentang lafad-lafad yang gharib (asing), mengutib
beberapa pendapat ulama yang terkait, ia juga memasukkan banyak sekali
kisah-kisah para mufassir , informasi
sejarah dari para sejarawan dan menukil banyak sekali informasi dari ulama
terdahulu yang terpercaya.
Dalam menjelaskan
surah al-Baqarah ayat 221, Al-Qurtubi menjelaskan bahwa alasan pengharaman
tersebut telah diterangkan Allah dalam ayat setelahnya, yaitu : أُولَئِكَ
يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ “mereka mengajak ke neraka”. Dimana ajakan ke
neraka dijadikan sebagai alas an hukum diharamkan menikahi mereka, maka
jawabannya adalah hal tersebut, (mengajak ke neraka) merupakan jawaban untuk
firman Allah :
وَلَامَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَّلَوْ
اَعْجَبَتْكُمْ “sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik”, sebab orang yang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum
ini berlaku pula untuk orang-orang kafir.[7]
Al-Qurtubi
memberikan pertimbangan yang mendukung bahwa wanita ahl-kitab tidak
termasuk dalam al-musyrikat, sehingga boleh dinikahi oleh pria muslim.
B. Saran
Makalah ini kami buat
memang sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan saran pada semua pembaca agar nantinya
makalah ini bisa diambil manfaatnya sekaligus bisa menjadi
bahan kajian atau bahkan bisa dijadikan bahan untuk dikoreksi.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Imam Al-Qurthubi. Al-Jami’ li
Ahkam Al-Quran.
Asbab al-Nuzul. Karya an-Naisaburi.
Tafsir Ibnu Athiyah juz 2
Saifuddin Herlambang, 2018. Studi Tokoh
Tafsir dari Klasik Hingga Kontemporer
(Pontianak:IAIN Pontianak Press)
[1]
Muhammad Husaen Adz-Dzahabi, 2010.
Ensiklopedia Tafsir. (Jakarta: Kalam Mulia). Hlm. 3
[2]
Saifuddin Herlambang, 2018. Studi
Tokoh Tafsir dari Klasik Hingga
Kontemporer (Pontianak:IAIN Pontianak Press), hlm. 1-7.
[3]
Asbab al-Nuzul. Karya an-Naisaburi. h. 49-50
[4]
Syaikh Imam Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran. h. 151
[5]
Tafsir Ibnu Athiyah juz 2 hal. 246
[6]
Syaikh Imam Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran. h. 146
[7]
Syaikh Imam Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran. h. 146
Komentar
Posting Komentar